Kamis, Maret 28, 2024

Selamat Hari Ibu, Ibu Pertiwi!

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Warga Rembang yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) berjalan sambil membentangkan spanduk saat menggelar aksi mengawal putusan Mahkamah Agung yang membatalkan SK Gubernur Jateng Tahun 2012 tentang izin lingkungan penambangan oleh pabrik semen, di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/12). Mereka mendesak Gubernur Jawa Tengah agar segera mencabut izin lingkungan dan menghentikan proses pembangunan pabrik semen di Rembang. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/foc/16. *** Local Caption ***
Warga Rembang yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) berjalan sambil membentangkan spanduk saat aksi mengawal putusan Mahkamah Agung yang membatalkan SK Gubernur Jawa Tengah Tahun 2012 tentang izin lingkungan penambangan oleh pabrik semen di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/12). Mereka mendesak Gubernur Jawa Tengah mencabut izin lingkungan dan menghentikan proses pembangunan pabrik semen di Rembang. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/foc/16.

Sejak Republik Indonesia tekonsolidasi setelah tahun 1950, gagasan peringatan hari ibu pada 22 Desember diusulkan dan diterima pada Kongres Perempuan di tahun 1938, sepuluh tahun setelah Kongres Perempuan Pertama diselengggarakan di Yogyakarta. Hari ini, 22 Desember, kita berkaca pada perdebatan tak kunjung habis tentang siapakah perempuan yang harus diselamatkan ketika Hari Ibu?

Upaya pelurusan sejarah tentang perayaan Hari Kartini atau Hari Ibu, dua hari besar untuk perempuan yang dimiliki oleh negara kita setiap kali diupayakan ditulis dan diseminarkan oleh berbagai pihak, terus saja melenceng. Hari Ibu dan Hari Kartini adalah hari perempuan dirayakannya “kodrat” domestik dalam struktur masyarakat dengan melahirkan dan membesarkan anak.

Buat saya, tidak ada yang salah dalam merayakan keperempuanan. Toh, feminis gelombang ketiga memiliki semboyan merayakan ke-liyan-an dan kelemahan menjadi sebuah kekuatan. Rahim dan kemampuan membesarkan anak–yang dianggap oleh feminis sebelumnya sebagai penghambat untuk diperlakukan setara–direbut kembali dan dirayakan besar-besaran.

Untuk itu, merayakan Hari Ibu sebagai hari untuk berterimakasih atas kemampuan Ibu memberikan kehidupan dan merawat kita hingga sebesar ini tidak perlu dimentahkan lagi. Tapi catatan saya, jangan membatasi “Ibu” pada sekadar manusia. Jangan lupakan “ibu” lain yang melahirkan serta merawat kita juga, Bumi.

Tulisan ini adalah ucapan selamat (mengucapkan selamat dan upaya menyelamatkan dari kerusakan) kepada Ibu Pertiwi sebagai refleksi 88 tahun perjuangan perempuan terhitung sejak Kongres Pertama di tahun 1982.

Memaknai Ibu Bumi dalam Pandangan Manusia
Saya menemukan artikel kritis dengan tajuk “Alam yang telah Kehilangan Kesuciannya tetapi tetap Menarik” dan “Post Traumatic Stress Disorder juga dialami oleh Survivor Pemerkosaan”. Ada dua hal yang menarik dari dua artikel tersebut dan nampaknya kita berada dalam paradigma bahwa alam dan perempuan memiliki kesamaan: mereka memiliki kesucian dan kesucian itu bisa terenggut melalui eksploitasi ataupun pemerkosaan.

Bedanya, alam tidak bisa menunjukkan emosi ketika kesuciannya terenggut, sedangkan perempuan bisa. Pandangan ini menjawab pertanyaan mengapa sulit sekali berempati kepada korban pemerkosaan ataupun membiasakan diri untuk membuang sampah. Bahwa berempati kepada menusia yang punya agama berbeda saja sulit, apalagi berempati kepada mahluk non-rasional seperti tanah dan tumbuhan. Begitu pula berempati kepada perempuan yang dianggap makhluk setengah rasional.

Manusia laki-laki dalam pandangannya memisahkan antara dunia dengan alam dan dirinya dengan lingkungannya.

Setidaknya ada dua pendekatan ekologi terhadap upaya menyelamatkan alam. Pertama, hubungan simbiosis manusia dengan alam dalam pandangan Utilitarian. Kedua, ekologi-dalam yang menolak antroposentrisme dan menolak pandangan bahwa alam adalah properti.

Pandangan pertama melandaskan ajakan kita manusia menyelamatkan alam dari kerusakan karena kita semata-mata tergantung kepadanya. Manusia diciptakan dari tanah, bertahan hidup dan membangun peradaban semua semata-mata karena alam menyediakannya. Pandangan ini merupakan sisa dari pandangan antroposentris abad ke-18 yang memisahkan manusia di luar alam dan tetapi karena ketergantungannya dengan alam, maka alam harus dilestarikan.

