Jalaluddin Rumi, sufi Persia tersohor itu, berkisah dalam magnum opus-nya: Matsnawi. Alkisah, ada seorang muazin bersuara jelek. Saudara-saudara Muslimnya telah berulang kali menasehatinya untuk tak lagi azan dan menggantikan tugasnya itu pada yang lain, yang suaranya merdu, agar kalimat-kalimat indah dalam azan itu disempurnakan dengan lantunan suara yang merdu, sehingga utuh memberi kedamaian bagi pendengarnya dan benar-benar memotivasi pendengarnya untuk terpanggil ke masjid atau salat.
Namun, muazin itu tetap ngotot. Anehnya, suatu saat, seorang non-Muslim justru datang mencari muazin tersebut untuk memberinya hadiah lantaran azannya tersebut. “Katakan padaku, siapa dan di mana muazin itu? Suaranya membahagiakan hatiku,” katanya.
“Kebahagiaan bagaimana yang bisa kau dapat dari suara jelek itu?” tanya salah seorang Muslim yang ditemuinya.
Lalu, ia bercerita, “suara azannya menembus gereja kami. Aku memiliki seorang anak cantik yang berperangai baik. Ia cinta dan ingin menikahi seorang Muslim, serta tertarik mempelajari Islam. Aku gelisah karenanya. Aku kuatir dia menjadi Muslim. Hingga suatu saat, ia mendengar suara itu, dan merasa terganggu sekali dengannya. Ketika ia tahu itu suara azan, ia berbalik benci pada Islam. Maka, itu menjadi kegembiraan tak terkira bagiku. Karenanya, aku ingin memberinya hadiah sebagai ucapan terima kasih.”
Saya tak tahu, apakah cerita itu fakta atau hanya cara Rumi melakukan otokritik. Yang jelas, kritiknya mengena. Dan juga, kisah semacam itu jamak terjadi di masyarakat kita: betapa banyak orang terganggu dengan toa masjid yang bising tak karuan?
Sebelumnya, saya mau tegaskan bahwa kolom ini bukan secara khusus akan membahas masalah yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Sebab, menurut saya, apa yang terjadi di sana adalah kompleks. Insiden toa bisa jadi hanya pemicu saja. Maka, kolom ini benar-benar hanya sebuah pandangan kritis terhadap fenomena kebisingan toa yang kerap terjadi di masjid-masjid di berbagai wilayah di Indonesia.
Kita meyakini bahwa pada aspeknya yang paling mendasar, Islam hadir sebagai rahmat, dan itu adalah antitesa dari gangguan. Sehingga, segala sesuatu yang bersifat menganggu, pasti bukan hanya tak islami, tapi bertentangan dengan nilai dan hukum Islam. Rasul, misalnya, sangat menekankan kita agar memuliakan tetangga.
Begitu pula al-Qur’an dalam an-Nisa’: 36 yang memerintahkan kita berbuat baik pada tetangga yang dekat maupun jauh. Maka, sudah tentu menganggu tetangga adalah sesuatu yang dikecam Islam. Bayangkan, apa jadinya jika itu dilakukan oleh masjid dengan azannya?
Bagi saya, toa itu seperti lisan. Al-Qur’an, begitu pula Nabi, mewajibkan untuk menjaganya. Bukan hanya secara kualitas, yakni apa-apa yang keluar darinya harus positif. Melainkan juga kuantitasnya: suara maupun volumenya. Bahkan dalam QS al-Hujurat ayat 2 dan 3, Allah secara tegas melarang setiap orang meninggikan suaranya di atas suara Nabi atau bersuara keras. Ini adalah etika Islam, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Di sisi lain, toa itu bagai Harun di sisi Musa atau Bilal di sisi Nabi. Sesuatu yang baik, ia butuh metode penyampaian yang baik. Diutus Harun untuk menjadi “juru bicara” Musa, sebagaimana Bilal dipilih Nabi lantaran suaranya yang merdu untuk mengumandangkan azan. Begitu pula azan atau apa pun syiar Islam yang hendak kita sampaikan, ia wajib memenuhi unsur ke-‘Harun’-an atau ke-‘Bilal’-an. Jika tidak, sebagaimana kisah Rumi di atas, tentu itu akan jadi kontraproduktif bagi aktivitas dakwah kita.
Untuk menghayati aktivitas keberagamaan, sifat dasar kita selalu butuh pada keheningan atau irama yang lembut dan syahdu, merdu. Nabi menyepi di gua Hira untuk itu. Para sufi menyebutnya khalwat: pergi dari kebisingan, menyepi dalam keheningan, masuk dalam ke-khusyuk-an. Bahkan, seperti pernah ditulis almarhum almaghfurlah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), untuk sebuah lagu agama juga (misalnya baladanya Trio Bimbo atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja) biasanya dalam bentuk lembut.
Akhirnya, perlu ditegaskan di sini bahwa kritik ini tak hanya berlaku pada toa. Toa hanyalah salah satunya, dan ia menjadi satu-satunya contoh yang dibawa di sini tak lebih lantaran saat ini kita sedang dihebohkan oleh itu, dalam kaitannya dengan kejadian di Tanjung Balai. Kritik ini berlaku juga bagi lonceng gereja, bedug, pengajian menutup jalan raya, atau apa pun saja yang sifatnya menganggu.
Mungkin, perlu juga ditegaskan di sini bahwa tentu bukan berarti saya tak setuju pada toa. Karena, pada dasarnya toa itu bebas nilai. Ia akan baik jika digunakan secara proporsional dan bijak, sehingga tak berefek samping yang menganggu. Karena itu, saya mendukung agar takmir masjid masing-masing atau secara umum pemerintah mengatur masalah ini, membuat patokan-patokannya, agar ia tetap menjadi berkah bagi keberagamaan kita, bukan justru petaka.
Arab Saudi pun menerapkan aturan ini dan secara tegas menyita speaker yang dinilai terlalu kencang dalam menyiarkan azan. Karena, jangankan amar ma’ruf, nahi munkar pun harus ditegakkan dengan cara-cara yang ma’ruf.