Selasa, Oktober 8, 2024

Adakah Kesalehan Politik Politisi?

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM

[ilustrasi]
Sejenak agak berkurang mendapatkan berita hoax di media sosial, baik Whatsap, postingan Facebook, maupun kiriman short messenger yang bernada menghardik, membenci serta penuh amarah ketika bulan puasa lalu. Umat Islam yang menjalankan puasa dan umat lain yang tidak berpuasa pun merasakan tenteram, nyaman, dan sejuk.

 

Tempat-tempat ibadah pun selama bulan suci Ramadhan jauh lebih “tenang” dari ingar bingar politik kekuasaan, yang penuh kerakusan, tipu muslihat, kebencian serta balas dendam. Para juru penyebar agama (dakwah) memilih menyampaikan pesan-pesan kedamaian dalam hidup bersama sebagai warga masyarakat dan sesama bangsa Indonesia.

Para juru dakwah memilih memupuk kesadaran individu untuk mendekatkan diri pada Tuhan sebagai bentuk ketundukkan ketimbang menyuruh jamaah untuk berbuat yang menyinggung dan menuduh orang lain salah, karena disadari hal ini akan mengurangi nilai-nilai ibadah puasa.

Namun, bagaimana dengan sekarang setelah Ramadhan dan setelah lebaran? Apakah ketenangan tempat ibadah, saling menghormati, memaafkan, tidak membenci, tidak menuduh orang lain jahat, dhalim, munafik, tak ada lagi?

Para juru dakwah yang biasa menyampaikan pesan kedamaian, saling menghargai, tidak membenci sesama umat Islam, sekalipun beda pilihan politik dan beda aliran keagamaan tiba-tiba seperti orang bersemangat kembali untuk memiliki pikiran, perasaan, dan perilaku sebaliknya.

Apakah bangsa ini sedang kalap?

Kesalehan beragama yang disampaikan pada saat Ramadhan berubah menjadi permusuhan yang tidak berakhir karena perbedaan mazhab politik. . Seseorang yang dipanggil atau diminta bertemu dengan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tiba-tiba dihardik karena dianggap telah membohongi kelompoknya sehingga dipanggil mendadak harus mempertanggungjawabkan pertemuannya dengan kepala negara.

Bahkan yang paling jelas perubahan tersebut adalah ketika seseorang diminta untuk tidak membenci sesama warga negara, sesama umat Islam oleh kepala negara pun masih dituduh sebagai bagian dari umat Islam yang hendak menjual Islam dengan harga murahan, tidak mengerti kondisi umat yang lebih banyak dipinggirkan, disudutkan serta diperalat oleh negara.

Pendek kata, siapa saja berbeda dengan sang tokoh politisi akan dianggap sebagai musuh umat Islam, kaum munafik, tidak mengerti perjuangan umat Islam dan sejenisnya.

Kondisi seperti itu sejatinya tidak memberikan penjelasan tentang adanya kesalehan politik pasca puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan yang telah dijalankan ternyata tidak memberikan rekam jejak yang lebih baik, tidak ada kesantunan berpolitik, maupun tidak memberikan gambar bahwa puasa Ramadhan sebenarnya berdampak pada kesalehan individual sekaligus kesalehan sosial.

Siapa pun yang berbeda pandangan politiknya, berbeda pilihan partai, dan berbeda dalam mengartikulasikan perilaku politiknya dianggap sebagai munafik kelas wahid, sementara dirinya adalah pejuang Islam.

Jika kondisi semacam itu terus berlangsung dari mimbar ke mimbar tempat ibadah, dari forum ke forum, serta dari pertemuan-pertemuan, maka bangsa ini tidak akan beranjak dari ketertinggalan bangsa lain yang telah lebih dahulu membedakan mana urusan kekuasan politik pribadi sebagai ambisi yang harus terpenuhi dengan urusan politik kebangsaan.

Bangsa lain telah meninggalkan kerakusan politik pribadi dan kelompoknya atas nama umat atau etnisnya, sementara kita tetap memupuk kepentingan dan ambisi politik pribadi atas nama umat mayoritas. Benar adanya bahwa tidak boleh terjadi ketidakadilan ekonomi, politik, dan hukum untuk semua warga negara.

Bangsa ini akan terus tertinggal jauh jika para politisi sepuh-senior tidak rela untuk meninggalkan ambisi politik kekuasaanya sampai Tuhan menghentikan ambisinya. Sebenarnya kita berharap para politisi sepuh-senior untuk memberikan kesempatan pada mereka yang lebih muda untuk bekerja keras, berjihad membangun bangsa, demi kemajuan bersama. Bukan menghardik para politisi muda untuk larut dalam genggaman dendam kesumat atas nama umat mayoritas.

Kita berharap lahirnya para politisi yang bijak, santun serta menghargai kerja politik lawan politik bukan hanya menuduh lawan politik sedang bermain api dan menerapkan strategi belah bambu, menginjak satu kelompok dengan memberikan kesempatan pada kelompok lainnya.

Pikiran dan perilaku politik semacam itu menandakan bahwa kita masih digerumutidikepung oleh politisi rabun ayam, yang hanya mementingkan ambisi politik dirinya dan kelompoknya. Kita masih absen dengan lahirnya para negarawan yang menjadi politisi. Kita hanya memiliki politisi bukan negarawan.

Kita pernah punya Mohamamd Natsir, seorang politisi, ulama, dan pejuang Islam yang berbeda paham politik dengan Soekarno tetapi bersedia memaafkan Soekarno sebelum lengser menjadi presiden yang otoriter.

Kita juga pernah memiliki sosok Buya Hamka, seorang ulama yang juga diperlakukan kurang bijak oleh Soekarno tetapi juga memaafkannya. Kenapa sekarang sosok yang sering mengaku sebagai politisi senior bahkan juga sosok ulama tidak bisa seperti Mohammad Natsir dan Buya Hamka, sekalipun berulang kali mengutip ceramah dua sosok ulama ini?

Mungkinkah bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain jika para politisi benar-benar hanya menjadi politisi yang rabun ayam, bukan beranjak menjadi negarawan? Sulit rasanya berharap pada politisi yang tidak memiliki kesalehan politik karena hanya dendam yang digembar gemborkan.

Baca juga:

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Ulama dalam Pusaran Politik

Ulama Sejati dan Ulama Penebar Kebencian

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.