Sabtu, April 27, 2024

Literasi Karangkitri Menghidupkan Kampung Halaman

Egi Azwul
Egi Azwul
Cerpenis dan musisi Tasikmalaya

Pada helatan diskusi yang diselenggarakan secara daring oleh Perkumpulan Literasi Indonesia, pada Minggu (26/04/2020). Faiz Ahsoul seorang editor dan pegiat literasi masyarakat mengantarkan sebuah tema diskusi, Literasi Karangkitri di Tengah Pandemi. Baginya menarik ketika membangun kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan lahan produktif di sekitar rumah.

Faiz Ahsoul tidak sekadar mendikotomi gerakan diri di dalam dan luar rumah, tetapi lingkungan juga harus menjadi perhatian. Ia member alasan topik pembicraannya, yakni agar tidak terjebak pada distribusi kepanikan. Kepanikan muncul karena krisis pangan. Keyakinannya bahwa imunitas atau kekbalan tubuh adalah jawaban paling masuk akal setiap level masyarakat.

Membicarakan pangan memiliki jalan panjang terkait peradaban pertanian. Meskipun Faiz ini tidak memiliki basis pertanian secara akacemik atau bertani sebagai harian. Baginya, petani adalah profesi. Ia hanya ingin membagi apa yang telah dilakukannya bersama tetangga di perumahan Bantul.

Faiz memaparkan peradaban pertanian sebagai alas dari topik pembicaraannya, mulai dari peradaban berburu dan meramu, peradaban ladang berpindah, peradaban ladang berbasis kawasan, peradaban ladang menetap, pertanian modern, dan pertanian masa pandemi.

Sebelum menjelaskan apa itu Karangkitri, mari kita tengok ke masa-masa sekolah dulu. Pernah ada istilah dapur hidup atau apotek hidup. Yang secara pengertian, berarti mengisi halaman rumah dengan tanaman yang berkhasiat atau tanaman sebagai bumbu yang tanpa harus membeli ke warung atau ke apotek.

Karangkitri seperti Faiz jelaskan, “Lahan di pekarangan rumah, kita manfaatkan betul untuk berkebun. Dengan jenis tanaman bukan pohon. Selain Karangkitri, ada juga yang disebut dengan Karanggizi dan Karangsari. Karangkitri itu bertani di sekitar rumah, karanggizi berarti gizi di sekitar rumah dan karangsari adalah kesehatan di sekitar rumah”.

Literasi Karangkitri ia garap bersama masyarakat sekitar perumahan di Bantul, Yogyakarta. Dikarenakan hidup dalam perumahan, sehingga hampir sebagian banyak dari penduduk di perumahan itu adalah pendatang.

“Kebetulan saya tinggal di perumahan, yang banyak sekali orang-orang pendatang dari berbagai macam daerah. Kemampuan mereka dalam bertani tentu berbeda-beda. Semisal ada orang yang dari Sleman dengan tanahnya yang subur, tentu berbeda dengan orang yang berasal dari Gunungkidul. Setelah kami bertemu, akhirnya saling berbagi pengalaman bagaimana caranya bertanam,” imbuhnya. Kesadaran komunal ini ia bangun sebelum terjadi pandemi Covid-19, dengan mengajak tetangganya untuk menanam buah-buahan seperti tomat, jeruk, dan cabai.

Menurut Faiz ketika menilik sejarah peradaban pertanian di Indonesia, baginya terjadi  generasi yang terputus dengan budaya menanam. Ia mengkritisinya dengan pernyataan, “Tradisi agraris sebetulnya ada keterputusan, sebelumnya ada proses barter, tapi karena sekarang masuk ke pertanian modern, maka terbentuklah sistem jual beli. Sedangkan pada masa pandemi ini, uang bukan menjadi jaminan untuk bisa menjawab kebutuhan, maka sistem berkebunlah  yang kami coba untuk dihidupkan”.

