Jumat, Oktober 11, 2024

Adakah yang Salah dengan Penggemar Tik Tok dan Bowo Alpenliebe?

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.

Tik Tok sempat diblokir Kominfo pada awal Juli silam. Alih-alih tertarik pada isu pembatasan berekspresi dan berkreasi dengan senjata narasi moralitas ala pemerintah, saya lebih doyan menyimak ujaran-ujaran berbagai kalangan warganet soal keterlibatan seseorang dengan aplikasi visual tersebut—baik yang pro maupun kontra.

Dari sisi kontra, ada yang merasa Tik Tok adalah aplikasi nirfaedah, cuma buat orang-orang yang mau menonjolkan eksistensi padahal minim talenta. Ada juga yang berpikir Tik Tok mendorong penggunanya bertindak konyol, sebut saja menggelar Meet and Greet berbanderol puluhan hingga ratusan ribu rupiah dengan “hanya” bintang Tik Tok. Tengok saja petisi di Change.org yang sudah mendatangkan sokongan dari 150 ribuan warganet untuk memblokir aplikasi ini.

“Seorang anak kecil yang menangis meminta uang kepada orang tuanya, hanya untuk menghadiri Meet and Greet User Tiktok, dengan HTM yang tidak sedikit. Beberapa user TikTok yang menjadikan ibadah sebagai sarana hiburan melalui Tik Tok. Gadis-gadis belia yang berani menunjukan aurat, sekedar untuk berjoget dengan menampilkan aurat. Mereka generasi kita, mari kita lindungi dari aplikasi yang bisa menimbulkan keterbelakangan mental generasi muda. Blokir sekarang, sebelum menjadi penyakit mental di masa mendatang,” demikian petikan petisi tersebut.

Segala hal yang diekspresikan baik oleh si bintang maupun penggemarnya tidak masuk akal buat para pembenci Tik Tok, dan apa pun yang melekat pada diri si bintang terasa salah dan patut jadi bahan perisakan ataupun kontrol sosial.

Di lain sisi, front pembela Tik Tok tidak kalah vokal. Setidaknya, ini yang saya dapati dari akun @tiktok.indo di Instagram yang memiliki sekitar 797 ribu pengikut. Sekadar catatan: akun ini bukanlah akun resmi Tik Tok Indonesia karena yang resmi adalah @tiktok_sea, tetapi cenderung lebih reaktif dalam menghadapi isu-isu mulai dari perisakan pengguna Tik Tok sampai masalah pemblokiran aplikasi.

Dalam salah satu Instastory mereka, sang admin sempat membela Bowo Alpenliebe yang sudah dihujani hujatan di media sosial. Dukungan bagi para pengguna Tik Tok lainnya pun ditebar oleh akun tersebut, berharap mereka mampu menghimpun mental baja menghadapi badai komentar pedas yang serupa dengan yang diterima Bowo. Seperti yang diberitakan di media massa ketika Tik Tok diblokir, untuk mempertahankan eksistensi aplikasi tersebut di Indonesia, front pembela Tik Tok menggadang-gadang alasan kebebasan berekspresi dan Tik Tok mendorong kreativitas penggunanya. Mereka pun menyiratkan niatnya untuk tetap menyukai dan setia kepada Tik Tok, sembari menyebut kelompok pendukung petisi sekadar orang-orang dengki yang tidak perlu dipedulikan.

Seberapa Sehat Fandom Saya?

Tik Tok tentunya bukan fenomena anyar terkait fandom dan kebencian terhadap seseorang. Jauh sebelum era media sosial, ada berita soal Michael Jackson yang dituding melakukan child abuse pada era 1990-an. Sebagian orang menghujat, tapi penggemar setia Jacko tetap memuja sang Raja Pop dan selalu menantikan penampilannya.

Di Indonesia, beberapa dekade silam, dan mungkin hingga saat ini, penyanyi dan penyuka dangdut dipandang sebagian orang lebih inferior dibanding penyanyi dan penyuka musik rock atau pop, demikian Andrew Weintraub berpendapat dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012). Meski begitu, tetap saja pecinta dangdut sejati tidak surut kegandrungannya pada jenis musik tersebut dan penyanyi favoritnya.

