Kamis, Maret 28, 2024

Khalifah al-Amin bin Harun ar-Rasyid: Penyuka Sesama Jenis dan Pemicu Perang Saudara

Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosenhttp://nadirhosen.net/
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia; salah satunya mengampu kajian sistem pemilu dan konstitusi Australia.
[ilustrasi]

Dua puluh tiga tahun kekuasaan Khalifah kelima Abbasiyah yang melegenda, Harun ar-Rasyid, telah membawa kemajuan peradaban Islam dan stabilitas politik. Namun, sayang, semua kegemilangan berubah menjadi huru-hara sepeninggalnya. Ini semua gara-gara ketidakcakapan putra Harun yang bernama al-Amin, yang naik menjadi Khalifah keenam. Bagaimana kisahnya? Tegarkan hati Anda membaca lanjutan kolom sejarah politik Islam ini.

Nama aslinya Muhammad, lantas diberi gelar al-Amin. Sungguh nama dan gelar yang mulia–mengingatkan kita pada Rasulullah SAW. Ini karena lewat jalur ibunya, al-Amin masih keturunan Bani Hasyim. Namun, sayang, al-Amin ini jauh sekali dari sifat kemuliaan Rasulullah SAW. Imam Suyuthi blak-blakkan menulis: “dia tidak cakap dalam masalah pemerintahan, boros, dan lemah pandangan hidupnya, sehingga tidak layak menjadi khalifah.”

Sayangnya, kita tahu bagaimana khalifah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah dipilih, yaitu bukan berdasarkan kemampuan dan pilihan rakyat, tapi karena wasiat keluarga dan pertalian darah. Akhirnya umat Islam beruntung kalau kebetulan mendapati khalifah yang baik dan adil. Namun akan celaka nasib umat kalau putra mahkota ternyata jauh dari kelayakan, dan umat hanya menunggu kapan wafatnya khalifah yang tidak layak ini dan berharap penggantinya kelak bisa lebih baik. Mekanisme pengangkatan dan pemakzulan pemimpin ini yang diperbaiki dengan hadirnya sistem demokrasi.

Sejak semula Khalifah Harun sudah berpesan agar penerus takhta kekhilafahannya, yaitu al-Amin dan kemudian al-Ma’mun, menjaga kekompakan mereka. Bahkan kesepakatan ini ditulis dan disimpan di dalam Ka’bah. Namun al-Amin begitu naik menjadi khalifah malah berusaha menggeser al-Ma’mun dari jalur suksesi. Inilah yang menjadi penyebab perang saudara kedua putra Harun ar-Rasyid ini. Sejarawan menyebutnya sebagai “fitnah keempat” dalam tubuh umat Islam.

Seperti pernah dijelaskan di tulisan saya (baca: Fitnah Ketiga dalam Sejarah islam), fitnah di sini maksudnya adalah ujian berupa perang saudara. Fitnah pertama tercatat pada saat pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, berlanjut dengan perang saudara antara Sayyidina Ali dengan Siti Aisyah (Perang Jamal) dan dengan Mu’awiyah (Perang shiffin). Periode fitnah pertama berakhir dengan perdamaian antara Sayyidina Hasan dan Mu’awiyah. Kisah periode ini sudah saya ceritakan dalam berbagai tulisan saya.

Fitnah kedua berlangsung pada periode pembantaian Sayyidina Husain di Karbala dan berlanjut dengan perlawanan Abdullah bun Zubair. Kisah pergolakan pada periode fitnah kedua juga sudah pernah saya bahas dalam sejumlah tulisan saya. Periode peperangan antara al-Walid II dan Yazid III dikenal dalam sejarah islam sebagai fitnah ketiga, yang berakhir dengan naiknya Marwan sebagai Khalifah terakhir Umayyah.

Nah, periode pertempuran antara kedua putra Harun ar-Rasyid di masa Dinasti Abbasiyah, antara al-Amin dan al-Ma’mun, disebut-sebut sebagai fitnah keempat. Peperangan ini berlangsung pada tahun 811-813 Masehi.

Imam Suyuthi menulis:

وقيل: إن الفضل بن الربيع علم أن الخلافة إذا أفضت إلى المأمون لم يبق عليه، فأغرى الأمين به، وحثه على خلعه، وأن يولي العهد لابنه موسى

Dikatakan bahwa salah satu sebab peperangan ini adalah pengaruh al-Fadhl bin ar-Rabi’, seorang Perdana Menteri yang khawatir kehilangan posisinya kalau al-Ma’mun kelak naik menggantikan al-Amin. Maka al-Fadhl bin ar-Rabi’ memprovokasi Khalifah al-Amin untuk menggeser al-Ma’mun dari jalur suksesi, dan mengangkat Musa, anaknya sendiri (Tarikh al-Khulafa 1/219).

Imam Thabari mengabarkan hal yang sama akan pengaruh provokatif al-Fadhl bin ar-Rabi’ ini (Tarikh al-Thabari 8/374). Ini mengingatkan kita pada kiprah Sengkuni yang menyebabkan terjadinya perang Bharata Yudha antara sesama saudara Kurawa dan Pandawa. Begitulah, selalu ada dalam tiap lintasan sejarah orang model al-Fadhl bin ar-Rabi’, sang sengkuni Dinasti Abbasiyah.

