Jumat, April 26, 2024

Menyelamatkan Demokrat yang Sekarat

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.

Beberapa orang petinggi Partai Demokrat membentuk Gerakan Moral Penyelamatan Partai Demokrat (GMPPD). Gerakan itu digagas Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Max Sopacua, bersama pendiri Partai Demokrat Ahmad Mubarok, Sahat, dan Dewan Pengawas Demokrat Isak. Mereka menuntut adanya kongres luar biasa, untuk memperbaiki keadaan partai.

Partai Demokrat terpuruk pada pemilihan umum 2019 lalu. Partai ini hanya sanggup meraih 7,7 persen suara. Pada pemilihan umum sebelumnya partai ini masih sanggup meraih 11 persen. Jangan bandingkan dengan masa ketika SBY masih jadi presiden. Penurunan suara partai ini menunjukkan bahwa partai ini sedang sekarat. Kalau tidak ada tindakan khusus, boleh jadi pada pemilu tahun 2024 nanti, partai ini tidak sanggup melewati electoral threshold. Jadi kekhawatiran sejumlah petinggi partai tadi cukup beralasan.

Apa yang harus dilakukan Demokrat untuk bangkit kembali?

Partai ini harus mau mengakui bahwa zaman sudah berubah. Dulu SBY adalah pusat partai. Sekarang pun masih begitu. Dulu SBY ada di pusat kekuasaan. Tapi kini tidak lagi. SBY dalam percaturan politik nasional lebih sering tampil sebagai sosok tanpa kejelasan sikap. Ia masih berharap diperhitungkan sebagai tokoh nasional. Lebih tepatnya, ia memasang harga yang terlalu tinggi untuk dirinya, sehingga ia enggan merendah.

SBY masih berharap ia disowani. Itu yang membuat ia tak mau membawa Demokrat masuk ke koalisi Jokowi. Ia pun tampak segan masuk ke koalisi Prabowo, meski akhirnya masuk juga. Ia tak senang dengan manuver Prabowo, sehingga tak tampak utuh dalam mendukung Prabowo. SBY tidak menerima kenyataan, bahwa ia kini bukan lagi pusat politik nasional.

Peliknya, Demokrat masih sulit melepaskan diri dari sosok SBY. Dengan sikap yang serba tidak jelas ini, Demokrat akan makin tidak jelas lagi di masa depan. Publik akan melihatnya sebagai partai bingung.

Masalah kedua, masih terkait dengan masalah pertama tadi, yaitu faktor AHY. Demokrat tidak hanya sulit lepas dari figur SBY, bahkan jadi mainan keluarga SBY. Di tengah pertarungan keras Pilkada DKI tahun 2017, SBY dengan enteng menyodorkan anaknya untuk jadi calon gubernur. Hasilnya fatal, AHY cuma dapat 15 persen suara. Lalu pada Pilpres 2019, SBY menggadang-gadang anaknya untuk jadi calon wakil presiden, tapi diabaikan oleh Prabowo.

Kini AHY bermanuver, mencoba merebut perhatian Jokowi. Ia sepertinya menawarkan Demokrat untuk masuk mendukung koalisi Jokowi. AHY berharap bisa jadi menteri, dan menjadikan dirinya tetap berada di pusat pusaran politik. Dengan cara itu, dia berharap bisa tampil sebagai calon presiden tahun 2024 nanti.

Pertanyaannya, apa yang dimiliki AHY? AHY adalah sosok karbitan yang dipaksakan orang tuanya untuk tampil. Ia tidak punya apa-apa, selain bahwa bapaknya pernah jadi presiden. Konsultan mungkin sudah habis-habisan memoles citranya, tapi hasilnya ya seperti yang bisa kita lihat sekarang. AHY tidak punya nilai jual yang memadai. AHY tidak bisa dijadikan andalan Demokrat untuk mendongkrak suara. Hasil Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019 sudah cukup terang benderang menunjukkan hal itu.

Keadaan diperparah dengan tampilnya orang-orang dengan reputasi buruk dalam mewakili Demokrat, yaitu Andi Arief, Ferdinand Hutahaean, dan Rachlan Nashidik. Orang-orang ini sering mengeluarkan pernyataan yang jauh dari cerdas, dan jauh pula dari citra SBY yang santun. Entah bagaimana mekanismenya, sehingga orang-orang ini bisa dibiarkan tampil mewakili Demokrat.

Nah, kalau Demokrat mau bertahan hidup, ia harus melepaskan SBY dari pusat partai. Tentu tidak serta merta membuang SBY. SBY masih punya nilai jual. Tapi jangan semata-mata mengandalkan SBY. Terlebih, jangan andalkan lagi AHY untuk jadi barang jualan. AHY tidak laku, sadarilah itu!

Ini saatnya Demokrat belajar dari Nasdem yang perlahan berhasil merangkak naik. Meski didirikan oleh Surya Paloh, partai ini tidak menjadikan Surya Paloh sebagai pusat partai. Mekanisme kaderisasi dan jaringan diperkuat. Nasdem memberikan kesempatan kepada kader yang punya jaringan kuat untuk merebut suara untuk tampil. Jadi, ada ukuran yang jelas soal kontribusi kader.

Ringkasnya, Demokrat harus memperkuat struktur dan kader. Yang diberi peran adalah orang-orang yang memang mau dan bisa bekerja untuk menaikkan suara partai.

Bagaimana pilihan politik 5 tahun nanti? Menjadi bagian dari koalisi Jokowi mungkin akan menarik. Jokowi memang sedang memerlukan dukungan tambahan setelah merosotnya PPP dan Hanura. Persoalannya adalah, apa dan apa yang akan diandalkan Demokrat untuk berkoalisi. Kalau cuma sekadar memberi jalan bagi AHY untuk jadi menteri, yakinlah, Demokrat akan lebih terpuruk. Berada dalam koalisi penguasa tidak menjamin stabilitas perolehan suara. Itu sudah terbukti pada kasus PPP dan Hanura.

Kuncinya tetap pada pembenahan hal-hal fundamental dalam partai.

Pertanyaannya, bisakah Demokrat menggeser pusatnya dari SBY ke penguatan fundamental? Saya tidak yakin. SBY masih terlalu kuat di internal partai. SBY juga tidak akan mau diri dan anaknya digeser. Jadi, apa boleh buat, partai ini mungkin memang akan tenggelam di tahun 2024 nanti.

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.