“Lebaran adalah hari kemenangan.” Begitulah kira-kira kita lebih sering memakanai kemasyhuran hari paling awal sepeninggal Ramadhan ini. Ketibaannya disambut penuh sukacita, gema takbir menjadi salah satu perlambang bagaimana makna kemenangan tersebut coba direngkuh sekaligus diekspresikan. Kemenangan di hari lebaran nyatanya memunculkan makna yang tak tunggal. Lewat ritus puasa, datangnya lebaran menjadi penjelas bagi kemenangan atas hawa nafsu. Dalam momen halalbihalal, kemenangan Idul Fitri direfleksikan dengan kembalinya seseorang menjadi insan yang fitri.
Tapi, kehadiran lebaran tak melulu disambut sukacita. Bagi orang-orang yang religius misalnya, konon, lebaran tidaklah sepenuhnya menyenangkan hati. Orang-orang ini kerap terpagar dilema. Tangis para penghayat ibadah lebih sering bernada gamang, mendua, antara gembira dan tak rela, atau malah keduanya sekaligus. Gembira sebab hari kemenangan tiba, tak rela sebab Ramadhan, bulan yang menjadi keran pahala, telah menutup perjumpaannya.
Di tengah-tengah dimensi ruhaniah yang sebegitu rupa, kemenangan lebaran adalah juga kemenangan badaniah. Lebaran adalah momen parade makanan lezat. Panganan berat maupun camilan pemadat. Dari, ketupat, opor, hingga ragam kue kering tak bakal sulit ditemui.
Lebaran juga merupakan ajang permak tampilan. Orang-orang memburu berpasang setelan untuk menyambut kedatangan hari raya. Tradisi mudik dan pakansi juga identik dengan lebaran. Tanpa keduanya, lebaran bakal terasa hambar, kurang ingar-bingar. Karenanya, parade lebaran adalah juga parade tradisi.
Pertanyaannya kemudian ialah, bagaimana ragam tampakan tradisi tersebut muncul? Atau, bagaimana mudik, pakansi, makanan lezat, dan barang-barang serba baru jamak ditemui saat lebaran? Banyak faktor, langsung maupun laten. Namun yang pasti, hajat lebaran tak bakal sebegitu mewah tanpa kucuran angpau lebaran.
Begitu juga mudik dan pakansi yang sepertinya bakal sepi pelakon tanpa jatah libur panjang. Jika ada, hanya orang-orang “beruntung” yang bakal berburu hajat dan bersua keluarga saat hari raya. Begitu pula pakansi, tak akan terlalu masif, sebab para juragan dapat berwisata di hari-hari biasa, ke tempat-tempat yang tidak penuh sesak.
Tak percaya? Bandingkan dengan Idul Adha, hari raya umat Islam yang konon paling akbar. Tak ada tradisi mudik dan belanja jor-joran menyambut lebaran haji ini. Beruntung Idul Adha masih punya pembeda: ritus kurban dan tradisi mengipas sate. Di luar itu, sesekali tampak piknik jarak dekat yang tak terlampau penuh sesak. Idul Adha bukan ajang permak tampilan, atau bersua keluarga besar. Pendeknya, tanpa angpau lebaran dan jatah libur panjang, semarak Idul Adha tak seakbar saudaranya, Idul Fitri.
Waktu libur yang panjang kerap dimanfaatkan orang-orang untuk melakukan beragam aktivitas yang selama ini dibatasi oleh ruang-waktu kerja, terkhusus untuk para pekerja cum perantau yang saban hari terjadwal memasuki kantor, gedung kuliah, atau pabrik-pabrik. Bagi mereka, libur lebaran ialah saat yang paling pas untuk melepas rindu terhadap handai tolan. Sebuah rindu nan menggunung laiknya—dan akibat—tumpukan pekerjaan.
Memang, itu bukan satu-satunya penjelas, terdapat juga alasan lain, pengutamaan halalbihalal dengan orang tua dan kerabat misalnya. Namun, intinya, semaraknya ekspresi Idul Fitri tak akan terjadi tanpa dorongan-dorongan sekularistik, yang berada di luar titah langsung agama.