Sejumlah penasihatnya mencoba mengingatkan Khalifah al-Amin akan wasiat ayahanda Harun ar-Rasyid yang tersimpan di dinding Ka’bah. Naskah ini secara lengkap bisa dibaca di Tarikh al-Thabari (8/278). Khalifah al-Amin bukannya menuruti nasihat ini malah meminta naskah itu diambil dari dalam Ka’bah dan dibawa ke Baghdad.

Begitu Khalifah al-Amin menerima naskah tersebut, lantas dia merobeknya. Maka, segala wasiat, sumpah, dan kesepakatan antara sang ayahanda Harun ar-Rasyid dan kedua putranya di depan Ka’bah menjadi berantakan.

Begitulah nafsu kekuasaan yang bergema dalam sistem ketatanegaraan yang rapuh. Naskah wasiat dan kesepakatan Harun ar-Rasyid bukanlah sebuah Undang-Undang yang dikeluarkan oleh Parlemen. Itu semata-mata berasal dari tangan Khalifah, maka tidak ada yang bisa mencegah Khalifah berikutnya merobek naskah tersebut dengan tangannya sendiri, meski sebelumnya tersimpan di dinding Ka’bah.

Imam Suyuthi dengan getir menulis:

وبايع العهد لابنه موسى، ولقبه الناطق بالحق، وهو إذ ذاك طفل رضيع

Al-Amin meminta orang-orang berbai’at kepada Musa, anaknya yang dia beri gelar an-Nathiq bi al-Haq (suara kebenaran), padahal Musa saat itu masih menetek sama ibunya (Tarikh al-Khulafa 1/219).

Absurd! Begitulah nafsu kekuasaan itu, meski dalam khilafah Islam.

Imam Thabari juga mendeskripsikan bagaimana Khalifah al-Amin ini punya hubungan “spesial” dengan Kasim, pelayan istana. Kasim favoritnya bernama Kaustar. Kita tahu bahwa dalam berbagai monarki terdapat lelaki yang dikebiri dan kemudian bebas masuk keluar istana, termasuk ke kamar raja dan permaisuri untuk melayani kebutuhan keluarga kerajaan. Di masa Abbasiyah, kasim ini juga menjadi bagian dari pelayan istana.

Hubungan “spesial” antara Khalifah al-Amin terekam dalam catatan sejarah Imam Thabari dan Imam Suyuthi. Kecenderungan menyukai sesama jenis ini membuat Zubaydah, ibu al-Amin, murka. Istri Harun ar-Rasyid ini kemudian mengirimkan pelayan perempuan yang kurus dan cantik tapi didandani dan dipakaikan baju seperti lelaki. Mereka dikirim ke istana al-Amin agar sang khalifah berpaling dari para Kasim kesayangannya.

Kecenderungan Khalifah keenam Abbasiyah ini terhadap sesama jenis mengingatkan kita pada Khalifah Dinasti Umayyah, yaitu al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik (709-744), yang dikenal dengan julukan al-Walid II, yang juga diberitakan melakukan liwath. Sejarah kadang begitu menohok. Namun catatan sejarah ini terekam dalam kitab-kitab klasik Islam yang diakui otoritasnya; bukan cerita karangan.

Singkat cerita, Khalifah al-Amin berkuasa sekitar 4 tahun (809-813 Masehi). Dua tahun terakhir dari kekuasaannya diisi dengan perang suadara melawan saudaranya sendiri, yaitu al-Ma’mun. Negara yang kaya raya di masa Harun ar-Rasyid menjadi defisit keuangan. Tatanan sosial menjadi rusak. Karut marut terjadi hanya karena hendak menggeser saudaranya sendiri dengan anak al-Amin yang masih kecil.

Pasukan setia al-Ma’mun dari Khurasan di bawah kepemimpinan Jenderal Tahir bin Husain mengalahkan pasukan Khalifah al-Amin, dan kepala sang khalifah dipenggal dan ditancapkan di gerbang kota al-Anbar. Lantas tubuhnya diseret dengan tali, dan akhirnya kepalanya dikirimkan ke al-Ma’mun. Maka, berakhirlah perang saudara kedua putra Harun ar-Rasyid.

Kekuasaan beralih dari al-Amin kepada al-Ma’mun persis seperti yang tertera dalam sumpah dan kesepakatan mereka berdua dulu di depan Ka’bah. Namun, caranya bukan seperti yang dikehendaki ayahanda mereka, Harun ar-Rasyid. Kekuasaan beralih lewat pertempuran ribuan pasukan sesama Muslim dan dipenggalnya kepala khalifah keenam Abbasiyah. Tragis!

Bagaimana kemudian kepemimpinan Khalifah ketujuh, al-Ma’mun, yang telah memenangkan pertempuran? Insya Allah kita teruskan mengaji sejarah politik Islam pada kolom Jum’at berikutnya, bi idznillah!

Kolom terkait:

Khalifah Harun Ar-Rasyid: Masa Keemasan Abbasiyah

Khalifah Ketiga Abbasiyah: Klaim sebagai Mahdi

Al-Manshur, Khalifah Kedua Abbasiyah: Pecinta Ilmu yang Memenjarakan Ulama

As-Saffah (Sang Penumpah Darah): Khalifah Pertama Abbasiyah

Ulama-Ulama Homoseksual

Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosenhttp://nadirhosen.net/
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia; salah satunya mengampu kajian sistem pemilu dan konstitusi Australia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.