Respons publik terhadap kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga perihal pembinaan mahasiswi bercadar sangat semarak. Berbagai jenis tulisan dan ujaran yang menghiasi banyak kanal media sosial ada yang saling bertaut satu sama lain, dan ada pula yang saling bertentangan.
Dalam proses penentangan, terdapat beragam cara yang diekspresikan oleh masing-masing pihak. Ada yang melampiaskan ketidaksukaannya dengan kata-kata satir yang sangat emosional. Bahkan dalam beberapa akun ada yang menyerang Rektor UIN Suka dengan diksi tak etis seperti: Goblok!
Tak sedikit pula pihak yang menentang dengan menggunakan cara fait accompli untuk membenturkan kebijakan Rektor UIN Suka dengan berbagai pendapat lain yang sebenarnya terputus konteks maksud dan tujuannya. Implikasinya, isi kebijakan tersebut yang sesungguhnya menegaskan pentingnya langkah pembinaan bagi mahasiswi bercadar justru direduksi secara langsung menjadi pernyataan bahwa rektor melarang mahasiswi bercadar untuk kuliah di UIN Suka.
Bahkan, diksi pembinaan pun yang menjadi maksud dan tujuan Rektor UIN Suka dalam menerbitkan surat bertanggal 20 Februari 2018 untuk mendata mahasiswi bercadar dituduh mengandung bahasa eufemis yang diam-diam memuat argumen politik melalui pendekatan keamanan negara. Seolah-olah dalam asumsi ini ada modus serupa dengan apa yang dilakukan Orde Baru untuk melakukan pengamanan masyarakat dengan cara pembinaan: pembinaan adalah sebuah cara kerja semiotika negativa yang memberi konotasi yang tidak sama dengan maksud awalnya.
Tak berhenti di situ, beberapa pihak yang menentang kebijakan Rektor UIN Suka banyak yang menggiringnya pada persoalan pengingkaran hak asasi; bahwa setiap orang termasuk yang bercadar sekalipun mempunyai hak mengikuti perkuliahan di lembaga pendidikan, termasuk UIN Sunan Kaijaga. Hal ini sebagaimana tergambar dalam tulisan Mimin Dwi Hartono, Ketika Mahasiswi Bercadar Dilarang Kuliah (Geotimes, 6/3/2018)
Tulisan Mimin tersebut ingin menggiring perhatian publik bahwa kebijakan Rektor UIN Suka adalah bentuk dari pembatasan hak untuk beribadah dan berkeyakinan. Seolah Mimin ingin mengatakan bahwa cadar adalah bagian dari ekspresi keberagamaan yang dilindungi konstitusi dan tak boleh bagi siapa pun untuk melampauinya atas nama apa pun. Sebab, menggunakan cadar adalah pilihan setiap orang yang harus diapresiasi.
Bahkan, secara meyakinkan Mimin juga meragukan komitmen kebijakan Rektor UIN Suka yang bermaksud untuk menciptakan kenyamanan interaksi sosial akademik dan ingin mengantisipasi gerakan radikalisme di lingkungan perguruan tinggi.
Di samping itu, banyak pula yang mengaitkan terbitnya kebijakan Rektor UIN Suka dengan anggapan modus pendangkalan akidah lantaran cadar yang diyakini sebagai kewajiban syar’i tidak diperbolehkan untuk digunakan dalam perkuliahan. Seturut dengan anggapan ini, sejumlah dalil dan pandangan ulama pun digunakan sebagai legitimasi pandangan mereka bahwa kebijakan Rektor UIN Suka sudah melanggar ajaran Islam.
Dengan komentar yang agresif, UIN Suka pun dianggap sebagai kampus Islam yang tak berpihak kepada ajaran Islam. Stigma konvensional yang biasa dijadikan alat untuk menyerang pihak yang tidak disukai oleh kelompok agresif ini dilekatkan pada UIN Sunan Kalijaga dengan segala bentuk ujaran yang melampaui kebenaran (post-truth).
