Manusia identik dengan sandiwara. Klaim ini diamini oleh William Shakespeare dalam As You Like It (1599), Shakespeare menyebut “dunia ini merupakan panggung sandiwara”. Ia mengumpamakan dunia sebagai panggung, dan kehidupan manusia seperti pertunjukan sandiwara. Sandiwara pun bertransformasi menjadi sebuah seni dan berbagai peradaban menjadikan ‘sandiwara’ sebagai kekayaan budaya.
Misal negara Indonesia, di Provinsi Yogyakarta dikenal yang namanya ‘Dagelan Mataram’, dagelan yang mempertontonkan sandiwara di atas panggung-panggung. Seni pertunjukan yang menghibur jiwa-jiwa yang penat. Seiring kemajuan teknologi, kini masyarakat sudah bisa menikmati sandiwara melalui televisi dan gawai. Kemudahan ini menjadikan ‘sandiwara’ mendarah daging di lingkup sosial Indonesia. Bahkan sandiwara menjalar di berbagai sektor kehidupan.
Lingkup pemerintahan pun disihir menjadi panggung-panggung. Para politisi berpacu menampilkan sandiwara. Senada, Emrus Sihombing seorang pengamat komunikasi politik menyebut “para politisi Indonesia kebanyakan pemain sandiwara dan semua jago bersandiwara”. Perlu kita ingat bahwa sandiwara yang dimainkan oleh aktor dan seniman tentu mengundang bahagia. Namun beda halnya dengan sandiwara yang dimainkan para politisi. Sebab, sandiwara para politisi identik dengan kebohongan, pembodohan, dan tipu daya yang dilakukan demi kepentingan golongan tertentu.
Dramaturgi Politisi
Erving Goffmen dalam Presentation of Self in Everyday Life (1959), mencetuskan teori dramaturgi. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa manusia mempunyai dua panggung: Front stage (panggung depan), dan back stage (panggung belakang). Di kedua panggung itu manusia cenderung menunjukkan sikap yang berlainan. Di muka umum manusia berusaha menampilkan performa yang nyaris sempurna bak aktor di atas panggung.
Layaknya di sebuah pertunjukan, seorang aktor dituntut mempersiapkan kelengkapan, seperti property, dialog, dan tindakan non-verbal agar nantinya pertunjukan memunculkan kesan baik di benak penonton. Walau di back stage para aktor berlumur kekurangan. Hal serupa terjadi dalam dunia politik, Ketika di depan umum atau media, para politisi menampilkan sikap dan tutur yang mencerminkan budi pekerti luhur. Sikap demikian ditampilkan dengan maksud menutupi borok yang mereka sembunyikan di belakang panggung. Goffmen (1959) menyebut praktik demikian sebagai manajemen kesan.
Dalam dunia politik, manajemen kesan dilakukan demi mendapatkan atensi publik. Salah satu trik-nya ialah berlagak getol memerangi korupsi dan senantiasa mensosialisasikan gerakan anti-korupsi. Trik ini ampuh, sebab masih banyak rakyat Indonesia yang menginginkan negaranya terbebas dari cengkeraman korupsi.
Sandiwara Memerangi Korupsi
Artidjo Alkotsar dalam Korupsi Politik di Negara Modern (2008: 26), menyebut korupsi di Indonesia bak kangker stadium empat. Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 2020 Transparency International Indonesia (TII) menyebut negara Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara yang di ukur indeks persepsi korupsinya.
Status quo tentu tidak terlepas dengan kebiasaan para politisi yang suka memainkan sandiwara. Sandiwara ini sering dijumpai saat pesta demokrasi (Pemilu dan Pilkada). Pada momentum itu, para politisi berlomba-lomba mencari dukungan masyarakat dengan cara berpura-pura berpihak kepada masyarakat dalam memerangi korupsi, padahal kenyataannya tidak demikian.
