Kamis, Desember 12, 2024

Penggusuran, Reklamasi, dan Agenda Sosial Desain

Andi Setiawan
Andi Setiawan
Pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain UNS Solo. Kini menempuh studi lanjut PhD bidang desain di Lancaster University, Inggris.
- Advertisement -

Kampung ini terletak di daerah Jodipan. Kalau dilihat dari jembatan Gatot Subroto, Kampung Warna-Warni ada di sebelah kanan. Sedangkan di sebelah kiri jembatan itu Kampung Tridi – kampung yang dihiasi lukisan 3D. Tiket masuk ke dua kampung itu masing-masing 2000 perak. [Sumber: www.yaspiery,wordpress.com]
Kampung ini terletak di daerah Jodipan. Kalau dilihat dari jembatan Gatot Subroto, Kampung Warna-Warni ada di sebelah kanan. Sedangkan di sebelah kiri jembatan itu Kampung Tridi – kampung yang dihiasi lukisan 3D. Tiket masuk ke dua kampung itu masing-masing 2000 perak. [Sumber: www.yaspiery,wordpress.com]
Peristiwa penggusuran pemukiman di beberapa kota serta polemik seputar reklamasi pantai untuk pengembangan industri properti kembali mengundang perdebatan akan masalah perebutan ruang. Ruang, menurut Lefebvre, sejatinya adalah produk sosial, sehingga setiap ruang tidak bisa dipisahkan dari praktik sosial manusia yang mendiaminya.

 

Produksi ruang yang mengabaikan praktik sosial sama saja mengasingkan ruang dari hakikatnya. Alienasi ini terjadi tidak lain karena praktik komodifikasi ruang. Ruang akhirnya dilihat semata sebagai sebuah komoditas yang layak dikuasai karena nilai ekonominya.

Sayangnya, praktik semacam ini seringkali justru mendapat dukungan dari pemerintah selaku penentu kebijakan. Paradigma pembangunan teknokratis dengan pendekatan top-down membuat setiap keputusan pembangunan semata hanya diputuskan dari perspektif negara yang menganggap dirinya adalah yang paling ahli dalam menentukan arah pembangunan.

Pihak yang sangat terkait dengan fenomena ini sejatinya adalah kalangan desainer. Mulai dari perencana kota, arsitek, desainer interior, hingga desainer produk. Jika ingin diperluas, mungkin juga sampai ke desainer grafis. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM), antropologi perkotaan, maupun sosiologi, kalangan desainer masih jarang bersuara atas fenomena ini.

Kita dapat menemukan beberapa entitas desain yang mencoba bersuara kritis atas fenomena ini, antara lain Rujak Center, ASF Indonesia, Arkom Indonesia, studio Akanoma, dan beberapa akademisi desain. Selebihnya, baik itu desainer profesional perseorangan, institusi pendidikan desain/arsitektur, maupun organisasi profesi sekelas IAI, HDII, atau ADGI tidak terdengar menyuarakan pandangan mereka. Bisa jadi mereka sebetulnya mempunyai kegelisahan, tetapi bisa juga mereka abai, atau justru mendukung dengan argumentasinya masing-masing.

Keengganan sebagian kalangan desainer untuk bersikap kritis ini bisa dipahami dengan melihat sejarah perkembangan arsitektur dan desain modern. Kemunculan mereka sangat erat kaitannya dengan revolusi industri, bahkan sering dikatakan bahwa desain adalah pendukung utama kemajuan industri kapitalis Barat. Oleh karena itu, kita bisa memahami jika kalangan desainer enggan berseberangan dengan kepentingan industri kapitalis.

Namun demikian, dalam sejarahnya, ada beberapa gerakan dari kalangan desainer yang mencoba menyuarakan agenda sosial desain, yakni agenda pembelaan terhadap kemanusiaan melawan penindasan industri.

Seruan Agenda Sosial Desain

Walaupun bukti-bukti kegagalan desain modern sudah terlihat sejak tahun 70-an (misalnya dibongkarnya komplek rumah susun di Pruitt Igoe, Amerika, 1972), hal ini belum cukup menghentikan laju perkembangan desain modern yang semakin kapitalistik. Konsumerisme semakin tinggi, dipicu perilaku desain industrial yang memang sengaja mambanjiri pasar dengan barang yang sama tetapi dipoles desainnya secara periodik.

