Oepik Itam (kiri) dan anggota Internationale Padvinders Organisatie (IPO). Pada tahun 1926, pasca ditangkapnya propagandis Oepik Itam, anggota IPO yang berjumlah 300 orang itu berkumpul di Bungo Tanjung menuntut dibebaskannya Oepik Itam.
Tersebutlah kisah pada 20 Maret 1926, pecah kerusuhan di Kota Padang. Tepatnya pada 5 Ramadhan tahun 1344 Hijriah, sekitar 40 orang –yang dulunya adalah eks bandit yang kemudian ‘hijrah’ dan mendalami Islam, mengubah penampilannya lebih agamis, dengan identitas jenggot, berpakaian putih, dan punya ilmu kebatinan (Doenia Achirat, 22 Maret 1926).
Mereka menamakan dirinya Sarekat Djihin (Djin), dan dua orang lainnya adalah anggota Sarekat Itam. Di mata Belanda mereka adalah bandit yang sering merampok orang-orang kaya dan pejabat Kolonial Belanda. Tapi, bagi rakyat jelata adalah penolong igama (baca: agama).
Aksi kerusuhan yang digerakkan 40 orang itu berakhir seketika. Ilmu kebal tidak mampu menahan laju timah panas. Lima orang tersungkur, sisanya ditangkap marchause.
Pasca ditangkapnya pentolan dari rusuh di Padang, dan dua aksi rusuh di daerah lainnya di Sumatra West Kust, propagandis Kuminih segera menggelar rapat umum di Padang Panjang. Satu dari sekian yang menggagas openbare vereeniging itu adalah seorang perempuan.
Oepik Itam (harfiah: perempuan hitam) berkuli terlahir di Nagari Pitalah, afdeling Tanah Datar pada tahun 1905. Pendidikannya dimulai dari Volkschool Pitalah, setelah menyelesaikan studinya, ia melanjutkan di Sumatra Thawalib Gunung. Di Nagari Pitalah-Bungo Tanjung di masa bersemainya Kuminih, ada dua orang yang bergerak dan aktif di Sarekat Rakyat, yakni Arif Fadhilah dan Oenggoen.
Diduga kuat, Oepik Itam mendapat pengaruh kuat Kuminih dari rekan sekampungnya Arif Fadhiilah, dan melalui bacaan-bacaan seperti surat kabar Pemandangan Islam, Djago! Djago!, dan Doenia Achirat.
Sejak berkecimpung di pergerakan kiri, Oepik Itam menjelma sebagai propagandis Kuminih perempuan –yang lantang memprotes kapitalisme, kolonialisme, belasting yang menyengsarakan rakyat, termasuk mengritik keras para penghulu yang berafiliasi pada pemerintah.
Kritik kerasnya terhadap datuk-datuk yang pro Kolonial Belanda, memicu kemarahan dari otoritas adat. Pasca pencidukannya karena melanggar vergader verbod, ditambah pengaduan dari otoritas adat, Oepik Itam yang awalnya ditempatkan di Koto Tangah Padang, segera dipindahkan ke Fort Van der Capelen/ Batusangkar (Sumatra Bode, 11 November 1946).
Proses pemindahan Oepik Itam dan Boestami ke Batusangkar, segera menyulut protes untuk pembebasannya. Suara protes menggema dalam rapat umum yang digelar Internationale Padvinders Organisatie (IPO), atau Organisasi Kepanduan Komunis Internasional.
Rapat umum yang dihadiri 300 anggota IPO yang berasal dari Bungo Tanjung, Pitalah, Batipuh Baruh, Gunung Rajo dan tempat-tempat sekitarnya di pimpin seorang aktivis SR bernama Kari Soeleman dan Katib Besar (De locomotief, 23 November 1926).
Mereka berkumpul di Nagari Bungo Tanjung dan menuntut dibebaskannya Oepik Itam dab Boestami (De Indische courant, 22 November 1926). Selain menuntut pembebasan, massa IPO yag hadir juga memperingati hari yang tak terlupakan, juga untuk menggelar rapat umum protes terhadap penangkapan perempuan komunis Oepik Itam dan komunis Boestami, yang saat ini berada dalam tahanan pelindung di Fort van der Capellen, sehubungan dengan pelanggaran larangan rapat.
Tidak sebatas rapat umum, massa IPO itu berencana menggelar aksi unjuk rasa. Aparat veldpolitie dan merchause melihat gelagat radikal itu, segera membubarkan massa yang terdiri dari murid-murid Rakjat School. Sedangkan Kari Soeleman dan Katib Besar ditangkap.
Setelah itu, keduanya divonis oleh Hakim di Padang Panjang dengan denda masing-masing 5 gulden, atau meringkuk dalam penjara selama lima hari Mereka dikenai pasal karet, karena melanggar artikel 37 Indische Staatsregeling.
Lama meringkuk di penjara Batusangkar, propagandis komunis Oepik Itam dari Pitalah itu, divonis oleh Landraad Sawahluto, dengan hukuman delapan tahun penjara (De Sumatra post/Bataviaasch nieuwsblad, 25 Februari 1927)
Pasal karet yang dituduhkan pada Oepik Hitam, berlanjut dengan penahananya di Penjara Semarang selama setahun. Kemudian, ia kerap berpindah penjara. Alasannya, kurang masuk akal. Oepik Itam yang memang dibenci kalangan otoritas adat itu, dianggap turut memprovokasi tiga aksi kerusuhan di masa Ramadhan tahun 1926.
Setahun kemudian, Oepik Itam kerap berpindah dari satu sel ke sel lainnya. Mulai dari Padang, Tapanuli, Benkoelen (Bengkulu), Jambi, Indragiri, Bengkalis bagian Pantai Timur Sumatra.
Pasca menyelesaikan masa tahanan, Oepik Itam memilih berdiam di Medan (De Sumatra Post, 6 Februari 1936). Oepik Itam tidak memiliki kerabat, teman atau kenalan di Medan. Di tengah kemiskinan yang menderanya, cepat, atau lambat dia menjadi beban masyarakat.
Sudah dua bulan Oepik tinggal di Jalan Madras. Ia tinggal bersama ibunya yang telah lanjut usia, dan putra semata wayangnya yang berusia sekitar 10 tahun. Ia harus berjuang menghidupi anaknya dan ibunya yang sudah lama sakit. Dilaporkan, bahwa sebuah komite dibentuk oleh beberapa kawannya di afdeling Tanah Datar, dengan tujuan penggalangan dana untuk membantu Oepik Hitam keluar dari kesulitan keuangannya.
Kabar mengenai propagandis Kuminih perempuan Oepik Itam, kembali hangat dibicarakan pasca menjalani hukumannya. Seorang anggota Volksraad dari Koto Gadang, Oud Agam bernama Datoek Kajo, menyebut Oepik Hitam perempuan petani sederhana dari Pitalah. “…Diusianya usia 20 tahun, ia menjadi orang yang menonjol dan berwibawa di antara para ‘pemberontak’ –demikian tulis De Sumatra Post pada 14 Maret 1936.
*Kutiplah tulisan ini dengan menyebut yang menulisnya
Sumber foto: Dokumentasi Fikrul Hanif dan Keluarga Leon Salim.