Lagu Indonesia Raya bergema di Stadion Indoor Pavelló de la Mar Bella, tempat laga final cabang olahraga Badminton berlangsung, pada Olympiade Barcelona tahun 1992.
Saat itu, bendera merah putih naik perlahan, diapit bendera Korea Selatan dan Republik Rakyat Tiongkok. Air mata membasahi pipi Susi Susanti, pemain tunggal putri Indonesia yang meraih medali emas untuk Indonesia. Medali tersebut adalah medali emas pertama sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia dalam ajang Olympiade, sebuah perhelatan olahraga internasional paling bergengsi.
Bersama Susi Susanti, derai air mata juga tampak membasahi seluruh tim Bulutangkis Indonesia, warga negara Indonesia yang sempat hadir di Barcelona, dan juga seluruh rakyat Indonesia yang menyaksikan momentum bersejarah itu dari layar Televisi di tanah air. Susi Susanti tidak sendiri, pada perhelatan yang sama Alan Budikusuma kembali mempersembahkan medali emas kedua untuk Indonesia.
Siapa mereka berdua? Susi Susanti bernama asli Wang Lian-xiang lahir di Tasikmalaya 1971, akhirnya menikah dengan Alan Budikusuma atau Goei Ren Fang, pria kelahiran Surabya 1968. Ketika keduanya mempersembahkan medali emas bagi Indonesia di ajang Olympiade Barcelona, sangat sedikit yang mengetahui bahwa status kewarganegaraan mereka hanya berupa pegakuan melalui Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Secara singkat bisa dikatakan bahwa lahir, tumbuh, berjasa untuk bangsa ini tidak otomatis menjadikan etnis Tionghoa bagian dari Indonesia yang asli. SBKRI adalah bentuk paling nyata kekerasan negara terhadap etnis Tionghoa. Surat pengakuan tersebut adalah bentuk pengakuan menjadi bagian warga negara, namun separuhnya lagi adalah penegasan bahwa kaum Tinghoa bukan kepingan asli dari bangsa ini.
Seiring dengan presetasi mereka, tawaran untuk pindah kewarganegaraan berdatangan. Tidak terkecuali kepada Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Mengingat jasa yang telah mereka berikan kepada bangsa ini, ditambah dengan kesulitan yang mereka terima untuk mendapatkan sekadar pengakuan dari otoritas negara, lalu tawaran tunjangan dan fasilitas dari negara lain, adalah hal yang wajar jika pasangan Indonesia emas itu menerima tawaran untuk beralih kewarganegaraan. Namun jawabannya adalah “tidak”, pahit getirnya tanah ini sudah menjadi bagian dari diri Susi dan Alan.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tercatat sebagai Presiden RI pertama yang memutus matarantai diskriminasi tersebut. Bahkan untuk memperjuangkan hak minoritas, Gus Dur sampai mengakui darah Tinghoa mengalir dalam darahnya. Megawati melanjutkan langkah Gus Dur dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Tidak mudah menjadi Susi dan Alan, kualitas nasionalisme mereka bahkan nyaris melampaui kualitas B.J Habibie, Presiden RI yang menerima mandat peralihan kekuasaan dari Soeharto.
Lalu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dengan segala kekerasan hati dan gaya kepemimpinannya yang meledak-ledak, membuat kaki kekuasaan yang santun dan permisif terhadap perilaku korupsi tersentak dari lamunan panjang.
Ahok adalah anomali, keindonesiaannya utuh, nyali politiknya tidak perlu dipertanyakan, dan yang paling penting dari segalanya adalah Ahok tidak pernah dihinggapi “syndrome” minoritas, sebagaimana yang secara permanen menghinggapi Jaya Suprana, yang selalu menenteng bendera Gusdurian kemana-mana, namun mentalitasnya sepenuhnya membedakan diri dengan bangsa Indonesia.
Diskriminasi menjadi momok ketika korban menikmati perannya sebagai korban, lalu tidak berupaya keluar dari mentalitas tersebut hingga hegemoni merasuk menjadi sebuah kebudayaan yang permisif. Pribumi dan non-pribumi menjadi relevan di Indonesia justru di saat kaum Tionghoa sendiri masih dihinggapi perasaan minder (tentu ini terbangun dari trauma panjang) untuk mengaku sebagai orang Indonesia.
Persoalan diskriminasi akan sulit diselesaikan etnis Tionghoa secara mental jika masih takluk pada hegemoni kebudayaan yang dibenamkan paksa berpuluh tahun lamanya. Mentalitas itu masih kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah pribumi dan non-pribumi, asing dan tidak asing, leluhur dan pendatang, semuanya hanya sebentuk “labeling” yang tidak memiliki akar dan fakta historis yang jernih. Maka, wajar jika praktik korupsi, salah satunya, bermula dari diskriminasi etnis seperti ini, di mana non-pribumi harus membayar setoran dan sogokan pada kaum pribumi.
Ahok adalah sebuah kemerdekaan yang sebenarnya. Perjuangannya adalah bentuk nasionalisme baru yang sudah semestinya dimiliki oleh seluruh anak bangsa, tidak terkecuali etnis Tionghoa. Perjuangan Ahok bagaikan upaya melawan kanker ganas yang menggerogoti satu bagian tubuh bangsa ini. Upaya medis belum mampu memberikan keyakinan akan kesembuhan. Satu-satunya jalan untuk melawannnya adalah kehendak untuk tetap hidup, dengan mengendalikan sel kanker agar tidak meluas dan merusak bagian tubuh yang lain. Ini yang disebut Soekarno, “perjuanganmu akan lebih berat, karena melawan bangsamu sendiri.”
Ahok telah menjadi bagian dari perjuangan tersebut. Begitu juga Susi dan Alan serta sederet nama lain. Mungkin saja Ahok akan kalah dalam Pilkada Jakarta pada Februari 2017 yang akan datang, namun kemenangan sejati telah diperoleh Ahok di dalam dirinya yang paling dalam. Bahwa nasionalisme seorang Ahok tidak akan pernah bisa dikalahkan oleh paksaan, tudingan, dan fitnahan dari mereka yang merasa lebih Indonesia ketimbang yang lain.
Kemenangan yang setara dengan air mata haru bangga dari seluruh tanah air di saat Susi dan Alan yang mengangkat medali emas untuk Indonesia. Kemenangan yang tidak memiliki niat buruk, sehingga seluruh bangsa ini bisa merasakan betapa indahnya keragaman, kemenangan, dan kebangsaan dalam satu tarikan nafas.