- Advertisement -

Dalam situasi semacam ini, muncul beberapa gerakan maupun seruan untuk mengingatkan kembali bahwa ada tanggung jawab desainer terhadap kualitas peradaban: sebuah tanggung jawab sosial desain.

Seruan pertama datang dari Victor Papanek, seorang arsitek kelahiran Swiss. Pada tahun 1970, Papanek menerbitkan buku Design For The Real World. Buku ini dianggap sebagai panggilan terhadap agenda sosial bagi para desainer. Papanek mengkritisi desainer yang terlalu sedikit meluangkan waktunya untuk memikirkan masalah nyata penduduk dunia, yakni masalah di negara dunia ketiga, masalah yang dihadapi kaum difabel, dan masyarakat marjinal lainnya.

Desainer terlalu sibuk memikirkan merancang barang-barang yang tidak banyak bermanfaat bagi peradaban dunia dan hanya dinikmati oleh sangat sedikit penduduk dunia, yaitu kelas menengah atas dan konglomerat.

Karena itu, Papanek mengingatkan akan adanya tanggung jawab sosial desainer. Pertama, desainer harus mulai benar-benar memikirkan kebutuhan nyata manusia dan bukan sekadar melayani tuntutan produksi industri kapitalis. Kedua, desainer harus mulai berpikir bagaimana menghasilkan produk yang tidak menambah kerusakan lingkungan.

Jika seruan Papanek lebih bertendesi kepada anjuran perbaikan visi desainer, maka di tahun yang sama di kawasan Skandinavia, muncul pula sebuah gagasan tentang agenda sosial desain yang mencoba menggeser peran desainer. Gerakan ini muncul dalam eksperimen perancangan sistem produksi pada industri logam di Norwegia. Didorong oleh semangat Sosialisme Marxis yang saat itu dominan di kawasan Skandinavia, dua desainer sistem, Kristen Nygaard dan Olav Terje Bergo, membuat eksperimen untuk lebih memberdayakan buruh dalam rantai produksi industri dengan melibatkan mereka dalam proses desain sistem produksi.

Hal ini berdampak besar dalam mengubah metode desain tradisional. Jika dalam metode desain tadisional, desainer adalah penentu keputusan desain, maka dalam metode baru ini desainer harus membagi peran dan wewenangnya kepada pengguna. Proses desain dilakukan bersama antara desainer dan pengguna. Metode baru ini kemudian dikenal dengan sebutan metode desain partisipatif.

Pendekatan partisipatif ini membangun kesadaran baru bahwa desain harus melibatkan pengguna (dalam konteks komersial disebut konsumen). Desainer harus menekankan kembali bahwa mereka merancang untuk memenuhi kebutuhan pengguna, sehingga dimensi sosial dengan melibatkan pengguna dalam proses perancangan wajib dilakukan.

Sedangkan dalam praktik arsitektur di Inggris dan Amerika Serikat, kurun waktu pertengahan tahun 70-an ditandai dengan mulai munculnya kelompok-kelompok arsitek muda yang menyebut dirinya arsitektur komunitas. Arsitektur komunitas ini muncul akibat tekanan dunia profesi yang semakin mendegradasi peran arsitek menjadi sekedar pelaksana ide pemodal. Hal ini menjauhkan arsitek dari interaksi langsung dengan calon penghuni bangunan yang mereka rancang.

Mereka juga semakin jenuh dengan pendekatan deterministik arsitektur modern saat itu yang justru menghasilkan kerusakan sosial di lingkungan pemukiman baru yang dihasilkan oleh rekan-rekan sepofresi mereka. Arsitektur komunitas merupakan antidot untuk praktik arsitektur modern kala itu, yaitu dengan cara berusaha mendekatkan diri kepada masyarakat pengguna dan bekerja bersama mereka membangun lingkungan pemukiman kota.

Hingga saat ini, agenda-agenda sosial desain sudah semakin kuat diperjuangkan oleh kalangan desainer di Barat. Kita bisa menyebut banyak konsep dan gagasan desain baru yang sebetulnya pendalaman atau penjabaran dari ketiga gagasan diatas. Konsep sustainable design jelas berakar pada gagasan Papanek tentang produk yang ramah lingkungan.

