Jumat, April 19, 2024

Dari Pinjam Korek Sampai Ngomongin Politik

Firmansyah Subandari
Firmansyah Subandari
Penulis dari lombok timur, suka nonton anime dan secangkir kopi saset dipagi hari, berintraksi dengannya lewat ig firsu14

Diajak ngomongin tentang politik mungkin sudah menjadi hal biasa, tapi tidak menjadi biasa kalau yang ngajak ngobrol adalah orang yang baru dikenal. Siapa yang menyangka sedari awal niatnya ke warung kopi ngerjain skripsi tiba-tiba berubah haluan perkara minjemin korek doang.

Tidak seperti peminjam korek pada umumnya yang mudah ditebak gaya meminjamnya. Dimulai dengan bertanya ada korek apa enggak, dengan senyuman paling ramah, di akhiri dengan mengucapkan terima kasih.

Tidak dengan orang ini, awalnya gaya pinjem koreknya sama seperti pada umumnya, tapi tidak dengan endingnya,  alih-alih mengucapkan terima kasih lalu lekas pergi, justru dengan gaya sok kenal sok deket, si peminjam korek ngajak ngobrol. Tema obrolannya pun nggak nanggung-nanggung yakni bahas politik.

Diawali dengan mengatakan pembahasan tentang politik mudah muncul dari berbagai kalangan, hanya saja obrolan itu kerap pula mudah ditebak arahnya : politik akan mudah tereduksi maknanya.

Membuka obrolan dengan mengatakan politik akhir-akhir ini kerap kali tereduksi maknanya, tentu menggugah rasa penasaran yang teramat besar, siapapun yang mendengarkannya.

Mendengar persoalan tereduksinya politik, mengingatkan saya dengan buku berjdul Berfilsafat Politik (2014). Penulisnya Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM, kira-kira begini kata Prof armada, karena politik mengalami proses reduksi, politik yang bermakna sebagai ‘tata kelola hidup bersama’ terasa babak belur didominasi  perkara-perkara rekaan dan atau rekayasa yang tidak bermutu.

“Momok itu bernama Politik”  tutur si peminjam rokok. Jujur persepsi yang timbul dari awal ketika obrolan diarahkan kepada persoalan tereduksinya politik, sampai mengatakan yang menakutkan itu ternyata bukanlah hantu melainkan politik. Semakin menumbuhkan rasa ingin tahu lebih dalam lagi.

Sebenarnya sedari awal karena niatnya ngerjain skripsi, mikirin gimana caranya obrolannya agar cepat usai, dan orang ini cepat-cepat hengkang dari pandangan. Tapi berubah ketika mendengar berbagai macam statemen menohok. Akhirnya obrolan berlanjut sampai sore menjelang malam, di tengah-tengah gemericik hujan.

Memposisikan diri sebagai pendengar meskipun tidak sepenuhnya paham adalah langkah bijak, dengar aja dulu. Begitu banyak pendapat yang melesat, terdengar menohok, nyentrik, namun tetap asik terdengar di telinga.

Persepsi  si peminjam korek bahwa “momok itu bernama politik” didasarkan pada praktik oknum “politisi” yang selalu mementingkan keinginan pribadi daripada kebutuhan masyarakat. Pendapat itu tentu ingin mengetengahkan bahwa keberadaan politisi selalu  terkadang memunculkan masalah.

Kalau saja politisi, selalu sukses tampil hipokrit depan masyarakat, maka berimplikasi pada lingkungan masyarakat yang cenderung melanggengkan politik itu penuh dengan sinis.

Di tengah-tengah gemericik air hujan yang membanting diri diantara jalanan beraspal, pembahasan semakin seru. Makin panas juga nih otak. Tapi dengan memegang prinsip the power of mendengarkan, tak mengapa otak sudah mulai berasap, tetap bertahan untuk mendengarkan.

Politik yang luas cakupan pembahasannya maka membutuhkan rasionalitas, dan harus dicegah agar jangan terperosok pada kenaifan. Maksudnya adalah coba liat beragam tingkah politisi, sedikit kapok tapi enggan berhenti, begitulah kira-kira kita menyebutnya. Sudah jelas-jelas tertangkap korupsi, eh tau-taunya nyalon lagi, sebagai DPR lah itulah inilah. Gimana nggak masyarakat geram terhadap tingkah laku politisi.

Melihat tingkah-laku politisi, istilahnya selain makan, tidur, mandi, politisi hanya berbohong. Kiranya tidak berlebihan mengatakan yang terbaik dari politisi adalah kemampuan hipokritismenya yang ampuh mandraguna. Tidak lain dan tidak bukan, tidak lebih dan tidak kurang, hanya itu titik.

Meskipun hanya modal mendengarkan, sore itu banyak hal yang didapatkan, salah satunya bahas politik tidak sekering itu kalau saja yang membahasnya adalah orang yang memang paham sampai keakar-akarnya, apalagi gaya bahasanya enak didengar.

Akhir kata, saking terkisemanya tak terasa korek saya hilang dari pandangan, berpikir positif saja, barangkali si peminjam korek ketika membahas politik dengan semangat berapi-api tanpa sadar memasukkan ke kantong bajunya sendiri, tak mengapalah toh juga banyak ilmu yang dibagi.

Tapi bukankah “politisi” begitu juga ya, maksudnya tak mengenal istilah memberi tanpa pamrih, memberi yaa harus ada pamrih. Apa jangan-jangan si peminjam korek adalah “politisi”. ahhh nggak taulah, mending turu ora resiko.

Firmansyah Subandari
Firmansyah Subandari
Penulis dari lombok timur, suka nonton anime dan secangkir kopi saset dipagi hari, berintraksi dengannya lewat ig firsu14
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.