Posisi UIN Suka
Mencermati sekian kontroversi yang dilampiaskan berbagai pihak dengan segala perspektifnya terhadap kebijakan yang sudah dikeluarkan, apakah harus ditarik sebagaimana dianjurkan berbagai pihak?
Hemat saya, kebijakan ini harus berjalan dan segera diterapkan dengan baik di lingkungan UIN Suka, meski tekanan publik belum usai, baik yang disampaikan secara persuasif atau refresif. Sebab, perihal kebijakan pembinaan maupun pelarangan terhadap mahasiswi yang bercadar sudah diterapkan oleh banyak lembaga pendidikan, baik di tingkatan nasional maupun internasional.
Universitas Al-Azhar, Kairo, yang merupakan perguruan tinggi ternama di kawasan Afrika lebih dahulu melansir kebijakan larangan memakai cadar bagi civitas akademik yang perempuan. Salah satu alasan yang melatari adalah meningkatkan komunikasi antara dosen dan mahasiswanya (universitas-al-azhar-mesir-larang-siswinya).
Di lingkup nasional, beberapa perguruan tinggi lain seperti Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, IAIN Surakarta, UIN Walisongo, Semarang, pun menerapkan kebijakan pelarangan cadar dengan beragam alasan.
Mencermati berbagai kebijakan yang sudah diterapkan di berbagai perguruan tinggi (PT) tersebut, mengapa UIN Sunan Kalijaga yang pada tahap awal ini ingin membina mahasiswi bercadar terlabih dahulu, dan bila dalam prosesnya yang bersangkutan mengabaikan berbagai peraturan yang ditegaskan dapat dimungkinkan untuk mundur sebagai mahasiswi UIN Suka, lalu “dihantam” ramai-ramai dengan beragam alasan seperti yang saya uraikan di atas?
Padahal, bila mau disadari secara jujur, sebuah lembaga apa pun–termasuk PT–mempunyai kewenangan untuk merancang sebuah aturan main dan kebijakan yang diperuntukkan bagi setiap pemangkunya. Dan, ketika aturan main dan kebijakan ini diwajibkan untuk ditaati bukan berarti melanggar hak asasi setiap orang.
Apalagi kebijakan ini berkaitan dengan etika berbusana yang sesungguhnya hanya masuk dalam konstruksi kebiasaan (‘adah) yang disepakati oleh masyarakat. Termasuk cadar pun sesungguhnya tidak berhubungan dengan konstruksi ibadah sebagaimana diasumsikan oleh sebagian masyarakat (baca: Muhammad Hamdi Zuqzuq, An Niqob ‘adatun wa laisa ‘ibadatun).
Bahkan kalangan tertentu yang masih menganggap cadar (niqob) sebagai kewajiban syar’i sesungguhnya bila mengacu kepada banyak pendapat ulama Jumhur, lebih banyak yang menganggap wajah dan tangan perempuan bukan aurat, yang karena itu tidak wajib ditutup.
Dalam konteks ini, persoalan cadar sesungguhnya lebih pada perkara perbedaan pandangan (khilafiyah) dan bukan perkara yang pokok (ushuliyah) dalam keberagamaan. Maka, ketika lembaga pendidikan mau menerapkan kebijakan pembinaan maupun pelarangan penggunaan cadar di lingkungannya, maka sah-sah saja. Sebab, dalam perspektif maqashid syariah, kebijakan ini diambil demi kemaslahatan yang lebih besar bagi berlangsungnya proses pendidikan dan pengajarannya.
Demikian pula, perkara HAM tidak bisa dijadikan ukuran untuk menggugat pembinaan maupun pelarangan cadar tersebut. Karena, ini hanya berkaitan kewajiban asasi dari seorang mahasiswi untuk menyesuaikan diri terhadap kebijakan dan aturan main yang ditetapkan oleh sebuah perguruan tinggi.
