Ada baiknya saya ceritakan dulu alasan tulisan ini dibuat. Tulisan ini digerakkan oleh rasa iri. Secara khusus, iri pada Profesor Mun’im Sirry. Intelektual Islam yang, dalam banyak tulisannya di Geotimes, acapkali “membela” Kristen dalam usahanya membangun kerukunan umat beragama.
Saya yakin, Mun’im tidak sedang membela Kristen. Dia sedang membela kedamaian. Saya iri dan bertanya, “Kenapa intelektual Kristen tampak jarang mempublikasi gagasan serupa? Bukankah kedamaian umat beragama adalah tanggung jawab kita bersama?”
Iri kini berubah jadi dendam. Dendam untuk meneladani Mun’im Sirry–mau urun menyumbang gagasan untuk kedamaian. Bagai langit dan bumi, jika membandingkan kaliber intelektualitas saya dengan dia. Tapi tak jadi soal, kedamaian adalah usaha semua umat manusia. Seperti rindu, bukankah dendam juga harus dibayar tuntas?
Kenapa Perlu Dialog Teologis?
Berbicara tentang pluralitas agama harus beranjak terlebih dahulu dari persoalan teologis-dogmatis menuju pada teologis-etis. Ini perlu untuk mengurangi saling curiga.
Sikap intoleransi menggejala dalam kekerasan. Karenanya, kita perlu mengantisipasi nasihat Rene Girard bahwa kekerasan yang diambil dengan suara bulat oleh sekelompok bisa menjelma menjadi suatu penampakan sakral.
Untuk itu, dunia harus bersatu merumuskan dan mendukung suatu keyakinan serta pedoman etis bersama. Faktor penting dari semua ini adalah kebersediaan agama-agama untuk melakukan dialog bersama, begitu kata Paul F. Knitter (Menggugat Arogansi Kekristenan, 2009).
Sikap saling pengertian adalah tujuan akhir dari dialog. Dialog bukanlah perbandingan agama. Saya menolak istilah “perbandingan” karena sifat agama tak bisa dibandingkan.
Pembandingan, secara alami, menuntut kita terjebak dalam dikotomi. Agama tak bisa dibandingkan karena dia hadir jauh di dalam jatidiri. Dia sakral menyentuh subjektifitas paling murni dari manusia. Seperti rasa, dia tak bisa diperdebatkan.
Titik Awal: Apakah Kita Menyembah Tuhan yang Sama?
Mun’im Sirry sebenarnya sudah pernah menuliskannya, Apakah Muslim dan Kristen Menyembah Tuhan yang Sama? Di kalangan Kristen, topik ini masih jadi diskusi. Sebagian besar menolak, tapi banyak juga yang tidak.
Setidaknya Alkitab mencatat sembilan kali bahwa Tuhan itu Esa (Ulangan 6:4, Maleakhi 2:15, Markus 12:29, Markus 12:32, Yohanes 5:44, 1 Korintus 8:4, 1 Timotius 1:17, 1 Timotius 2:5, Yudas 1:25). Bahkan pada beberapa ayat, Yesus pun mengakui bahwa Tuhan itu Esa. Sehingga, kecurigaan bahwa Kristen menyembah tiga Tuhan adalah sesuatu yang tidak ditulis Alkitab.
Namun, kecurigaan bahwa Kristen menyembah tiga Tuhan pun tak bisa disalahkan begitu saja. Penyebutan Allah Trinitas dalam Gereja sebagai “Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus” juga berandil. Penyebutan tiga Pribadi secara terpisah dengan menyertakan kata “Allah” di tiap masing-masing Pribadi berangkat dari konsepsi keliru Trinitas.
Trinitas harus diakui sebagai sebuah konsep yang belum selesai–bahkan dalam kekristenan. Trinitas pada dasarnya adalah pengakuan pada satu Tuhan dengan tiga Pribadi. Jadi, penyebutan Trinitas sebenarnya adalah “Allah: Bapa, Anak, dan Roh Kudus.”
Setidaknya, ini bisa menjadi fondasi awal titik dialog bahwa kekristenan pun mengakui Tuhan itu Esa, namun dalam cara yang berbeda.
Jika demikian, apakah Tuhan yang disembah Kristen dan Islam adalah sama? Ah, pertanyaan dengan asumsi politeistik sebenarnya.
Semen Religio
Kita berangkat dari ayat pertama dalam Alkitab, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kejadian 1:1). Semua bermula dari Allah, merupakan pengakuan iman paling awal dari kekristenan. Allah adalah inisiator pertama.