Sementara di ranah media sosial beberapa tahun belakangan ini, ada Awkarin dan Anya Geraldine yang dicaci-maki karena dipandang terlalu berani mengekspresikan diri. Namun, orang-orang yang menyukai keduanya ini tidak berhenti mengalirkan dukungan dan pujian. Lirik pula bagaimana AgnezMo dibela mati-matian oleh penggemar garis kerasnya begitu ada secuil saja berita yang bernada negatif soal pelantun “Coke Bottle” tersebut. Salah seorang teman saya sempat menulis sebuah artikel yang menganalisis penampilan AgnezMo, dan tak butuh waktu lama sampai dia diserbu fans si penyanyi, sampai-sampai akun media sosialnya dikulik dan identitasnya dikuak untuk dirisak.

Karakteristik media digital memungkinkan tumbuh suburnya komunitas penggemar dan pembenci. Hal ini dikarenakan internet merupakan media interaktif yang membuka peluang komunikasi berbagai pihak: antarpenggemar, penggemar-seleb, antarpembenci, pembenci-seleb, dan penggemar-pembenci.

Di satu sisi, hal ini bisa dipandang sebagai sesuatu yang positif karena memangkas jarak sebagaimana ditemukan di media konvensional dan memupuk solidaritas orang-orang berselera senada. Namun di lain sisi, ini dapat menjelma menjadi mimpi buruk berkepanjangan jika berkaitan dengan komentar menyerang dan merendahkan. Bahkan, seperti kasus teman saya tadi, ada tindakan yang dapat membahayakan diri seseorang yang tak sepaham dengan sekelompok penggemar ataupun penghujat garis keras.

Ketika kegandrungan akan sesuatu atau seseorang menyebabkan ancaman bagi orang lain, buat saya, hal itu sudah mengarah ke situasi tidak sehat. Itu pertama. Kedua, fandom juga bersifat destruktif ketika hal tersebut mendorong seseorang melakukan sesuatu yang tidak dapat dijangkaunya sehingga merepotkan orang lain. Contoh, argumen penulis petisi tadi bahwa ada anak yang meminta uang kepada orangtuanya supaya bisa bertemu dan berfoto dengan seleb Tik Tok.

Buat saya, fenomena Meet and Greet yang dipromosikan di sejumlah akun menjadi hal menarik lain yang dapat disoroti dari keberadaan Tik Tok. Begitu lihainya segelintir orang dalam menangkap fenomena dan mengolahnya menjadi sebuah peluang bisnis. Kebanyakan penggemar seleb Tik Tok adalah remaja dan sebagian dari mereka cenderung impulsif ketika berkenaan dengan sosok yang mereka puja. Apa pun akan dilakukan, entah demi memuaskan keinginannya bertemu dengan seleb Tik Tok atau atas alasan dorongan peer group. Buat mereka, kebanggaan pernah bertemu seleb dapat menjadi salah satu mata uang dalam pertemanan kendati itu artinya harus mengorbankan sesuatu atau merepotkan orang tuanya. Imbas dari hal ini, relasi seseorang dengan orangtuanya potensial berujung pada konflik.

Ketiga, fandom bersifat merusak ketika mengganggu aktivitas dan interaksi sosial seseorang. Studi-studi terdahulu pernah menyebutkan bahwa kegandrungan berlebih akan sesuatu bisa menyebabkan perubahan perilaku dan kegelisahan jika “dahaganya” tak terpuaskan. Ambil contoh gandrung media sosial. Ada orang-orang yang merasa hidupnya belum lengkap bila belum mengakses media sosial selama sekian jam, atau merasa tidak bisa tidak memublikasikan selfie barang sehari saja—sampai-sampai ada yang menganggapnya sebagai “gangguan” selfitis.