Sebagaimana PT melarang penggunaan sandal jepit, kaos oblong, sarung, dan lain sebagainya, yang dianggap tidak lazim dalam tata administrasi pendidikan formal. Apalagi, dalam banyak sisi, sebagaimana dilansir oleh berbagai penelitian, cadar juga mempunyai representasi simbol tertentu yang beririsan dengan gerakan radikalisme yang bertentangan dengan khittah keindonesiaan.
Di samping itu, bila mencermati riak-riak kontroversi yang hingga kini masih berlangsung, di sela-sela itu sebenarnya ada beberapa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) lain yang sedang merancang kebijakan serupa. Di antaranya UIN Sunan Ampel, Surabaya, yang akan menerapkan kebijakan pembinaan bagi mahasiswi bercadar. Namun, respons publik seolah tak beranjak dari puncak kontroversinya untuk selalu menyoal kebijakan Rektor UIN Suka.
Lalu, ada apa dengan UIN Suka? Mengapa kontroversi perihal cadar ini terus menjuntai pada diri UIN Suka? Bahkan, ada beberapa pihak yang menggiring kontroversinya pada suasana pelintir kebencian.
Pelintiran Kebencian
Keberadaan UIN Suka yang menjadi salah satu garda terdepan di lingkungan PTKIN dalam memproduksi pemikiran dan pandangan keberagamaan yang progresif seolah dijadikan sasaran pelintiran oleh banyak pihak dengan menggunakan slogan-slogan tertentu yang penuh muatan sinisme. Melalui diksi liberalisme, pro-Barat, pro-Syiah, pro-komunis, dan pelabelan stigma ideologi kiri lainnya, banyak pihak selalu menyerang UIN Suka dengan rentetan kebencian yang sengaja dipelintir.
Demikian pula kebijakan Rektor UIN Suka perihal cadar sudah digiring dalam suasana kontroversi yang tidak sehat lantaran banyak pihak yang menggunakan narasi kebencian untuk memelintir keadaan. Bahkan, dalam konteks tertentu, meminjam alur berfikir Cherian George dalam buku Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersingggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi, respons yang selama ini disemarakkan oleh para pihak yang berkepentingan menggunakan pelintiran kebencian sebagai teknik bermata dua yang mengombinasikan ujaran kebencian dengan rekayasa ketersinggungan.
Dalam kaitan ini, seolah-olah sebagian umat beragama digiring untuk merasa tersinggung oleh kebijakan rektor melalui ujaran kebencian yang sengaja dipelintir secara masif. Melalui para cyber army-nya, berbagai pihak yang menentang kebijakan rektor senantiasa menggiringnya pada persoalan agama, dan sesekali berlindung di bawah ketiak HAM, kebinekaan, toleransi, dan narasi moderasi lainnya. Dengan begitu, melalui mata rantai pelintiran kebencian yang bertubi-tubi diangkat ke publik, hal ini dapat mempengaruhi kebijakan rektor.
Mencermati beragam kontroversi yang sangat complicated ini, tentu pimpinan UIN Suka harus saling bersinergi untuk mengawal kebijakan yang sudah dikeluarkan. Lebih-lebih segenap civitas akademikanya, baik kalangan dosen, pegawai, dan mahasiswa untuk bersama-sama menghormat kebijakan. Walaupun secara personal ada yang tidak sepakat dengan kebijakan ini, bukan berarti turut serta dalam framing kontroversi yang ingin menggiring UIN Suka ke dalam jebakan betmen yang sarat dengan pelintiran kebencian.
Apa pun, kebijakan rektor ini menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa dalam perkara pembinaan mahasiswi bercadar sesungguhnya ada maksud dan tujuan (maqashid) yang diimpikan untuk menciptakan iklim akademik yang ramah sosial, ramah akademik, sekaligus menciptakan melieu UIN Suka sebagai kampus yang 100% menjunjung spirit keislaman yang moderat dan 100% spirit keindonesiaan yang bermartabat.
Kolom terkait:
Cadar dan Kompleksitas Hubungan Agama-Budaya
Cadar dan Kebebasan Mahasiswa UIN Yogyakarta