Sebentar lagi seluruh buruh dunia akan memperingati hari buruh internasional atau yang lebih dikenal sebagai May Day, yang selalu diperingati pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya. Sejarah May Day tidak terlepas dari perjuangan klas buruh dalam menuntut 8 jam kerja. Abad ke-19 adalah periode di mana klas buruh dihadapkan pada kenyataan bahwa dari 24 jam sehari, mereka rata-rata bekerja 18 sampai 20 jam. Tak pelak lagi bahwa tuntutan yang diajukan adalah memperpendek jam kerja. Perjuangan menuntut 8 jam kerja ini diawali oleh kelas buruh di Amerika Serikat pada tahun 1884, yang berbuntut pada penyerangan yang dilakukan oleh negara dan alat kekerasannya.
Pada tanggal 1 Mei 1886, 80.000 buruh di Amerika Serikat melakukan demontrasi menuntut 8 jam kerja. Dalam beberapa hari demontrasi ini segera direspon dengan pemogokan umum, yang membuat 70.000 pabrik terpaksa ditutup. Demonstrasi ini berlanjut sampai 4 Mei 1886. Kelas penguasa terusik, dan dengan alat kekerasannya, negara menembaki pekerja yang melakukan demontrasi dan menewaskan ratusan buruh. Peristiwa ini telah membawa dampak yang dalam bagi kelas buruh di dunia. Karena itu, pada ulang tahun jatuhnya Bastille 4 Juli 1889 (ulang tahun ke-100 Revolusi Prancis), semua buruh di berbagai negeri berkumpul dan memutuskan resolusi. Isi resolusi tersebut yakni:
“Kongres memutuskan untuk mengorganisir sebuah demonstrasi internasional yang besar, sehingga di semua negara dan di semua kota pada satu hari yang telah ditentukan itu rakyat pekerja akan menuntut pihak berwenang negara hukum pengurangan hari kerja menjadi delapan jam, serta melakukan keputusan-keputusan yang lain dari Kongres Paris. Sejak demonstrasi serupa telah diputuskan untuk 1 Mei 1890 oleh Federasi Tenaga Kerja Amerika dikonvensi di St Louis, Desember, 1888, hari ini diterima untuk demonstrasi internasional. Para pekerja dari berbagai negara harus mengorganisir demonstrasi ini sesuai dengan kondisi yang berlaku di setiap negara.”
Pada hari-hari selanjutnya, 1 Mei telah menanamkan dalam benak kelas buruh bahwa mereka tidak sendiri. Jutaan kelas buruh dari seluruh penjuru dunia telah tersatukan menjadi sebuah kelas, memotong prasangka ras, suku, etnis kebangsaan, warna kulit, kasta, dan agama.
Kelas buruh di berbagai negeri melakukan perlawanan terhadap kekuasaan para bos yang telah mencekik mereka selama bertahun-tahun. Kekuasaan yang bertumpu pada kepemilikan pribadi dan membiarkan jutaan kelas pekerja menderita, itulah kekuasaan menurut sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang menaruh jutaan kepala rakyat pekerja ke tiang gantungan pasar dunia. Sekarang sistem ini sedang dalam krisis, yang dengan jelas memperlihatkan bahwa kapitalisme tidak dapat memberikan kemajuan dan kemakmuran rakyat pekerja. Sebaliknya, sebagian besar umat manusia di seluruh dunia dihantui momok kemiskinan, semakin intensnya eksploitasi, dan hancurnya masa depan.
Menghadapi situasi seperti ini, rakyat pekerja di dunia dihadapkan pada pemotongan standar hidup. Ini telah memicu demonstrasi yang besar-besaran. Revolusi Arab telah membuktikan kegigihan rakyat pekerja menumbangkan kediktaktoran. Di Spanyol, Italia, dan Yunani sekarang diguncang demonstrasi serta pemogokan umum. Oleh karena itu pesan dari May Day adalah Internasionalisme kelas buruh sebagai penegasan kembali perjuangan kelas dalam melawan ekploitasi dan merebut kemenangan. Kemenangan ini tidak akan dicapai dalam batasan kapitalisme. Kelas buruh harus menggulingkan kapitalisme melalui revolusi sosialis yang akan menempatkan kelas buruh ke tampuk kekuasaan.