Contohnya, beberapa politisi masyhur dari partai besar seperti Juliari P. Batubara, Edhy Prabowo, dan Nurdin Abdullah. Mereka selalu menggaungkan slogan anti-korupsi sebagai senjata pamungkas untuk menjaring dukungan masyarakat, namun itu hanyalah modus operandi dalam ‘sadiwara memerangi korupsi’. Sandiwara memerangi korupsi berhasil mengantarkan mereka ke bangku-bangku strategis di pemerintahan. Juliari dan Edhy sempat duduk di kursi DPR RI dan dipercaya oleh pak Jokowi untuk mengisi pos KEMENSOS dan KKP. Begitupun dengan Nurdin Abdullah yang dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi Gubernur Sulawesi Selatan.
Setelah memainkan sandiwara memerangi korupsi dan menduduki singgasana strategis, barulah mereka ber-aksi mencatut pundi-pundi haram. Alhasil mereka berujung pada OTT KPK. Peneliti PUKAT UGM, Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa seseorang yang terjaring OTT KPK maka besar kemungkinan orang tersebut adalah koruptor. Dikarenakan, sebelum KPK melaksanakan OTT mesti didahului dengan penyadapan dan barang bukti yang cukup. Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa rekam jejak ketiga politisi di atas dalam memerangi korupsi hanyalah sandiwara belaka. Dalam konteks dramaturgi, sikap mereka dalam memerangi korupsi hanyalah wajah kedua mereka yang ditampilkan di muka umum.
Nakhoda Negara Tak Sepatutnya Bersandiwara
Kita perlu mengingat bahwa dalam alinea ke-4 Preambule UUD 1945 negara Indonesia berjanji akan mewujudkan kesejahteraan umum. Kendati 75 tahun negara Indonesia merdeka, janji tersebut tidak kunjung terealisasi. Terbukti dari tingginya jumlah masyarakat miskin. BPS menyebut total masyarakat miskin pada tahun 2020 menyentuh angka 27 juta jiwa.
Hal ini tentu sangat kontras dengan maksim yang diungkapkan oleh Madyapuro yang menyebut “Indonesia negara gemah rimpah loh jenawi” yang berarti Indonesia adalah negara yang tentram, makmur, dan sangat subur tanahnya. Indonesia memang kaya akan SDA dan SDM. Bentang georafis dan iklim pun menunjang roda putaran ekonomi. Lantas kenapa Indonesia masih menjadi negara berkembang yang dihiasi 27 juta jiwa masyarakat miskin? Jawabannya adalah sandiwara para politisi dan korupsi di Indonesia yang tidak teratasi. Hazairin menyebut korupsi sebagai the roots of all evils and problem (akar dari semua kejahatan dan permasalahan). Maka problem kemiskinan pun berakar dari masif-nya tindak pidana korupsi.
Berikutnya, sandiwara yang sering dilakoni para politisi tentu sangat mencederai hakikat politisi itu sendiri. Secara terminologi, politisi adalah sebutan bagi orang yang bergiat di bidang politik yang pada umumnya dilatarbelakangi oleh alasan ideal seperti mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian (Leimena, 2007). Artinya, politisi merupakan individu yang memiliki integritas, kapasitas, dan ingin mendedikasikan diri demi mewujudkan good government and clean governance.
Ibaratkan sebuah bahtera, baik buruknya negara Indonesia ditentukan oleh nakhoda-nya. Sejahtera tidaknya rakyat ditentukan oleh nakhoda-nya. Nakhoda negara Indonesia adalah para politisi yang mengisi berbagai jabatan di lingkup eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Merekalah yang memegang kemudi-kemudi kebijakan. Kebijakan para politisi merupakan kunci kemakmuran sekaligus pintu kesengsaraan rakyat Indonesia.
Dengan kedudukan yang begitu vital, semestinya politisi tidak bersandiwara memerangi korupsi. Para politisi wajib memerangi korupsi secara sungguh dan bukan lip service belaka. Sebab, sandiwara dalam dunia politik hanyalah aksi kebohongan yang tidak mencerminkan kebijaksanaan dan mengantarkan pada kemiskinan serta efek domino lainnya. Dan teruntuk masyarakat hendaknya jangan mudah percaya dengan retorika para politisi, rakyat perlu selektif dalam menggunakan hak suaranya.