Sabtu, Juli 27, 2024

Pangan MPASI Rekomendasi WHO Terbaru dan Pangan Ultraproses

Widya Agustinah
Widya Agustinah
Penulis adalah dosen tetap Teknologi Pangan di Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya yang saat ini sedang melanjutkan studi Doktor dalam bidang Ilmu Pangan di Institut Pertanian Bogor.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 16 Oktober 2023 mengeluarkan panduan terbaru tentang pemberian makanan pendamping ASI, khususnya bagi anak berusia 6 hingga 23 bulan. Terdapat 7 rekomendasi penting. Rekomendasi pertama adalah menyusui diberikan kepada bayi sejak lahir hingga dua tahun atau lebih.

Kedua, susu formula atau susu hewan (full fat) dapat diberikan pada bayi berusia 6-11 bulan yang tidak diberikan ASI, sedangkan pada bayi berusia 12-23 bulan non-ASI dapat diberikan susu hewan dan tidak dianjurkan untuk diberikan susu formula lanjutan.

Susu hewan merupakan bagian dari pangan beragam yang penting diberikan pada bayi non-ASI ketika protein hewani lainnya tidak tersedia. Susu hewan yang dapat diberikan termasuk susu pasteurisasi, susu rekonstitusi evaporasi, susu fermentasi, atau yogurt. Jenis susu hewan lainnya, seperti susu terkondensasi (kental manis), susu berperisa, dan dengan tambahan pemanis tidak boleh diberikan.

Ketiga, MPASI secara umum diberikan pada bayi berusia 6 bulan sambil tetap melanjutkan menyusui, namun pada beberapa kasus MPASI dini dapat diberikan.

Keempat, bayi dan anak berusia 6-23 bulan harus diberikan pangan beragam yang terdiri atas sumber protein hewani, sayur, buah, dan kacang-kacangan. Sumber protein hewani, seperti daging, ikan, atau telur, dan sayuran dan buah-buahan harus dikonsumsi setiap hari. Kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati perlu dikonsumsi sering terutama jika protein hewani dan sayuran terbatas.

Makanan pokok berpati perlu dibatasi karena minim kandungan protein berkualitas, bukan merupakan sumber vitamin dan mineral penting bagi tubuh, seperti zat besi, zink, dan vitamin B12, dan banyak mengandung senyawa antinutrisi yang dapat mengganggu penyerapan gizi penting. Ketika memberikan serealia, yang diutamakan adalah biji serealia utuh (whole grain), seperti beras, jagung, sorgum, dan gandum utuh, sedangkan bentuk olahan murni (refined), seperti tepung diminimalkan.

Kelima, makanan dan minuman yang tidak sehat harus dihindari, yaitu makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak trans, minuman dengan tambahan gula, dan makanan/minuman dengan pemanis bukan gula tidak boleh dikonsumsi. Konsumsi jus buah 100% harus dibatasi.

Keenam, pada konteks tertentu saat kebutuhan gizi anak tidak tercukupi, pemberian suplemen nutrisi atau produk pangan terfortifikasi dapat bermanfaat bagi anak 6-23 bulan. Bubuk mikronutrien campuran dapat memberikan vitamin dan mineral tambahan tanpa menggeser pangan sehari-hari.

Tepung campuran dan produk MPASI berbasis serealia dengan fortifikasi dapat meningkatkan asupan mikronutrien. Asupan suplemen berbasis lipid berjumlah kecil dapat berguna bagi anak yang mengalami kekurangan gizi signifikan. Ketiga jenis suplementasi pangan tersebut dapat diberikan hanya pada konteks tertentu tanpa menggeser pola pangan beragam yang terdiri dari pangan sehat yang diolah secara minimal.

Ketujuh, praktik pemberian makan secara responsif harus diterapkan, yaitu pemberian makan yang mendorong anak untuk makan secara mandiri dan sebagai repons terhadap kebutuhan fisiologis dan perkembangan anak. Praktik responsive feeding tersebut dapat mendorong kemampuan anak mengontrol makan dan mendukung perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Pengasuh atau orang tua perlu menyediakan waktu untuk mendampingi anak saat makan atau belajar makan sehingga anak makan sesuai porsinya.