Manusia pun berasal dari Allah. Manusia lahir tanpa label agama. Manusia memperoleh label agama dari struktur sosialnya. Karenanya, semua manusia (berlabel agama atau tidak) berasal dari Allah yang sama. Sehingga, “manusia” Kristen dan Islam sejatinya berasal dari Allah yang sama. Jadi, Kristen dan Islam pun menyembah Allah yang sama. Bahkan melampaui itu, semua agama yang ada di dunia pada dasarnya berasal dari Allah yang sama.
Kekristenan mengenal konsep logos spermatikos, sebuah benih yang ditanamkan Allah pada manusia, sehingga disadari atau tidak, manusia memiliki rasa kebutuhan akan Tuhan. Logos spermatikos ini menciptakan kebutuhan pada manusia untuk terhubung dengan sesuatu Yang Ilahi (sensus divinitatis).
Logos spermatikos bertumbuh menjadi semen religio, benih keagamaan. Manusia yang berkebutuhan untuk terhubung dengan Yang Ilahi akhirnya mencari ekspresinya. Dan itu dikenal sebagai agama. Ekspresi keagamaan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sosiologi, kebudayaan, ekonomi, politik, dan lainnya. Ekspresi inilah yang akan terpancar dalam bentuk dogma, ajaran, etika, ritual, dan semacamnya.
Jadi, dalam teologi Kristen, agama itu bercikal dari benih yang dititipkan Tuhan kepada manusia. Agama berasal dari Tuhan yang sama dengan ekspresi yang berbeda.
Inkarnasi Yesus: Menjadi Manusia
Tulisan Paulus dalam Filipi 2:7, “melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”, menjadi dasar dari Kristologi. Inkarnasi Yesus adalah sentral iman Kristen. Inkarnasi adalah peristiwa pengosongan diri Allah menjadi sama dengan manusia.
Ada pemaknaan terlupakan dalam inkarnasi Yesus menjadi manusia. Alkitab tidak menuliskan Yesus menjadi sama dengan Yahudi, Islam, Kristen, atau agama lain. Alkitab tidak menuju pada identitas lain. Yesus tidak masuk dalam identitas institusional apa pun, selain menjadi manusia. Artinya, kemanusiaan itu sendirilah yang jadi fokus utama Yesus.
Inilah seharusnya yang menjadi dasar kedua dari dialog. Bahwa dialog harus didasari oleh semangat untuk memperjuangkan kemanusiaan. Dialog bukan usaha akademis semata. Dialog adalah usaha untuk memajukan peradaban kemanusiaan.
Praktik Jemaat Mula-Mula
Sejak hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2), yaitu turunnya Roh Kudus, di situlah titik awal terbentuknya jemaat mula-mula. Ciri khas jemaat mula-mula adalah cara hidupnya, bukan dogmanya. Mereka membagi hartanya kepada orang miskin sehingga tidak satu pun kekurangan (KPR 4:34). Alkitab mencatat cara hidup demikian membuat mereka disenangi banyak orang (KPR 2:47).
Selain mengajar, para Rasul juga bertugas untuk memastikan yang miskin terpelihara. Namun, karena semakin banyak murid, keseimbangan antara tugas mengajar dan memperhatikan jemaat miskin terbengkalai. Akhirnya diputuskanlah memilih tujuh orang untuk membantu tugas para Rasul (KPR 6:1-7).
Dari ketujuh tokoh yang dipercaya, tersebut nama Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi dari Antiokia (KPR 6: 5). Alkitab mencatat nama Nikolaus berbeda dengan yang lain. Alkitab tidak melepaskan status agama Yahudi yang disandang oleh Nikolaus. Walau berkumpul dalam komunitas “Kristen”, Nikolaus tidak melepas keyahudiannya.
Alkitab tidak mencatat adanya penolakan dari jemaat kepada Nikolaus yang “lain” agamanya. Ini bukti jika jemaat mula-mula tidak mempersoalkan identitas keagamaan. Nikolaus diangkat sebagai salah satu pimpinan menunjukkan dia memenuhi kriteria “penuh Roh dan hikmat” (KPR 6:3).
Kepenuhan Roh dalam teologi Kristen adalah identitas terpenting. Seseorang disebut sah menjadi Kristen jika Roh Kudus hadir di hatinya lewat peristiwa kelahiran baru. Namun, ditetapkannya Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi, sebagai orang yang dipenuhi Roh, menjungkirbalikkan defenisi identitas itu sendiri.
Faktor penentu adalah karakter dan kualitas kemanusiaannya. Nikolaus diyakini punya kualitas untuk menjaga dan memelihara orang miskin. Itu pertanda Nikolaus bisa adil dan punya belas kasih. Karakter itu membuat Nikolaus penuh dengan Roh.
Jadi, barang siapa yang penuh belas kasih, apa pun agamamu, Roh Tuhan ada padamu.
Terkait