Selasa, April 23, 2024

Negeri Sekarat Demokrasi

Maman Suratman
Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sejumlah petugas kepolisian menjaga sekelompok massa yang mengepung dan melakukan orasi di depan kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Minggu (17/9) malam. Acara “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” ini berujung rusuh setelah sekelompok massa menuntut kantor LBH Jakarta ditutup dan terjadi bentrok dengan aparat kepolisian. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

“Makin sedikit negara campur tangan dalam urusan masyarakat, makin baik jadinya fungsi negara itu.” ~ Robert Nozick

Saya sepakat bahwa negara (para pengurusnya) perlu kembali memperhatikan maksud demokrasi sebagai sebuah sistem. Sebab, jika negara dibiarkan mendefinisikannya secara serampangan, maka perwujudannya dalam bentuk kebijakan pun akan amburadul. Alih-alih demokratis, yang ada malah sebaliknya. Berantakan. Tak karuan.

Ketika negara mendefinisikan demokrasi sebagai “kuasa absolut”, misalnya, maka segala tindak-tanduknya pun akan dipandang absah. Atas nama stabilitas, kebebasan warga boleh dihilangkan. Juga, ketika negara hanya mendefinisikan demokrasi sebagai “legitimasi ke-mayoritas-an” belaka, maka yang lahir adalah “tirani mayoritas”. Demi kepentingan orang banyak, yang kecil-kecil halal dibungkam.

Tidak! Kita tak butuh lagi definisi kolot atas demokrasi seperti itu. Merujuk Perihal Demokrasi Robert A. Dahl (2001), setidaknya demokrasi mampu menghasilkan akibat-akibat yang diinginkan sebagai cita awalnya, seperti terhindarnya negara dari praktik tirani apa pun, menjunjung tinggi hak-hak asasi tiap manusianya, terjaganya kebebasan individu/sipil, serta terjaminnya hak menentukan nasib sendiri dari warga negaranya tanpa terkecuali.

Akibat-akibat di atas, di samping sebagai tolok ukur dari demokrasi sendiri, itu tertuju tiada lain guna mencapai apa yang juga jadi cita diadakannya sebuah negara, yakni perdamaian dan kemakmuran. Karenanya, niscaya bagi negara untuk kembali mewajah demokrasi dalam maknanya paling hakiki sebagaimana dirumuskan seorang guru besar emeritus Ilmu Politik pada Universitas Yale tersebut.

Mengapa itu perlu? Lihat saja bagaimana wajah negara kita akhir-akhir ini terkesan sangat mengkhawatirkan. Di mana-mana, rupa buruknya saja yang melulu tampil. Melalui aparatnya yang mungkin sedikit keparat, itu lagi-lagi ditunjukkan dengan memberangus kebebasan berpendapat, berekspresi, juga berkumpul dari warga-warganya.

Minggu malam (17/9) kabar duka kembali hadir. Sekitar 100 orang aktivis peserta diskusi dan pagelaran seni #DaruratDemokrasi terkepung di dalam kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia  (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat. Di luar gedung, puluhan massa yang mengklaim dari kelompok anti-komunis berunjuk rasa sejak pukul 21.30 WIB. Mereka berorasi meminta pihak YLBHI menghentikan acara diskusi.

Jelang tengah malam, massa bergerak dan berusaha masuk ke dalam gedung dan beberapa orang demonstran bahkan mulai melempari kantor YLBHI dengan batu dan botol. Kerusuhan tak terelakkan saat massa berteriak-teriak dan berusaha menerobos keamanan polisi. Bahkan, polisi yang berjaga juga menjadi sasaran lemparan batu dari massa.

Sehari sebelumnya, Sabtu (16/9), diskusi “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” di tempat yang sama dibubarkan. Alasan? Lantaran panitia penyelenggara dinilai tidak memberi pemberitahuan (izin) ke pihak kepolisian. Dan, juga, konten diskusinya dianggap terlalu sensitif. Itu sebab kepolisian merasa wajib ambil tindakan berupa pembubaran.

Selintas, aparat negara ini agaknya tidak mau ambil pusing. Ketimbang harus menjaga segelintir orang yang itu dianggap meresahkan banyak pihak, mending memberangus yang segilintir saja lalu semua jadi aman. Lebih simpel. Tidak banyak risiko. Watak-watak yang sungguh memuakkan.

Meski punya alasan, alasan pembubaran diskusi ini sendiri sama sekali tak berdasar. Pertama, soal perizinan. Adakah “Izin Keramaian” dalam UU mengatur serta kegiatan diskusi, apalagi yang hanya mendatangkan 50 orang saja? Bukankah kegiatan yang harus mengantongi izin adalah kegiatan yang mendatangkan massa minimal 300 sampai 1.000 orang?

Lagi pula, dalam Juklap Kapolri Nomor Pol/02/XII/95 tentang perizinan dan pemberitahuan kegiatan warga, tak ada satu pun kegiatan berbau diskusi yang tercantum sebagai hal yang mesti mendapat perizinan sebelum penyelenggaraan. Pentas musik, wayang kulit, dan ketoprak, misalnya, apakah pertunjukan-pertujukan itu sama dan sebangun dengan kegiatan diskusi?