Sedangkan gagasan desain partisipatif dan arsitek komunitas berlanjut dalam berbagai bentuk varian pendekatan desain dengan perhatian utama pada upaya melibatkan pengguna dalam proses desain. Sebagai contoh kita bisa menyebut co-design, co-creation, user-centered design, design community, social architecture, social innovation, sharing city hingga democritizing innovation sebagai gagasan desain baru yang semakin menjadi arus utama dalam praktik desain di barat.

Bukan hanya secara fisik, Romo Mangun juga membangun kampung Code secara budaya. “Sing pada rukun, aja pada tukar padu,” begitu pesan Romo Mangun dalam bahasa Jawa yang lekat di ingatan warga ketika mulai menghuni permukiman itu. [Sumber: www.arifkoes.wordpress.com]
Bukan hanya secara fisik, Romo Mangun juga membangun kampung Code secara budaya. “Sing pada rukun, aja pada tukar padu,” begitu pesan Romo Mangun dalam bahasa Jawa yang lekat di ingatan warga ketika mulai menghuni permukiman itu. [Sumber: www.arifkoes.wordpress.com]
Konteks Indonesia

Bagaimana dengan lanskap dunia desain di Indonesia? Sejarah mencatat sejumlah tokoh arsitektur dan desain yang akrab dengan agenda sosial dalam karier profesional mereka.

Pertama, Romo YB Mangunwijaya. Praktik sosial dalam desain Romo Mangun bisa kita lacak dalam banyak karyanya. Yang paling dikenal tentu saja penataan pemukiman di bantaran Kali Code Yogyakarta yang digarap pada tahun 1983. Romo Mangun berhasil menata pemukiman warga dengan memberdayakan mereka, sehingga warga menjadi elemen aktif yang berusaha memperbaiki diri dan lingkungannya.

Keberhasilan warga membuktikan diri bahwa mereka mampu berbenah baik secara sosial, ekonomi, maupun estetis menjadikan pengggusuran urung dilakukan pemkot. Dapat dilihat bahwa keberhasilan Romo Mangun sesungguhnya bukan hanya pada pencapaian kualitas estetika artifak arsitekturnya saja, tapi lebih dari itu, yakni kemampuan emansipatorisnya dalam memberdayakan warga sehingga mampu aktif bergerak memperbaiki diri. Apa yang Romo Mangun lakukan tidak lain adalah bentuk pendekatan desain partisipatif melalui sebuah praktik arsitektur komunitas.

Kedua, Hasan Poerbo, seorang guru besar arsitektur ITB. Hasan banyak melakukan praktik pemberdayaan komunitas di pedesaan. Salah satu proyek yang dikerjakannya adalah pengembangan sistem pengelolaan lingkungan di desa Cigaru, Ciamis Utara, pada tahun 1980-1984. Proyek pengelolaan lingkungan ini dilakukan dengan metode partisipasi warga. Hasan menekankan pentingnya mengadopsi nilai dan norma asli masyarakat sebagai pedoman untuk menentukan tujuan proyek, bukan hanya mencapai tujuan yang dicanangkan oleh tim di luar komunitas.

Hasan juga mengkritik pelaksanaan pembangunan desa oleh pemerintah yang cenderung deterministik, dengan pendekatan top-down sehingga mengesampingkan suara warga. Ia menyarankan agar selanjutnya pemerintah tidak terlalu banyak campur tangan dalam merancang pembangunan desa dan memberikan ruang yang lebih luas untuk inisiatif dan partisipasi warga.

Di luar kedua tokoh tadi, terdapat sejumlah entitas desain yang berusaha menggaungkan agenda sosial desain sebagaimana yang telah saya sebutkan di awal. Minimnya pelaksanaan agenda sosial dalam praktik desain di Indonesia mengingatkan kita pada lanskap desain era 70-an di perkotaan dunia barat. Praktik memindahkan warga kawasan kumuh ke hunian-hunian vertikal jelas menyisakan banyak masalah. Mulai dari matinya sumber perekonomian warga, retaknya kohesi sosial, hingga timbulnya kriminalitas baru di lingkungan rumah susun.

