Minggu, November 24, 2024

Omongan Soal Mantan Pasangan Galih Ginanjar, Cara Paling Buruk Memompa Citra Diri

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.
- Advertisement -

Bintang sinetron yang tenar pada dekade awal 2000-an, Galih Ginanjar tengah disorot kembali sejumlah media baru-baru ini. Dalam kanal Youtube Rey Utami dan Benua bertajuk Mulut Sampah, Galih yang diundang sebagai bintang tamu berceloteh soal relasi-relasinya, baik dengan pasangan yang sekarang, Kumalasari, maupun yang telah berpredikat mantan istri, Fairuz A. Rafiq.

Di dalam video itu, Galih beberapa kali mengangkat pengalaman-pengalaman tak menyenangkannya yang didapat selama berelasi dengan Fairuz. Selang beberapa waktu kemudian, di acara Hotman Paris Show, giliran Fairuz yang bersaksi soal kelakuan buruk Galih, terutama soal kepedulian laki-laki tersebut terhadap anak mereka. Iseng saya berselancar di internet, rupanya saling serang pasangan ini sudah berlangsung dari awal mereka bercerai. Tahun 2016 sudah ada tayangan soal perselisihan Galih-Fairuz, salah duanya menyinggung nafkah ke anak dan kecemburuan terhadap pasangan baru Galih.

Bukan hal anyar memang, jika mantan pasangan saling membeberkanatau membuat-buat cerita tentangkejelekan satu sama lain. Malahan, hal itu jadi komoditas industri infotainment di negeri ini, yang mungkin gayung bersambut dengan kepentingan segelintir pesohor yang haus sorotan kamera setelah sekian lama tak muncul di media massa. Sebagai public figure, mereka boleh jadi merasa perlu mengklarifikasi informasi yang dirasa tidak benar tentang dirinya. Namun, pleidoi macam ini bisa terasa memuakkansetidaknya buat sayaketika pesan yang disampaikan sudah terlampau jauh, detail, dan tak penting diketahui khalayak alias TMI.

Lazimnya, konten infotainment macam itu saya abaikan begitu saja. Relasi orang lain, mau public figure kek, atau kenalan saya sendiri, seyogyanya jadi urusan mereka saja. Kecuali kalau kenalan minta bantuan atau tanya pendapat saya soal hubungan mereka. Lantas, kenapa sih, saya mau menulis soal Galih dan Fairuz kali ini? Ada beberapa alasan yang mendasarinya, salah satunya soal konten pesan yang dilontarkan Galih di video dengan Rey tadi.

Berbeda dengan kasus-kasus saling menjelekkan mantan pasangan yang dilakukan beberapa pesohor lainnya dan diberitakan media, kasus Galih lebih membuat saya gatal berkomentar lantaran salah satu hal yang disinggungnya terkait seksualitassesuatu yang masih dianggap kontroversial buat dibuka di muka publik.

Dari tengah video, Rey mengarahkan perbincangannya dengan Galih ke topik kehidupan ranjang laki-laki tersebut. Awalnya, soal aktivitas seks Galih dan Kumalasari yang menurut penuturan Galih, begitu memuaskan bagi satu sama lain. Berikutnya, Galih mengomparasi aktivitas seksnya selama masih menjadi suami Fairuz. Ketika itulah pernyataan Galih di-highlight beberapa media: Kalau yang ono [Fairuz], baru dibuka tudung saji [penutup genitalnya], ikan asin, tutup lagi. Tak cuma itu, Galih juga menyinggung soal ukuran genital mantan istrinya yang dirasa berbeda setelah ketahuan selingkuh beberapa kali.

Di samping seksualitas, kejelekan Fairuz lainnya yang diutarakan Galih terkait dengan gaya hidup hedon dan pengelolaan uang yang buruk dari sang mantan istri, kesulitan Galih bertemu anaknya karena konon dipersulit Fairuz, hubungan gelap Fairuz dengan laki-laki lain, dan masih banyak lagi. Ending-nya, Galih mengibaratkan relasi dengan Fairuz bak mendapat bunga bangkai, sementara setelah berelasi dengan Kumalasari, ia seakan mendapat berlian. Silakan tonton sendiri sisanya.