Selama hal-hal yang tadi disebutkan tidak terjadi, fandom bukanlah hal yang buruk. Sebaliknya, hal ini justru berdampak baik bagi seseorang, misalnya menciptakan koneksi dengan orang lain. Fandom pula yang menyokong pembentukan identitas serta sense of belonging yang berkaitan dengan penilaian diri seseorang. Oh, saya merasa diterima di komunitas ini, saya merasa nyambung ngobrol dengan mereka, saya tidak sendirian, saya bisa bertukar informasi dan belajar dari sesama penggemar dan begitu pula sebaliknya. Fandom di sekelompok orang juga menciptakan perasaan aman karena ketika muncul serangan dari pihak yang membenci, akan ada orang-orang yang sepemikiran dan selalu mendukung.

Mengapa Perisakan Marak di Dunia Online?

Ada beragam alasan yang mendasari perilaku agresif atau tindakan perisakan yang dilakukan satu atau sekelompok orang di dunia online. Salah satunya karena anonimitas  yang dimungkinkan di sana. Hari ini buat akun baru dengan nama samaran, cemooh sepuas-puasnya orang yang tak disuka, besok menghilang.

Alasan lainnya adalah karena media sosial merupakan ruang penghimpunan konformitas. Begitu suara sepaham berhasil dikumpulkan, kekuatan untuk melawan hal-hal yang tidak sejalan dengan pemikiran suatu kelompok pun terbentuk. Keberanian dan kepercayaan diri melingkupi paham tunggal yang dipegang seolah tidak ada lagi fakta atau opini alternatif yang boleh eksis. Soal pandangan bahwa diri atau kelompok sendiri adalah yang paling benar, ada kaitan antara hal ini dengan narsisisme. Para narsis akan membuat hierarki terbayangkan dan siapa pun yang tidak seselera atau sependapat dengan mereka berposisi tak sederajat.

Di samping itu, dalam Psychology Today, pakar pengembangan diri Michael Formica menyebut bahwa para perisak lekat dengan ketidakamanan. Seorang perisak nan narsisis dan egois senantiasa berdiri di atas ketakutan atau kekhawatiran kalau-kalau orang lain memandangnya tak cukup baik atau keren. Rekognisi adalah bahan pereda takut yang membara, dan salah satu cara mendapatkan bahan tersebut adalah melalui perisakan orang lain.

Perkara Selera yang Berstrata

Pro-kontra tentang keberadaan Tik Tok dan aktivitas penggunanya tidak jauh-jauh dari isu selera. Kebencian terhadap kelompok penggemar yang kemudian berujung pada tindakan agresif dapat dilandasi oleh pandangan bahwa selera memiliki strata. Sampai sekarang, masih banyak yang mengamini frasa “selera kelas atas” dan “selera kelas bawah”. Mereka yang suka musik klasik misalnya, dipandang sebagian orang sebagai kelompok masyarakat teredukasi, dari kelas berada, dan sejenisnya, sekalipun bisa saja orang-orang ini tidak pernah berpendidikan tinggi atau hanya bergaji setengah UMR. Orang-orang yang gemar makan petai atau jengkol dilihat dengan menunduk, terlepas dari status sosial mereka sebenarnya. Kecepatan menilai orang atau kelompok lain seperti kecepatan cahaya, sementara niat untuk mengenal atau bertanya lebih lanjut tanpa menghakimi muncul dengan kecepatan kura-kura.

Saya kira, hal ini pun terjadi pada fenomena Tik Tok. Di salah satu video di Youtube, ada pengguna yang menjelma sebagai komentator acara Meet and Greet seleb Tik Tok. Saya menyoroti beberapa diksi yang dipilihnya: pembodohan, hanya ketemu Muser aja udah serasa ketemu artis Korea, gue aja ngakak liatnya, kayak gini harus dibenahi, mudah-mudahan tersadarkan.

Hal-hal yang dinyatakannya mengisyaratkan pandangan merendahkan, baik kepada penggemar seleb Tik Tok maupun seleb itu sendiri. Ia memakai narasi pemborosan yang dilakukan para penggemar untuk bertemu seleb Tik Tok. Dalam beberapa narasi kontra Tik Tok, secara berulang muncul istilah “star syndrome” yang bermakna negatif dan ditempelkan pada para seleb Tik Tok.

