Ingatan pemilu, ingatan kata dan perbuatan. Sekian kata agak mampu mengisahkan dan menjelaskan pemilu, sejak 1955 sampai 2019. Kata-kata itu khas dan mengalami perbedaan nasib. Sekian kata awet, berubah arti, atau musnah. Penggunaan kata-kata berkaitan pemilu mungkin mula-mula oleh panitia pemilu, pejabat pemerintah, wartawan, atau pengamat politik. Pemilu memang diselenggarakan menghasilkan kata-kata di penentuan makna demokrasi dan Indonesia.
Herbeth Feith dalam buku berjudul Pemilihan Umum di Indonesia 1955 (1999) mengisahkan pemilu bersejarah dianggap memunculkan pengharapan-pengharapan, ketimbang pesimisme atau kehancuran di janji demokrasi. Buku dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia belum mencantumkan istilah “rusuh” untuk mencatat dan menguraikan pemilu demokratis awal di Indonesia. Para elite partai politik memang bersaing merebut perhatian publik tapi tak sampai ke kesengajaan mencipta “rusuh” atau “kerusuhan”. Puluhan partai politik saling mengejek dan berdebat tapi tak kebablasan ke pembuatan lakon kerusuhan kolosal. Kita justru diajak mengenang pemilu itu pengharapan dan pesta.
Sarjana asal Amerika Serikat itu saat meneliti Pemilu 1955 mungkin lupa tak membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta. Ia mungkin sengaja menggunakan diksi-diksi politik tanpa ketergantungan pada situasi atau hal-hal buruk untuk disampaikan dengan kata-kata sudah masuk di kamus. “Rusuh” memang bukan pokok di buku Herbert Feith. Ketiadaan istilah “rusuh” memberi imajinasi kebahagiaan dan kelegaan di hajatan demokrasi. Tiga tahun menjelang hari coblosan, orang bisa membaca Kamus Umum Bahasa Indonesia di pengertian “rusuh”. Poerwadarminta mengartikan: “tidak aman, banjak gangguan keamanan, tjeroboh, tidak beraturan, tjampur aduk.” Kata itu sudah dikenali puluhan tahun lalu. “Kerusuhan” berarti “keadaan tidak aman, keributan, kegaduhan, huru hara, kekatjauan.”
“Rusuh” dan “kerusuhan” ada di kamus tapi tiada di kajian Herbert Feith. Kita masih harus menduga “rusuh” dan “kerusuhan” mungkin pernah ada di pemberitaan dalam koran dan majalah masa 1950-an. Dugaan diharapkan meleset agar tiada nostalgia pemilu adalah kerusuhan. Pada masa 1950-an, pertentangan politik memang sengit. Kita jarang mendapatkan warisan berita atau cerita di masa itu berlangsung kerusuhan. Pemilu tanpa kerusuhan tentu beradab dan mulia.
Situasi itu berbeda dengan Pemilu 2019. Di Jakarta, 22 Mei 2019, terjadi peristiwa-peristiwa tak diharapkan di angan demokrasi. Di sekian tempat, orang-orang melakukan demonstrasi kebablasan dengan pembakaran, pelemparan, dan perusakan. Konon, mereka melakukan itu berdalih terjadi kecurangan demokrasi. Dalih perlahan semu jika kita mengamati peristiwa-peristiwa di Jakarta. Berita-berita di televisi mulai memilih istilah “kerusuhan” untuk sekian peristiwa di Jakarta. Istilah itu bermunculan pula di koran-koran.
Di editorial Tribun Jateng, 23 Mei 2019, kita membaca penggunaan istilah “kerusuhan”. Kita mengutip: “Menkopolhukam Wiranto mengatakan, pemerintah sudah mengetahui dalang dari aksi kerusuhan yang terjadi pascademo di depan Kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (21/5). Wiranto memastikan, aparat keamanan akan bertindak tegas.” Kita menduga penggunaan istilah itu dimulai dari pihak pemerintah dalam usaha menjadikan demokrasi di Indonesia luhur, mulia, damai, dan bahagia.