Saya paham, topik seks memang jadi jualan gampang laku bagi media. Berbeda dengan beberapa dekade lalu, orang pun jadi kian cair membicarakan topik ini, mulai dari perspektif akademis hingga praktik keseharian. Wacana seksualitas berkembang di bangku-bangku diskusi sampai platform media sosial, paralel dengan seloroh ranjang di warung-warung kopi dan tempat nongkrong dengan teman sepantaran yang sebenarnya sudah lama ada. Saya sendiri tipe orang yang sex-positive, kok. Tak masalah mengangkat perbincangan ini baik di tataran formal maupun kasual. Tapi apa iya, wajar juga kalau obrolan soal pengalaman seks yang buruk dan tubuh mantan pasangan, yang dikenal masyarakat pula, dibawakan di hadapan ratusan bahkan ribuan audiens? Saat menonton video tadi, saya berkali-kali menggelengkan kepala. Bukan karena apa-apa. Saya tidak habis pikir, sebegitunya orang bercerita soal pengalaman dengan sang mantan, sampai ke soal badannya. Faedahnya apa buat Galih sendiri dan khalayak luas mengumbar soal itu?

Selepas menonton video testimoni Galih, saya jadi lebih tertarik mengulik kenapa sih mengumbar kehidupan seks mantan dan hal-hal yang tak disuka darinya itu jamak dilakukan, bukan hanya oleh public figure, tapi juga orang-orang awam. Saya menduga-duga, apa memang kegiatan ini sudah diwajarkan oleh masyarakat sejak lama, dan semakin dinormalisasi pada era digital dan media sosial, ketika siapa pun (seolah-olah) bebas mengunggah apa pun. Kelakuan suami atau istri jelek sedikit, sindir via status Facebook. Mantan pernah mengecewakan, tumpahkan di Twitter. Yang mulanya cukup curhat dengan teman-teman terdekat, atau ahli jiwa bila kelakuan mantan pasangan begitu destruktif, kini seisi dunia sepertinya mesti tahu betapa bobroknya kelakuan si mantan via Instagram.

Satu hal yang saya tangkap dari kasus menjelekkan mantan pasangan, batasan antara privat dan publik sudah lebur. Di kalangan pesohor, hal ini sudah menjadi garansi karena wartawan infotainment akan doyan mengejar info-info privatnya. Sebagian pesohor risi karena dikorek terus masalah pribadinya, tetapi sebagian lainnya justru merasa hal itu bak angin segar yang terus menjaga popularitasnya.

- Advertisement -

Sementara di kalangan awam, saya terka sikap mengumbar kelakukan mantan ada hubungannya dengan keberadaan media digital sekarang ini. Sederet kajian media berulang kali menyebutkan, batasan antara hal privat dan publik sudah kabur di internet. Hal yang tadinya tinggal di diary saja berpindah ke blog, vlog, dan unggahan-unggahan lain di media sosial. Demi mendapat pengakuan publik, mereka menawarkan diri untuk dikupas persoalan personalnya seolah mereka adalah orang penting yang tiap tindak tanduknya butuh diketahui dan diberitakan orang-orang. User generated content bertemu dengan karakter narsisis seseorang merupakan racikan mujarab untuk menumbuh-kembangkan sikap mewajarkan cemooh mantan dan perilaku shaming.