Sebagian orang boleh jadi sepakat dengan Youtuber tadi, mungkin termasuk pemilik 18 ribu akun yang menyukai videonya. Saya pun sepakat dengannya bahwa uang tak sedikit yang mesti digelontorkan untuk bertemu sang pujaan itu enggak worth it. Namun, saya tidak sependapat dengan si pembuat video ketika ia menggunakan kacamatanya untuk menakar selera orang lain. Saya lebih percaya bahwa selera seyogyanya dipandang secara horizontal, opsi bebas yang bisa diambil seseorang selama tidak merugikan orang lain dan dirinya.

Misalkan begini, Anda suka sekali dengan teman sekelas yang merupakan bintang olahraga dan jago main musik. Sementara, saya suka dengan teman sekelas yang biasa-biasa saja, bukan bintang kelas dan bukan anak konglomerat, juga tak bisa main musik. Buat Anda, si bintang olahraga ganteng setengah mati, tetapi buat saya, yang terganteng cuma si teman yang biasa saja tadi. Perkara preferensi—tidak bicara sampai tindakannya dulu loh, ya—adalah hal yang tidak bisa diganggu-gugat dan patut dihargai. Mungkin Youtuber tadi tidak bisa merelasikan diri, memahami, apalagi menerima polah tingkah penggemar seleb Tik Tok. Tetapi bukankah demikian pula dengan sebagian generasi kakek nenek atau orangtua kita yang tidak begitu bisa merelasikan diri dengan bocah yang gandrung berat pada video gim atau media sosial sebagai sarana berinteraksi?

Berkaca pada fenomena-fenomena terdahulu, misalnya Sinta dan Jojo yang tenar lewat cover “Keong Racun”, saya menerka motivasi yang mendorong mereka serta Youtubers lain setali tiga uang dengan para pengguna Tik Tok. Bedanya ada pada platform dan cara kedua kelompok warganet ini berkreasi menciptakan sebuah tayangan. Jika alasan atau tujuan yang dimiliki serupa, mengapa perlu menjelekkan suatu kelompok?

Ketika pembuat video tadi mengomparasi dengan artis Korea, saya berpikir, apa segala hal yang disukai seseorang harus mengacu pada produk dari negara lebih maju, atau hal yang sudah established, atau hal yang disepakati sebagai sesuatu yang populer? Apakah mereka yang menyukai One Direction berposisi di atas para penggemar Coboy Junior dulu? Apakah penyuka film Bollywood lebih remeh dibanding pecinta drama Korea atau serial Hollywood? Mengapa ketika Rihanna bergonta-ganti warna rambut lebih dipandang trendi, sementara ketika hal ini dilakukan pengamen perempuan di sini, ia dipanggil “alay” meskipun ia juga punya talenta sebidang dengan pelantun “Stay” itu? Mengapa pula istilah alay muncul? Kembali soal strata tadi. Pihak dominan mendefinisikan mana yang keren dan tidak, mana yang patut dipuja dan dicap “yaelah begini doang disukain”.

Perkara kesukaan sekali lagi tidak berdimensi tunggal. Mungkin sekarang masanya orang suka yang biasa-biasa saja, walau pada saat bersamaan, tak bisa dinafikan ada peran besar pemasar seleb Tik Tok dan publikasi di media sosial dalam menciptakan tren dan kegandrungan ini. Ketika orang-orang mengabaikan atau menolak selera seseorang, yang terjadi adalah pemaksaan kehendak komunal atau suara dominan dan pelalaian subjektivitas yang lekat dalam diri tiap individu.

Akhir kata, buat saya, tidak ada yang salah atau buruk bila seseorang mau menunjukkan eksistensinya dan berekspresi via media mana saja selama ia dapat mempertanggungjawabkan karyanya. Tidak ada yang keliru dengan keinginan menjadi bintang atau menjelma jadi bintang dadakan selama menggunakan cara-cara yang sehat. Menggemari sesuatu bukan hal yang jelek, kecuali bila kegemaran tersebut berlebihan dan erat dengan cara pandang selera secara vertikal alih-alih horizontal.

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.