Di Indonesia sendiri hari buruh pertama kali di peringati pada tahun 1920. Namun sejak pemerintahan Orde Baru menguasai Indonesia, hari buruh tidak lagi di peringati di Indonesia. Hal ini di latar belakangi oleh propaganda rezim Orde Baru yang menghubungkan gerakan buruh dengan gerakan dan paham komunis. Dan setalah rezim Orde Baru runtuh, tanggal 1 Mei kembali menjadi peringatan hari buruh di Indonesia hingga saat ini.
Dalam situasi dunia internasional yang juga mempengaruhi indonesia sebagai negeri yang terbelakang dan masih dalam cengkraman imperialisme dunia, termasuk AS sebagai kekuatan terbesar, maka tidak heran krisis kronik yang terjadi di dunia internasional juga berimbas di Indonesia. Indonesia yang merupakan negeri penyedia bahan baku dan pasar bagi negara-negara imperialisme harus terus menelan krisis kronik dalam negeri. Kebijakan neo-liberal AS soal suku bunga the fed dan perang dagang membuat rupiah harus terombang-ambing sampai terpuruk.
Pemerintah terus mengoreksi target pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Target pertumbuhan ekonomi yang dipatok rejim Jokowi tidak pernah tercapai tiap tahun anggarannya. Pada 2015 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai titik terendah sejak enam tahun terakhir sebesar 4,79 persen. Target APBN-P 2016 sebesar 5,2 persen meleset menjadi 5,02 persen. Setahun berselang, hanya mencapai 5,7 persen dari target 5,2 persen. Tahun 2018 juga serupa nasibnya, target 5,4 persen terlalu jauh untuk bisa dicapai, berdasar penetapan upah atas dasar PP 78 pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,15 persen. Krisis tersebut membuat perusahaan ritel harus tutup lebih awal, seperti HERO dan beberapa gerai Giant yang tersebar di Lampung dan kota lain. Daya beli masyarakat indonesia juga mengalami penurunan akibat kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus meroket.
Di sektor buruh, dominasi imperialis melalui IMF dan Bank Dunia yang menjadikan nilai riil upah buruh selalu rendah atau defisit dengan nilai nominal upahnya. Sebagai contoh, rata-rata defisit upah riil buruh di Jakarta pada tahun 2017 dibandingkan dengan UMK DKI (Upah Nominal) sebesar 20,75 persen. Sementara, apabila dihitung dengan memperbandingkan antara upah riil dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita (per orang dalam satu tahun), maka rata-rata defisit sebesar 48 persen. Keadaan ini menjadikan kehidupan buruh semakin menurun.
Nilai upah riil buruh akan terus merosot dengan diterapkannya fleksibilitas tenaga kerja yang semakin longgar. Paket Kebijakan Ekonomi hasil dikte Bank Dunia yang membatasi kenaikan upah buruh tidak lebih 10 persen yang berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sudah membuat penghidupan yang merosot. Selain itu, pemerintah Indonesia sudah mulai melakukan revisi-revisi UU Ketenagakerjaan No.13/2003 agar memudahkan pengusaha menekan upah, melakukan pemutusan hubungan kerja, penghapusan pesangon.
Dari data yang dikumpulkan biaya hidup untuk lajang rata-rata pada tahun 2016 mencapai Rp 5,3 juta per bulan (bukan berdasarkan 60 komponen upah layak versi pemerintah), sedangkan upah yang diterima hanya kisaran Rp 3,1 juta per bulan. Upah yang diterima baru mencukupi sekitar 66 persen dari kebutuhan minimum per individu. Angka defisit semakin tinggi jika buruh tersebut telah berkeluarga dengan satu pasangannya (suami/istri) dan dua orang anak.