Sedangkan pandangan kedua dari ekologi-dalam dipopulerkan oleh Arne Naess yang memposisikan manusia adalah bagian dari komponen biotik maupun komunitas itu sendiri. Mengutip Saras Dewi dalam bukunya Ekofenomenologi (2015), ekologi-dalam mengkritisi dikotomi kaku antara manusia dan alam dan melihat alam sebatas zat yang bisa dijelaskan secara kimia dan fenomenanya tidak lebih dari kejadian terukur dan memiliki uraian rasional. Alam diposisikan sebagai organisme yang memiliki nilai instrinsik dan instrumental.

Sedangkan pendekatan ekologi dalam perspektif feminisme dipisah menjadi ekologi politik-ekonomi dengan analisis gender. Perspektif ini berakar dari pemikiran ekologi-dalam dan ekofeminisme yang melihat permasalahan lingkungan dengan pendekatan mistis-spiritualis dan mempercayai bahwa perempuan memiliki hubungan lebih dekat dan lebih khusus dengan alam.

Perjuangan Perempuan Setelah 88 Tahun
Apa kabar pergerakan perjuangan perempuan setelah Kongres Pertama Perempuan? Dalam Tinjauan Ulang Kongres Perempuan Pertama (2007), Susan Blackburn menegaskan dalam transkrip dan evaluasinya terhadap kongres tersebut adalah kita tidak boleh melihat bahwa upaya perjuangan perempuan turun dari langit biru begitu saja. Kesadaran berorganisasi perempuan dan usaha berorganisasi bisa dilacak sejak mulai zaman bergerak pada permulaan abad ke-18.

Tidak dapat dilupakan bahwa Kongres Perempuan Pertama adalah cipratan dari kebangkitan kesadaran kebangsaan dan melawan penindasan patriarki sekaligus kolonial. Hal ini terlihat dengan upaya untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap penyampaian pidato-pidatonya.

Terkait dengan konteks pembentukan nasionalisme Indonesia, definisi perempuan yang diundang untuk hadir memang berasal dari berbagai daerah tetapi terbatas pada perempuan pribumi dan menyampingkan identitas perempuan Indo (campuran kulit putih dengan pribumi), perempuan Tionghoa, dan perempuan Asia Barat.

Bagi yang tidak mempelajari sejarah, ia akan mengulanginya, puluhan tahun lalu isu politik identitas dalam pusaran politik maskulin mengeksklusifkan makna “Indonesia” terbatas pada lelaki Jawa dan Muslim. Hari-hari ini lihat saja bagaimana Front Pembela Islam (FPI) mempropagandakan Indonesia dengan melakukan sweeping atribut Natal seakan-akan Kristen, Katolik, Tionghoa bukan bagian dari Indonesia dan tidak layak menampilkan simbolnya di hadapan umum.

Akankah perjuangan perempuan Indonesia terjebak pada penyempitan yang sama?

Puluhan tahun berlalu ada baiknya kita belajar pada hal-hal yang bisa kita refleksikan dan evaluasi sekarang seperti meluaskan definisi tentang gerakan liyan, termasuk perempuan. Perempuan tidak terbatas pada ras tetapi juga pada spesies dan jenis kelamin. Perempuan harus meluaskan gerakannya dengan membela keperempuanan dalam lingkup yang lebih luas.

Ibu bumi harus diajak dalam kongres dan isu-isu tentang perempuan, karena ia juga mengalami penindasan yang kurang lebih sama dengan perempuan. Dan dengan pengalaman dan pengetahuannya dengan alam, perempuan lebih mampu melihat secara realistis dan menjaga hubungan dengan alam. Dan apabila alam dirusak, perempuan adalah pihak yang paling dulu terkena dampak perusakan alam.

Ekofeminis Dorothy Dinnerstein dalam Survival on Earth: The Meaning of Feminism menyatakan bahwa “kebencian yang sunyi dari Ibu Pertiwi yang hidup berdampingan dengan kecintaan kita kepadanya dan seperti juga kebencian yang kita rasakan untuk ibu manusia kita, meracuni kedekatan kita terhadap kehidupan”.

Contohnya, dua tahun sudah perjuangan ibu-ibu Kendeng menolak pembangunan pabrik semen dan gerakan pemberdayaan perempuan harus peduli pada isu pelestarian alam. Ini bukan sekadar tokoh bahwa yang berjuang adalah ibu-ibu, tapi juga untuk ibu bumi yang mengairi pesawahan di wilayah Rembang, Jawa Tengah, dan sekitarnya selama ratusan tahun. Perempuan adalah pihak pertama yang paling terkena dampak atas perusakan alam.

Kekurangan air akibat peralihan gunung karts menjadi pabrik semen langsung berdampak pada perempuan Kendeng yang bekerja dalam tiga ruang: ruang pekerjaan, rumah tangga, dan ruang dirinya.

Singkatnya, jangan sampai perjuangan perempuan terjebak dalam kemelut politik maskulin yang hanya bicara soal manusia dan perluasan penguasaannya tetapi juga bagaimana melestarikan dan merawat kehidupan. Karena dari ibu/perempuan, kehidupan bermula dan berlangsung.

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.