Dan lagi, rindu perantau terhadap kampung halaman adalah hal yang lumrah, naluriah. Terlebih, para perantau, pada umumnya, tidaklah menentukan pilihannya secara bebas. Orang-orang dari kampung ini “dipaksa oleh situasi” untuk mengembara ke pusat-pusat perkotaan, guna menimba ilmu dan (kemudian) memburu penghidupan. Kota serupa gula, dan perantau adalah semut-semut yang berusaha mencicip manisnya bulir-bulir penghidupan.
Keterpaksaan ini membuat perantau berada dalam kondisi in-between, terjebak secara spasial di antara keinginan untuk hidup bersama keluarga, di kampung halaman, dan keengganan untuk hidup di perkotaan, tanpa keluarga. Keabu-abuan, pertentangan antara keinginan dan keengganan ini membuat perantau, secara umum, tak sepenuhnya kerasan hidup di perkotaan. Maka, tak mengherankan jika masih ada orang-orang yang kerap tidak merasa di rumah, kendati telah bertahun-tahun tinggal di perkotaan.
Tampakan ini juga terlihat di belahan dunia lain. Di Tiongkok, Meng Li (2014) menjabarkan bagaimana kondisi in-between ini juga menghantui para pekerja migran. Tak aneh jika kemudian tradisi mudik juga hadir di negeri dengan populasi terpadat sekolong jagat ini. Libur panjang Tahun Baru Imlek dijadikan ajang serupa, dan didominasi aktor-aktor dari lapisan kelas yang sama: perantau (dan) kelas pekerja.
Tradisi family gathering, dan pakansi tentunya, juga cukup lumrah saat Natal dan Tahun Baru tiba. Orang-orang yang mengaku tak beragama, atau tak bertuhan sekalipun, turut larut dalam tradisi perayaan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, sejumlah orang di Tanah Air menyempatkan diri berkunjung ke kampung halaman berkat libur Natal dan Tahun Baru yang cukup panjang.
Berkumpul di waktu senggang memang sudah menjadi kebiasaan kita, sejak sebagian besar waktu yang tersedia lebih sering dihabiskan untuk aktivitas penyambung hidup. Tak hanya kebiasaan, ia bahkan telah menjadi semacam kebutuhan. Tengok saja polah kita di sela-sela terpaan rutinitas yang memburu, waktu senggang acap digunakan untuk sekadar nongkrong di warung kopi, lesehan, atau di ruang-ruang terbuka pinggiran kota misalnya. Tampakan semacam ini merefleksikan bahwa kita sungguhlah masih membutuhkan kawan berbagi, laiknya keluarga.
Rutinitas yang padat dan monoton tentu membuat kita bosan. Dan kala saat itu tiba, rekreasi mutlak diperlukan. Jika punya waktu panjang dan kocek berlebih, kita dapat saja berkunjung ke kampung halaman, tak ada yang melarang. Boleh juga berpakansi, menggeluti hobi atau aktivitas lain yang diinginkan. Namun saat segalanya terbatas, sekadar bercengkrama dengan kawan-kawan adalah pilihan paling bijak.
Saat-saat lebaran adalah kebalikannya. Lebaran ialah momen saat segala batasan-batasan dan rutinitas hidup meregang. Lebaran memungkinkan kita memiliki rupiah dan waktu berlebih, untuk bersua keluarga, berpakansi ria, menggeluti hobi, atau apa pun yang tak mungkin dilakukan di ruang hidup sehari-hari. Periode lebaran, bagi sebagian besar orang, adalah anomali dari segala rupa keterkungkungan hidup kita di hari-hari biasa, di dalam pusara rutinitas yang menjemukan, di tengah siklus produksi-konsumsi yang membikin frustasi.
Tatkala bekerja telah menjadi kebutuhan, bahkan prasyarat hidup, pada titik itu pula kita mendapati betapa waktu senggang teramat bernilai. Semenjak kantung-kantung remah di perkampungan terampas, di saat yang sama kita mesti rela membentang jarak dengan keluarga, mengadu nasib di kota-kota, menjadi apa pun, asalkan tak menjadi beban keluarga di kampung.
Dan saat lebaran tiba, sudah sepantasnya kita merenggut kembali kedua-duanya, waktu senggang dan keluarga, kendati hanya sementara.
Selamat lebaran, selamat liburan!