Sabtu, April 27, 2024

Tantangan Kampus Merdeka, Maunya Nadiem Apa?

Neni Nur Hayati
Neni Nur Hayati
Direktur Eksekutif Democracy anad Electoral Empowerment Partnership, Aktivis Nasyiatul Aisyiyah

Seluruh perguruan tinggi di Indonesia tengah mempersiapkan berbagai upaya strategis dalam menyikapi arah kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim menyangkut kampus merdeka.

Program itu akan direalisasikan dalam empat kebijakan yakni kemudahan re-akreditasi kampus, pemberian hak belajar kepada mahasiswa di luar program studinya selama tiga semester, otonomi kampus untuk membuka program studi baru dan perubahan status perguruan tinggi berbadan hukum.

Perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk sukarela mengambil ataupun tidak satuan kredit semester (SKS) diluar kampusnya sebanyak dua semester. Mahasiswa juga dapat mengambil SKS di prodi lain di kampusnya sebanyak satu semester dari total semester yang harus ditempuh. Gagasan kampus merdeka ini tentunya memberikan ruang seluas–luasnya untuk lebih mengembangkan potensi sumber daya manusia dalam mengantisipasi kompetisi global.

Implementasi ini tentu bukanlah hal yang mudah bagi perguruan tinggi. Setidaknya, perguruan tinggi harus bersinergi dengan berbagai komponen, seperti majelis wali amanat, senat akademik, dewan guru besar, unit-unit kerja universitas, fakultas, departemen, jurusan, dan program studi yang masing–masing memiliki peran dan fungsi berbeda (Setiawan, 2020). Tentunya ini menjadi tantangan yang cukup nyata bagi perguruan tinggi bagaimana dalam mewujudkan program kampus merdeka.

Melihat esensi dari kebijakan kampus merdeka ini adalah perluasan otonomi, kemandirian, percepatan birokrasi dan peningkatan inovasi di perguruan tinggi. Maka, tentunya inovasi, terobosan kreatif serta penguatan bidang ilmu menjadi modal yang sangat berharga. dalam mengimplementasikan kampus merdeka.

Kebijakan Mendikbud juga menjadi jawaban atas kebutuhan masyakarat dan tantangan dunia. Perguruan tinggi tidak lagi disibukkan dengan persoalan administrasi yang selama ini menjadi polemik dan merasa terjajah. Kampus merdeka telah mengembalikan perguruan tinggi kepada khittahnya, yakni sebagai pusat pengembangan intelektual tanpa harus ada beban – beban lain yang cukup menyulitkan dalam persoalan teknis di perguruan tinggi.

Namun, ada tantangan lain dari kebijakan ini. Disatu sisi harus mendapatkan respon cepat  untuk segera dieksekusi, tapi disisi lain harus terlebih dahulu ada penyesuaian kurikulum, jadwal implementasi serta pemgembangan sistem. Tentu saja dalam hal penyesuaian ini dibutuhkan waktu untuk sampai pada implementasi secara utuh. Pada akhirnya setiap perguruan tinggi harus memiliki strategi yang cermat, tepat dan cepat dalam upaya aktualisasinya.

Kampus Merdeka Bebas dari Politik?

Meski demikian, wacana kampus merdeka  menimbulkan polemik di kalangan dunia pendidikan. Pasalnya batasan operasional kemerdekaan di perguruan tinggi masih dipandang belum memiliki kejelasan. Salah satu yang menjadi problem ketidakjelasan tersebut adalah terkait dengan interaksi antara kampus dan politik. Apakah kampus akan dimerdekakan dari politik atau justru malah diberikan kebebasan selebar – lebarnya  untuk berpolitik?

Politik di dunia perguruan tinggi adalah sebuah keniscayaan. Tidak sedikit produk akademik dimanfaatkan oleh pihak berkepentingan. Bahkan, kadang terjadi banyak manipulatif data dan rekayasa sosial politik atas produk ilmiahnya untuk kepentingan pribadi. Lebih miris lagi, tatkala adanya kalangan terdidik yang ketika masuk ke lingkaran kekuasaan tidak sedikit  yang terbelit jeratan korupsi.

Banyak proyek di kampus yang sangat menggiurkan kaum  terdidik. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, sekitar 86 persen pelaku korupsi merupakan lulusan perguruan tinggi. Aib yang sangat memalukan dan sudah semestinya menjadi sarana mereflesksikan diri agar setelah kampus merdeka dilaksanakan pendidikan bisa jauh lebih baik dan setiap alumnus yang diluluskan memiliki kekuatan moral. Layaknya, institusi yang lain, perguruan tinggi menjadi institusi yang rentan menjadi korban sekaligus tindak pidana korupsi di dunia pendidikan.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi mendapatkan tugas yang sangat spesifik untuk melaksanakan tridarma yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Namun, secara historis perguruan tinggi memiliki peran yang lebih mendasar, yakni peletak nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Perguruan tinggi menjadi penjaga moral suatu bangsa.

Oleh karenanya, kampus merdeka tidak boleh kehilangan konteks dari tridarma perguruan tinggi. Tetaplah peduli kepada masyarakat sebagai lingkungan sosialnya.  Sejatinya hal ini dapat memberikan nilai tambah, kontribusi dan sumbangsih sebesar – besarnya bagi masyarakat. Harapannya, kebijakan yang telah ditetapkan dalam dunia pendidikan haruslah konsisten. Bagaimanapun memang tidak ada jaminan kebijakan ini masih bertahan pasca 2024.

Kemendikbud mestinya dapat mempertimbangkan terkait dengan alokasi waktu pelaksanaannya. Jangan sampai berganti lagi presiden dan menteri, maka kebijakan pun diganti lagi. Kalau seperti ini terus, dunia pendidikan digonjang ganjing, maka sampai kapanpun tidak akan pernah menemukan formulasi tepat seperti apa sistem pendidikan yang dibutuhkan di Indonesia. Seolah, pendidikan ini menjadi ajang ujicoba dan korban kebijakan para elit politik.

Sudah selayaknya Kemendikbud memiliki Garis–Garis Besar Haluan Perguruan Tinggi (GBHPT) agar tidak selalu terjadi perubahan kebijakan di setiap pergantian rezim pemerintahan. Program kampus merdeka harus memiliki misi yang substansial, yaitu membangun sumber daya manusia Indonesia secara utuh.

Selain itu, hal yang perlu juga dipahami, bahwa kampus dan sekolah adalah wadah untuk membangun peradaban suatu bangsa. Kita tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai, jauh lebih penting dari itu menyangkut persoalan watak dan karakter. Dunia pasar kerja global akan selalu berubah tapi tidak dengan etika. Esensi inilah yang sangat dibutuhkan dan tidak boleh ditinggalkan. Semoga kampus merdeka dapat menjadi solusi tepat atas problem pendidikan yang selama ini terjadi.

Neni Nur Hayati
Neni Nur Hayati
Direktur Eksekutif Democracy anad Electoral Empowerment Partnership, Aktivis Nasyiatul Aisyiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.