Sungguh disayangkan Indonesia dengan kekuatan sumber daya alamnya yang melimpah, baik dari sumber pertanian maupun kelautan, masih mengalami kelaparan dan stunting pada daerah-daerah tertentu. Prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6% pada 2022. Walaupun demikian, pola sebaran angka stunting tidak merata di Indonesia. Provinsi NTT memiliki populasi balita stunting tertinggi di Indonesia, yaitu 35,3% pada tahun 2022 yang disusul oleh Sulawesi Barat, Papua, dan Nusa Tenggara Barat dengan prevalensi tertinggi pada kelompok anak berusia 12-23 bulan.

Krisis ketersediaan pangan global telah terjadi sejak adanya pandemi Covid-19, kondisi lingkungan yang memburuk, bencana alam, dan konflik antarnegara yang memicu perang dan menggangu suplai pangan dunia. Krisis pangan tersebut semakin memperburuk masalah kecukupan pangan di tiap negara, termasuk Indonesia.

Dalam bidang Ilmu dan Teknologi Pangan, ilmuwan di dunia telah mengembangkan strategi baru dalam meningkatkan produksi pangan, menemukan sumber pangan alternatif baru, membangun struktur pangan yang baru secara ekonomi sirkular, dan mengenalkan digitaliasi dalam sistem pangan. Sumber pangan alternatif yang berpotensi menjadi sumber protein masa depan adalah serangga layak makan, alga, mikroalga, hasil olahan bahan asal tanaman (nabati) termasuk pemanfaatan limbahnya, seperti kulit/biji buah, sayuran, dan ampas produk nabati, serta produk pertanian seluler.

Teknologi pertanian seluler (kultur sel) melibatkan rekayasa jaringan dan teknologi fermentasi sehingga mampu menghasilkan produk pangan inovatif secara lebih efisien dibandingkan beternak atau bercocok tanam di lahan yang semakin sempit.

Konsep pertanian seluler ditujukan untuk menghasilkan produk hewani yang lebih ramah lingkungan karena dapat menurunkan jumlah permintaan ternak, mengurangi kebutuhan lahan dan biaya transportasi, menghasilkan produk dengan varisi zat gizi sesuai kebutuhan diet konsumen, dan memudahkan desain dan kontrol terhadap komposisi, kualitas, dan citarasa produk. Melalui teknologi tersebut, sebuah daging hewan dapat ditumbuhkan dari jaringan otot hewan di laboratorium tanpa membutuhkan pemeliharaan hewan ternak.

Apakah masyarakat Indonesia sudah siap mengadopsi produk teknologi pangan tersebut? Bila produk olahan hasil teknologi pangan masih dianggap sebagai pangan ultraproses yang perlu dihindari, maka sebenarnya para akademisi dan pemerintah Indonesia masih perlu waktu yang panjang untuk dapat mengedukasi masyarakat tentang peran teknologi bagi sistem pangan yang ada saat ini.

Berikutnya adalah porsi makan. Baik pangan ultraproses maupun dengan proses minimal bisa saja mengandung gula, garam, atau lemak trans yang tinggi. Seseorang mungkin saja tanpa sengaja menambahkan lemak trans ke dalam masakannya karena unsur ketidaktahuan.

Lemak trans ditemukan secara alami pada produk hewan ruminansia, seperti susu sapi, kambing, mentega, yogurt, dan keju. Lemak trans buatan dihasilkan melalui proses hidrogenasi parsial minyak sayur atau minyak goreng. Produk makanan yang mengandung lemak trans adalah gorengan, donat, biskuit, keripik, margarin, mentega, creamer, dan pizza. Yang sebenarnya perlu dilakukan adalah membatasi atau mengurangi porsi makanan yang mengandung gula, garam, atau lemak trans yang tinggi dan tidak memberikannya pada anak-anak. Bukan soal proses atau keutuhan bahannya yang perlu diwaspadai.

Kesenjangan tingkat pendidikan dan ekonomi mungkin dapat membatasi tingkat pengetahuan dan kemampuan memilah informasi secara tepat. Di sinilah dukungan pemerintah, para pengambil kebijakan, akademisi, dan para professional dari disiplin ilmu terkait perlu bekerja sama menyosialisasikan informasi yang tepat untuk membuka wawasan dalam menciptakan kebiasaan makan yang beragam dan seimbang bagi generasi penerus bangsa.

Widya Agustinah
Widya Agustinah
Penulis adalah dosen tetap Teknologi Pangan di Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya yang saat ini sedang melanjutkan studi Doktor dalam bidang Ilmu Pangan di Institut Pertanian Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.