Kita kadang meragu untuk mengartikan demokrasi jika bertemu kata atau istilah mengandung arti buruk. Di Kompas, 23 Mei 2019, kita menemukan sebutan ke pelaku kerusuhan adalag “perusuh”. Penggunaan istilah “kericuhan” bergantian dengan “kerusuhan”. Kita membaca Solopos, 23 Mei 2019, memuat kutipan penjelasan Presiden Jokowi: “Saya juga tidak memberikan toleransi kepada siapa pun yang akan mengganggu keamanan yang akan mengganggu proses demokrasi dan persatuan negara yang kita cintai ini, terutama perusuh-perusuh.” Pelaku di peristiwa buruk dinamakan “perusuh”. Kita mengalami lagi situasi mendebarkan dan menakutkan di pemaknaan demokrasi, berbeda dari masa 1950-an.
Kita mengingat 1999, Indonesia ingin berdemokrasi (lagi), setelah mengalami tahun-tahun dinamai masa Orde Baru. Pemilu-pemilu memang diselenggarakan selama masa Orde Baru tapi mulai kehilangan pengharapan-pengharapan seperti 1955. Sekian pemilu dinilai lancar dan tertib. Pemerintah menerapkan aturan dengan misi menjadikan demokrasi tanpa gangguan-gangguan. Tata cara pemilu memang dimaksudkan menjadikan demokrasi tanpa luapan kritik, protes, atau gugatan.
Ingatan pemilu-pemilu pada masa Orde Baru bisa mengacu ke lagu berjudul Pemilihan Umum gubahan Mochtar Embut. Lagu mengajak ke jutaan orang mengikuti pemilu tanpa tumpukan sangkaan atau keraguan. Sikap dan suasana terasa dalam lirik lagu: Pemilu umum telah memanggil kita/ seluruh rakyat menyambut gembira/ hak demokrasi Pancasila/ hikmah Indonesia merdeka/ pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya/ pengemban Ampera/ di bawah Undang-Undang Dasar 45/ kita menuju ke pemilihan umum. Di situ, kita membaca kesuksesan pemilu dimulai dari gembira. Pemilu di lakon demokrasi bukan untuk petaka, kerusuhan, perpecahan, atau permusuhan. Pemilu itu gembira bersama sesuai konstitusi.
Gembira pada masa Orde Baru sering “menipu” atau “palsu”. Rezim sengaja mencipta narasi dan imajinasi kegembiraan tapi menabur perintah dan “ancaman” demi pemilu tertib. Dulu, rezim justru membahasakan luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur dan adil). Sekian kata ditaruh di pengisahan pemilu, memberi pemaknaan ke jutaan orang bahwa pemilu sesuai konstitusi dan amalan demokrasi khas Pancasila.
Masa lalu Orde Baru mendapat tandingan dari keinginan berdemokrasi di Pemilu 1999. Orang-orang menginginkan demokrasi damai. Pemilu berlangsung tapi kepicikan kaum elite politik turut di ingatan membuat tatanan politik baru di Indonesia. Dalih berdemokrasi dibahasakan Sindhunata dalam buku berjudul Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000): “Pesta adalah hari di mana kita hendak mematahkan kontinuitas sejarah. Dengan pesta kita hendak membuat sejarah ke depan menjadi lain dengan sejarah sebelumnya. Dalam pesta biasanya kita berjanji takkan mengulangi kesalahan di masa lalu. Maka pesta demokrasi kali ini adalah saat di mana kita secara definitif hendak melepaskan diri dari belenggu Orde Baru.”
Semula, publik cemas Pemilu 1999 bakal memicu pertikaian, bentrok, kekerasan, dan kerusuhan. Pada 1999, istilah “kerusuhan” sudah mulai sering digunakan di pemberitaan dan percakapan. Dugaan dan cemas publik itu meleset. Pemilu berlangsung “indah” dan “damai”. Nah, hari-hari setelah pemilu malah dinodai ocehan dan ulah elite politik memicu sengketa, kacau, dan benci berkaitan raihan kekuasaan. Demokrasi masih bimbang. Angan Indonesia berdemokrasi damai, santun, dan rukun justru dipermainkan oleh orang-orang politik sengaja meremehkan pengharapan publik.
Kini, kita mengenang pemilu dengan situasi tak keruan lagi gara-gara kerusuhan di Jakarta. Pembentukan album ingatan pemilu masih memiliki halaman “buruk” dengan kerusuhan. Kita belum sampai ke pengharapan sambungan dari Pemilu 1955. Di tiap-tiap pemilu, keinginan mencipta sejarah berlangsung tanpa harus mengikutkan kerusuhan. Kita menginginkan kerusuhan itu berhenti dan musnah. Begitu.