Penyampaian pendapat di muka umum (publik), seperti unjuk rasa/demonstrasi, pawai, dan mimbar bebas, toh semua ini juga tidak identik dengan kegiatan diskusi yang sifatnya lebih eksklusif. Terlebih massa yang diestimasikan hanya 50 orang saja. Ingat, 50 orang! Bukan ratusan hingga ribuan seperti aksi bela-bela itu!

Kedua, soal konten diskusi yang dipandang sensitif. Kontennya saja akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi, sebagai negeri yang berlabel demokrasi, gagasan apa pun dari warga negaranya, mau itu meresahkan atau tidak, hendaknya sudah menjadi kewajiban negara untuk melindunginya. Apalagi keresahan itu sendiri hanya berdasar pada ketakutan belaka alias belum terbukti.

Jika pun terbukti meresahkan, tetap saja bahwa yang mesti negara jaga adalah jangan sampai ada pihak yang berusaha menghalang-halanginya. Kembali merujuk Dahl, di sinilah peran dan fungsi negara harus eksis. Inilah kondisi demokrasi yang tidak boleh tidak harus negara pertahankan, apa pun risikonya.

Terlepas dari itu, di era Jokowi-Jusuf Kalla, tentu aksi serupa bukan kali pertama itu yang pernah terjadi. Simak saja rilis Indeks Demokrasi Indonesia 2016. Di sana, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan Indeks Demokrasi dari 72,82 poin di tahun 2015 menjadi 70,09 poin di tahun setelahnya. Artinya, ada penurunan sebesar 2,73 poin di pelbagai aspek, seperti kebebasan sipil, kebebasan berkumpul, hak-hak politik, kebebasan dari diskriminasi, dan lembaga demokrasi sendiri.

Di aspek kebebasan sipil, misalnya, terjadi penurunan sebesar 3,85 poin; kebebasan berkumpul, 3,86 poin; hak-hak politik, 0,52 poin; kebebasan dari diskriminasi, 0,17 poin; dan lembaga demokrasi, 4,82 poin. Berdasar data-data ini, tak salah jika netizen menggemparkan linimasa dengan tagar #DaruratDemokrasi.

Ya, itu benar adanya. Semakin besar intervensi negara ke dalam urusan-urusan masyarakat, semakin mewujud pula kondisi yang darurat itu—negeri darurat demokrasi dan sekarat demokrasi. Sebab, meminjam pendapat Robert Nozick di pembuka tulisan ini, makin sedikit negara campur tangan dalam urusan masyarakat, maka akan semakin baik jadinya fungsi negara itu. Sekali lagi, inilah kondisi demokrasi yang harus negara camkan.

Tapi, rasanya ini bawaan orok belaka. Semakin bangsa ini belajar dan membangun demokrasi sebagai sistem terbaik pengelolaan negara, selalu saja berujung pada fakta sebagai lawannya. Misalnya, ketika negeri ini baru menetapkan Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1950-1959), lalu Demokrasi Terpimpin ala Soekarno (1959-1966), hingga Demokrasi Pancasila di bawah rezim diktotar Soeharto (1967-1998), apa yang nyata selain nuansa antidemokrasi?

Lebih menyedihkan lagi ketika tahu bahwa penggantinya, yakni Demokrasi Reformasi (1998-sekarang), nyatanya belum juga mewujudkan demokrasi yang semestinya. Dan yang membuat lebih runyam lagi adalah bahwa bukan negara dan aparatnya saja yang berlaku antidemokrasi. Komunitas masyarakat (ormas) hingga organisasi mahasiswa pun ikut andil dalam memberangus hak paling fundamental dari warga-warga negara itu.

Lantas, kepada siapa lagi kita harus bertumpu jika tahu bahwa nyaris semua pihak justru turun tangan dalam membungkam kebebasan yang mestinya terjamin kuat dalam sistem demokrasi? Masih bisakah label demokrasi itu kita sematkan ke diri Negara Republik Indonesia kalau nyatanya hanya mewujud seperti itu? Jika ya, demokrasi macam apa yang sekiranya dianut? Sukar menerka.

Meski demikian, berpikir positif bahwa negara sebenarnya masih keliru memaknai demokrasi adalah hal yang tetap patut kita kedepankan. Dengan memandangnya demikian, setidaknya itu bisa jadi alasan bahwa kita masih harus “mengajari” negara apa dan bagaimana demokrasi harusnya berjalan.

Hemat kata, negara harus kita ingatkan bahwa dalam berdemokrasi, tak boleh ada pengekangan, tak diperkenankan ada pelarangan, terhadap apa dan siapa pun. Bahwa negara, yang punya fungsi dan peran sebagai pengarah kebijakan, harus sadar posisi bahwa ia hanya diperkenankan untuk menjaga kebebasan-kebebasan warga saja, terlebih yang sifatnya primordial.

Dengan begitu, darurat demokrasi bisa sedikit teredam. Sedikit saja. Tak perlu banyak-banyak untuk negeri yang masih harus banyak belajar menggunakan sistem demokrasi sebagai cara mengelolah negaranya ini.

Kolom terkait:

Pengurus Negara, Jangan Bungkam Kebebasan Warga!

Menjaga Kebebasan yang Proporsional

Merawat Indonesia dengan Kebebasan Berpendapat

Maman Suratman
Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.