Di samping kecenderungan narsisis, faktor paling mungkin yang mendorong orang melakukan hal semacam tindakan Galih adalah kemarahan, kekecewaan, atau emosi negatif lainnya yang tak juga selesai. Di salah satu forum internet yang membahas soal menjelekkan mantan pasangan, saya menemukan beberapa pendapat awam yang bagi saya cukup masuk akal mengapa tindakan macam itu diambil. Satu, waktu masih berelasi dengan si mantan, seseorang mungkin merasa perlu tampak bahagia di hadapan orang sekitarnya meski sebenarnya banyak keluhan soal relasinya di belakang. Begitu lepas ikatan dengan si mantan, unek-unek terpendam lama tadi langsung meletus bak gunung berapi aktif, tanpa kendali, tanpa pikir panjang apa konsekuensinya nanti. Pokoknya menjelekkan mantan terasa membahagiakan buat dia.

Dua, putus hubungan itu sering kali menyakitkan, bahkan bisa saja membuat penilaian diri seseorang terjun bebas, merasa tidak berdaya. Entah bagaimana caranya, bercerita yang buruk-buruk soal mantan membuat seseorang merasa lebih baik atau benar, memompa kepercayaan dirinya ketika teman-temannya mulai percaya bahwa dialah korban dalam relasi yang hancur itu, bahwa si mantanlah penghuni neraka yang telah mengacak-acak hidupnya dan patut dibenci seumur hidupnya. Victimhood menjadi senjata buat mencari kekuatan. Dari yang mulanya merasa tak berdaya pascaputus atau cerai, seseorang bisa merasa superior lagi dengan cara mencitrakan mantan seburuk-buruknya.

Alih-alih mengonfrontasi langsung orang yang bersangkutan, ada orang yang lebih memilih meluapkan isi pikiran dan perasaannya ke orang lain atau ke media sosial. Harapannya, bisa mendulang simpati audiens. Menyalurkan emosi itu sehat, tapi cara macam itu, apalagi yang diembel-embeli intensi dipandang paling benar dalam sebuah relasi, justru menurut saya makin buruk efeknya bagi seseorang.

Internalisasi nilai benar-salah yang terlalu hitam putih sejak dini dari macam-macam lingkunganmulai dari keluarga, teman sepermainan, sekolah, hingga tempat berkariermembuahkan manusia-manusia yang doyan menghakimi, berkonsentrasi mengejar klaim paling benar dalam suatu situasi alih-alih merefleksikan kenapa, bagaimana, konflik dalam relasi bisa terjadi dan bagaimana mengatasinya. Bilang ya emang dasar orangnya aja yang brengsek atau benar kan, mantan gue yang salah dan jahat jauh lebih mudah daripada berupaya mendengar dan memahami latar belakang tindakan-tindakan mantan selama berelasi dulu. Ujungnya, cuma adu cemooh. Pembelajaran tentang relasi sehat dan pengenalan karakter pasangan terus tertunda entah sampai berapa lama.

Selain itu, saya kira seseorang perlu mengidentifikasi apakah tindakannya sebatas curhat dengan audiens terbatas demi kesehatan psikis sendiri, atau sudah sampai menyerang orang lain sehingga menambah masalah lagi nantinya. Pada akhirnya pertanyaannya akan berujung pada apakah menjelekkan mantan pasangan memadamkan habis kekesalan, kekecewaan, dan kemarahan seseorang? Apakah sesudahnya dendam menyublim?

Kalau ada persoalan relasional yang belum selesai, saya juga suka bertanya-tanya, apakah benar tidak mempengaruhi relasi berikutnya sama sekali? Sadar atau tidak sadar. Bagaimana supaya masa lalu yang buruk tidak berimplikasi terhadap relasi masa kini? Haruskah keburukan mantan diungkit lagi dan lagi dalam rangka mensyukuri dan memuji pasangan yang baru? Lalu dalam konteks Galih-Fairuz yang sudah punya anak, apa enak ya jadi anaknya yang nanti ketika besar, mendapati ibu bapaknya doyan tuding dan mencela satu sama lain di media massa. Mana yang mesti dia percaya? Apakah si ibu atau si ayah mutlak buruknya sesuai cerita masing-masing dan tidak ada setitik pun kebaikan yang menempel di memori? Cukup setitik saja, setidaknya buat mengerem tutur supaya tak sampah saja yang keluar saat bercerita soal sang mantan.

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.