Senin, Oktober 14, 2024

MK dan Plebisit Calon Tunggal

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Petahana, Tri Rismaharini (kiri) dan Whisnu Sakti Buana (kanan) berpose sambil menunjukkan dua jari ketika peresmian posko relawan pertama di kampung Kebangsren II, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (2/10). Tim pemenangan Risma-Wisnu menargetkan 50 ribu posko relawan di 5.000 RT yang ada di Surabaya. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/ama/15
Pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana berpose sambil menunjukkan dua jari  di kampung Kebangsren II, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (2/10).  ANTARA FOTO/ Zabur Karuru

Saat tahap pencalonan dilaksanakan beberapa waktu lalu, pemilihan kepala daerah serentak 2015 dihadapkan pada persoalan calon tunggal. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memperpanjang masa pendaftaran, realitas calon tunggal di sejumlah daerah tetap tak terselesaikan.

Perdebatan kemudian muncul karena Undang-Undang Pilkada tidak mengatur penanganan calon tunggal, sementara KPU sebagai penyelenggara mengatur penyelesaian masalah ini dengan mengundurkan penyelenggaraan pilkada hingga masa pilkada serentak berikutnya.

Kelompok yang mendukung kebijakan KPU menilai, pilkada sebagai sebuah kontestasi tak dapat dilaksanakan jika hanya dengan satu pasangan calon. Bagaimana mungkin dianggap sebagai suatu kontestasi jika tidak ada pertandingan memperebutkan suara rakyat di dalamnya. Adapun golongan yang tidak setuju berpandangan, pilkada sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di daerah tidak dapat diundur hanya karena calonnya satu pasangan. Sebab, dengan calon tunggal proses pengisian jabatan kepala daerah tetap harus dilakukan.

Pada saat bersamaan, pengunduran pilkada juga merugikan pasangan calon yang telah mempersiapkan diri dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai peserta pilkada. Penolakan terhadap pengunduran pilkada juga diiringi dengan sejumlah gagasan solutif seperti pilkada dengan sistem bumbung kosong atau pilkada tanpa pemilihan (aklamasi).

Polemik tersebut awalnya akan diselesaikan melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Namun Presiden Joko Widodo akhirnya tidak mewujudkan rencana tersebut, sehingga apa yang telah diatur KPU tetap dipertahankan. Akibatnya, pada batas akhir masa pendaftaran, pilkada di tiga daerah kabupaten diundur hingga 2017 karena hanya diikuti satu pasangan calon.

Walau demikian, polemik calon tunggal masih saja belum reda. Sebab, pilihan kebijakan mengundurkan pilkada bukan jalan keluar yang tepat. Akhirnya polemik ini dinilai berakhir ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 terkait pengujian UU Pilkada. Melalui putusan tersebut, MK memberikan jalan keluar: pilkada dengan calon tunggal tetap harus dilaksanakan dengan sistem plebisit. Putusan tersebut diposisikan sebagai jalan tengah atas polemik calon tunggal yang terjadi sebelumnya.

Anggapan tersebut ada benarnya. Setidaknya, pilkada 2015 betul-betul diikuti secara serentak oleh seluruh daerah yang jabatan kepala daerah berakhir pada 2014 dan 2015. Pilkada di daerah yang sebelumnya telah ditetapkan diundur kembali harus dilanjutkan sesuai putusan MK dimaksud. Dengan demikian, perdebatan terkait pengunduran pilkada calon tunggal telah sampai ke titik solusi yang hampir dapat diterima semua pihak yang awalnya berbeda pandangan.

Meski demikian, ada sejumlah catatan penting yang perlu digarisbawahi dalam membaca putusan MK tersebut. Pertama, terkait pilihan mekanisme yang dipilih MK untuk menyelesaikan pilkada calon tunggal, yaitu dengan prosedur plebisit. Dalam salah satu pertimbangannya, MK menyatakan, pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “setuju” atau “tidak setuju” dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan pasangan calon kotak kosong, sebagaimana dikonstruksikan oleh Pemohon.

Plebisit dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pemungutan suara umum di suatu daerah untuk menentukan status daerah itu. Jika konsisten dengan pengertian plebisit yang secara resmi digunakan dalam Bahasa Indonesia, tentunya pilihan plebisit dalam putusan MK menjadi tidak pas. Sebab, pemilihan kepala daerah bukanlah pada posisi menentukan status daerah, melainkan hanya menentukan siapa yang menjadi kepala daerah.

Kedua, mekanisme plebisit pada dasarnya dipergunakan untuk suatu alternatif kebijakan dasar yang telah disediakan pemerintah pusat bagi daerah, namun membutuhkan persetujuan rakyat secara langsung. Lalu, terhadap alternatif kebijakan tersebut diminta pendapat rakyat, apakah mereka setuju atau tidak melalui sarana yang disebut plebisit. Sementara pengisian jabatan kepala daerah tidak dapat disamakan dengan alternatif kebijakan dari pemerintah pusat yang akan dimintakan persetujuan rakyat. Sebab, ia merupakan suatu proses pemilihan yang pencalonan dan pemilihannya datang sendiri dari rakyat. Dalam konteks ini, penggunaan plebisit pun semakin terlihat tidak tepat.

Ketiga, dalam pertimbangannya, MK secara eksplisit mengkategorikan plebisit sebagai manifestasi kontestasi. Padahal hakikat dasar plebisit bukanlah kontestasi, melainkan sebuah prosedur meminta persetujuan semata. Justru memilih menerapkan sistem bumbung kosong yang lebih tepat untuk dikategorikan sebagai kontestasi, walau bukan antar orang dengan orang sebagai subjek hukum.

Keempat, melalui putusan tersebut MK memberi penilaian bahwa sistem aklamasi dalam pemilihan kepala daerah sebagai sesuatu yang tidak demokratis. Hal ini tentu akan sangat kontroversial. Sebab, dalam filsafat demokrasi, prinsip suara terbanyak dalam wujud voting system bukanlah satu-satunya ciri demokrasi. Musyawarah mufakat ataupun aklamasi tetap dapat dinilai sebagai prosedur yang demokratis. Dalam sistem aklamasi, ketika hanya ada satu pasangan calon yang mencalonkan diri, sementara tak ada calon lain yang berani melawannya, ketika itu rakyat sesungguhnya telah memberi persetujuan pada calon tersebut, sehingga pemungutan suara tidak lagi diperlukan.

Selain itu, sistem aklamasi merupakan mekanisme yang telah hidup dan dipergunakan dalam demokrasi Indonesia. Aklamasi pernah diterapkan dalam pengisian jabatan-jabatan politik mulai dari presiden hingga kepala desa. Lalu, bagaimana mungkin MK menyatakan sistem aklamasi tidak demokratis dalam konteks ke-Indonesia-an? Oleh karena itu, putusan tersebut justru dapat menimbulkan masalah konseptual dalam memaknai prosedur demokrasi Indonesia.

Berbagai catatan di atas setidaknya menjadi sisi lain dari jalan tengah yang disuguhkan MK dalam putusannya. Meski dapat dinilai sebagai jalan keluar atas calon tunggal, tetap muncul kesan: pilihan mekanisme yang diambil tidak lebih dari bahwa MK sekadar ingin menggunakan istilah berbeda dari apa yang telah diperdebatkan sebelumnya. Sayangnya, pilihan yang diambil justru tidak sesuai dengan konsep dasar yang dikandung plebisit pilihan MK itu sendiri.

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.