Pemerintah sendiri sudah memulai menjalankan rekomendasi Bank Dunia sebelum lembaga itu mengeluarkan dokumen yang berjudul World Development Report (WDR) 2019; The Changing Nature of Work yang dikeluarkan April 2018 sebagai usaha mengembangkan sistem fleksibilitas ketenagakerjaan. Pemerintah menjalakan skema politik upah murah dengan program pemagangan nasional.
Dalam deklarasi pemagangan nasional oleh Jokowi pada 2016, pemerintah menargetkan jumlah buruh magang ditahun 2017 sebanyak 163,000 orang, yang didukung oleh 2,648 perusahaan yang diantaranya 1,776 adalah perusahaan manufaktur di Indonesia. Ini menjadi pukulan yang lebih telak bagi kelas buruh ketika sistem fleksibilitas tenaga kerja yang sebelumnya masih berlaku seperti sistem kontrak karya ataupun outsourcing.
Rezim memberikan pukulan baru terhadap kehidupan kelas buruh dan demi mengakali memburuknya krisis dengan mengaplikasikan sistem pemagangan dengan menetapkan Permenaker No. 36 tahun 2016. Ditambah lagi dengan SEMA nomor 3 tahun 2018 yang menghapus upah proses pada saat sengketa di pengadilan hubungan industrial. Krisis dalam negeri juga mendorong perusahaan melakukan PHK besar-besaran, menurut data Kemnaker, pada September 2018, tercatat 3.823 pekerja yang di PHK. Jumlah itu bisa jadi mengalami kelonjakan yang cukup besar mengingat beberapa gerai dan perusahaan lock out.
Dengan sistem kontrak dan outsourcing yang diadopsi oleh pemerintah saat ini, kelas buruh bahkan dihadapkan dengan penghisapan berlipat ganda. Oleh perusahaan, upah buruh dipangkas melalui penambahan jam kerja (jam kerja berlebih), dipangkas pula untuk memenuhi premi jaminan sosial yang tidak mungkin dapat diterima secara utuh sesuai pemotongan selama masa kerja. Selain itu, para buruh mengalami pemotongan upah oleh perusahaan/yayasan penyalur tenaga kerja (yayasan outsourcing) yang menjadi agennya. Selain pemotongan upah, buruh pun masih dihadapkan dengan keadaan kerja yang tidak layak, perlakukan management yang semena-mena dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya.
Disamping kenyataan tersebut, kelas buruh masih dihadapkan dengan tindakan pemberangusan serikat (union busting), yakni pelarangan berserikat oleh perusahaan. Upaya-upaya pelarangan dan bentuk-bentuk pemberangusan yang dilakukan oleh perusahaan, mulai dengan intimidasi terhadap buruh, ancaman PHK, bahkan pemukulan, penangkapan dan pemenjaraan terhadap buruh yang berani melakukan protes atas kebijakan perusahaan. Fenomena semacam ini, kini sudah tak lagi mejadi rahasia, bahkan sudah dipandang lumrah oleh pengusaha bahkan pemerintah, sehingga pemerintah tidak pernah memberikan tindakan konkrit dalam menyelesaikan persoalan buruh saat ini.
PP No. 78 tahun 2015 mengekang hak buruh dalam perundingan demokratis pada penentuan upah, yakni tidak berfungsinya Dewan Pengupahan yang melibatkan serikat buruh karena kenaikan upah telah ditetapkan oleh formulasi. Untuk memastikan seluruh kepala daerah mematuhi PP No. 78, maka Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan Surat Edaran pada 17 Oktober 2016 kepada seluruh Gubernur. Surat Edaran ini dikeluarkan khusus sebagai respon atas hasil kebijakan upah minimum 2016 di berbagai daerah yang tidak berdasarkan formula PP No. 78 tahun 2015, termasuk DKI Jakarta yang menetapkan kenaikan sebesar 11,5 persen. Di sisi lain, untuk menekan cost produksi dan melayani kepentingan imperialisme, kaki tangan imperialisme yang ada dalam negeri terus membuat peraturan untuk menyediakan tenaga kerja yang murah dan produktif.
Lalu, bagaimana skema penghisapan imperialisme terhadap pemuda dan mahasiswa?
bersambung…