Faiz menceritakan tentang nasib buruk yang menimpa para peternak ayam di Kotagede, Yogkarta. “Peternak ayam di masa pandemi mengalami kerugian, karena biaya pakan sangat mahal. Akhirnya, ayam pun diobral dengan harga yang sangat murah.Memang benar, pada saat pandemi seperti sekarang, fungsi uang sudah jadi bukan kebutuhan, karena uang sejatinya tidak bisa dimakan,” kisahnya.

Sinta Ridwan—filolog  dan penulis, sekaligus moderator— ia menceritakan sebuah manuskrip yang isinya tentang sikap wongtani. Literasi folklor bercerita tentang pantangan-pantangan untuk jangan membakar sisa gabah, karena menurut kepercayaan mereka, kelangkaan terjadi musibah.

Faiz menegaskan bahwa tidak cukup untuk menyadarkan kesadaran individual, tetapi juga harus mengajak kesadaran komunal. “Apalagi, Jogja itu sangat kental dengan bencana, seperti erupsi Merapi dengan siklus 5 tahunan, ditambah gempa melanda Bantul pada tahun 2006, maka kesadaran komunal langsung muncul. Jadi ketika pandemi menyebar, masyarakat Jogja tidak gamang karena sebelumnya pernah mengalami bencana-bencana tersebut,” kenangnya.

Pada awal proses penanaman Karangkitri di halaman rumahnya, terdapat banyak tantangan. Selain dia sendiri bukan petani, juga tidak mengerti bagaimana cara bercocok tanam. Namun, setelah secara individu menyadari betapa perlu untuk memanfaatkan halaman rumah, maka ia pun berusaha menyadarkan tetangga-tetangganya untuk bertanam.

Karangkitri yang disampaikan oleh Faiz sebetulnya harus menjadi tamparan motivasi buat masyarakat Indonesia. Dengan keterbatasan lahan yang dimiliknya, dengan karakter tanah lembap dan bersuhu tinggi tetap bisa bercocok tanam. Analisisnya terhadap kondisi tanah di Bantul khususnya, merupakan tanah dengan batuan karst dengan kelembapan yang cukup tinggi dan suhu pun lumayan tinggi, sehingga tanaman yang cocok di sini adalah tanaman karbohidrat, seperti umbi-umbian dan jagung. Karena tanaman itu menyesuaikan dengan karakter tanah.

“Kemampuan tetangga dalam bertani  tentu berbeda-beda. Semisal ada orang dari Sleman dengan tanahnya yang subur, tentu berbeda dengan orang yang berasal dari Gunungkidul. Setelah kami bertemu, akhirnya saling berbagi pengalaman bagaimana caranya bertanam,” kesadaran komunal ini, Faiz bangun sebelum adanya pandemi Covid-19, dengan mengajak tetangganya untuk menanam buah-buahan seperti tomat, jeruk dan cabai.

Ismail Pong, seorang pegiat literasi dari Deli Serdang, ia membagi cerita tentang kondisi masyarakat di daerahnya yang tidak menanam di halaman rumah. Padahal, dapat dikatakan bahwa daerahnya masih kampung, kesadaran untuk menanam itu tidak ada. Oleh karena itu, masyarakat tidak gamang menghadapi pandemi ini, seandainya masyarakat di sana dapat memenuhi kebutuhan bumbu masak harian. Padahal tanaman kunyit, jahe, cabai, seharunya bisa ditanam di halaman rumah.

Literasi Karangkitri sebetulnya bukan saja menyadarkan secara individual betapa perlunya menanam, tetapi juga menyadarkan secara komunal. “Jika kesadaran komunal terbangun seperti yang dipraktikkan sekitar rumah, tentu tanaman kita tidak akan mati saat pergi ke luar kota karena tetangga kita akan menyiram dan menjaga tanaman kita,” tutur Faiz, “Konteks pandemi ini, sebenarnya menjadi momen yang bagus untuk membaca diri, membaca lingkungan sekitar atau membaca sistem komunal, betapa Literasi Karangkitri sangat penting,” ia menutup diskusi.

Fesitval Literasi dan WBD 2020

Egi Azwul
Egi Azwul
Cerpenis dan musisi Tasikmalaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.