Belum lagi hilangnya wajah lanskap perkotaan yang unik dan heterogen, digantikan wajah homogen kota modern yang membosankan. Dalam dunia desain pun, para desainer Indonesia, misalnya desainer furnitur, saat ini juga masih disibukkan dengan tuntutan mengikuti pasar yang dikendalikan oleh pemodal. Desainer produk masih berorientasi menghasilkan barang yang laku di pasar. Membanjiri konsumen dengan produk-produk konsumsi yang pada akhirnya mungkin tidak terlalu dibutuhkan.

Belajar dari situasi serupa di Barat, kita perlu mengingatkan desainer di Indonesia akan pentingnya menegakkan kembali agenda sosial desain. Desainer Indonesia harus keluar dari kepompong eksklusivitas mereka yang hanya melayani golongan kelas atas. Desain seharusnya bermanfaat untuk seluruh lapisan masyarakat. Banyak persoalan riil masyarakat Indonesia yang membutuhkan peran aktif desainer sebagai fasilitator.

Pendekatan metode partisipatif layak digunakan sebagai usaha untuk mendapatkan hasil desain yang lebih optimal. Misalnya, dimulai dari bagaimana mendesain sistem pelayanan administrasi kependudukan yang lebih ramah pengguna, bagaimana menata kawasan ruang terbuka hijau di perkotaan bersama warga, hingga bagaimana mendesain halte ramah difabilitas dengan melibatkan kaum difabel secara langsung.

Agenda sosial desain ini mendesak untuk dilaksanakan, karena pendekatan pembangunan pemerintah yang masih cenderung teknokratis dan deterministik ternyata banyak menyisakan persoalan, termasuk konflik agraria, kerusakan lingkungan, hingga segregasi sosial. Maka, desainer Indonesia harus segera menemui masyarakat, menggali permasalahan riil di lapangan, bahkan harus mampu memberdayakan warga agar mampu mandiri menyelesaikan permasalahan lingkungannya.

Dalam hal ini, peran berbagai lembaga profesi desain juga layak dipertanyakan. Sejauh apa mereka membawa agenda sosial dalam program kerja organisasinya? Organisasi profesi desain seharusnya mampu mendesak pemerintah untuk mendorong keterlibatan desainer dalam proses pembangunan sebagai fasilitator warga, untuk berpartisipasi merancang pembangunan di lingkungannya.

Absennya agenda sosial desain di Indonesia saat ini salah satunya juga disebabkan dari kesalahan pada pendidikan desain. Pendidikan desain kita masih mengadopsi pemikiran desain modern Barat, di mana seorang desainer adalah orang pilihan yang bertugas memecahkan masalah desain. Desiner adalah petarung tunggal yang berhak menentukan solusi masalah desain, tentunya dengan pertimbangan khas desain modern, yaitu logis, terukur, dan efisien.

Pendekatan pendidikan semacam ini tentu saja menghasilkan desainer yang cenderung berkarakter asosial dan lebih melayani pasar dibanding manusia. Mengutip Papanek, permasalahan utama sekolah desain adalah mereka terlalu banyak mengajarkan cara mendesain dan kurang mengajarkan pemahaman sosial dan politik lingkungan tempat desain tersebut dijalankan.  

Kurikulum pendidikan desain seharusnya lebih diarahkan pada pola “design with” dibanding pola “design for”. Sehingga penekanannya adalah pada upaya menyiapkan desainer yang mau dan mampu bekerja bersama orang lain terutama pengguna dan pemangku kepentingan lainnya.

Kita membutuhkan lagi desainer-desainer Indonesia yang peka terhadap permasalahan nyata masyarakat, serta mau bergerak untuk mendampingi warga menyelesaikan masalah mereka, sekaligus belajar bersama warga untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Tanpa agenda sosial, desain bak tubuh tanpa jiwa, hanya menjadi robot produksi yang berharga bagi pasar, namun tidak untuk kemanusiaan.

Andi Setiawan
Andi Setiawan
Pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain UNS Solo. Kini menempuh studi lanjut PhD bidang desain di Lancaster University, Inggris.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.