Kamis, Mei 2, 2024

Sampah adalah Wajah Kita

Jannus TH Siahaan
Jannus TH Siahaan
Doktor sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Tinggal di Bogor.

Sekilas urusan sampah terdengar sangat receh. Ibarat memandang pemulung,  sampah pun kerapkali dianugerahi pandangan sebelah mata. Namun tetiba saat banjir mengepung kota, saat beberapa jam setelah hujan lebat, betapa gundahnya hati melihat imbas yang diakibatkannya. Air gagal mengalir ke saluran-saluran yang semestinya gegara mandek.  Kemudian air membawa banyak sampah ke permukaan. Bau tak sedap, pemandangan tak indah lagi, dan sumpah serapah mengiringi. Kemudian sampah tetiba jadi tersangka.

Dengan kata lain, urusan sampah hari ini bukan lagi urusan sepele, apalagi untuk masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, penting kiranya merekayasa perilaku (behavioral engineering) masyarakat agar lebih aware terhadap masalah yang satu ini. Selain itu, pemerintah pun kian hari kian dituntut untuk memperlengkapi berbagai fasilitas publik terkait distribusi dan pengolahan sampah biar tidak menimbulkan efek negatif yang jauh lebih destruktif di kemudian hari seperti banjir dan sejenisnya.

Namun, memang secara makro belum terlihat usaha komprehensif  ke arah sana. Boleh jadi karena bangsa ini terlalu sibuk dengan hiruk pikuk politik yang tak pernah habis-habisnya dan tekanan ekonomi yang juga tak kalah hebatnya. Maka, urusan sampah hanya menjadi urusan publik ketika banjir hampir mendekati leher di kota-kota besar atau ketika pembesar-pembesar mulai terganggu aktivitas kesehariannya lantaran imbas-imbas keamburadulan pengelolaan sampah.

Tentu saja dalam kepentingan tertentu ada satu-dua usaha secara nasional yang mencoba  merekayasa perilaku masyarakat terkait usaha pengurangan produksi sampah, sebut saja misalnya pengaturan kresek berbayar yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Ketika itu,  pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup sempat menggalakkan kantong plastik berbayar untuk mengendalikan sampah plastik.

Namun, sejak awal pemberlakuan kebijakan tersebut, banyak pihak yang pesimistis terkait imbas positifnya, termasuk terkait dengan optimisme tercapainya tujuan kebijakan tersebut. Ini  mengingat kecilnya cakupan kebijakan dan tidak jelasnya peruntukan pemungutan dana kresek tersebut. Dan hasilnya, sampai saat ini pun tak jelas juntrunganya.

Banyak pertanyaan yang muncul sejak awal, terutama terkait penyelenggaraan plastik berbayar yang hanya dilakukan pada ritel tertentu. Padahal persoalannya, jika diasumsikan bahwa sebagian besar konsumen yang berbelanja di toko ritel adalah masyarakat kelas menengah atas, maka ada kemungkinan kelompok ini masih tetap bisa membayar berapa pun jumlah kantong plastik yang mereka butuhkan saat berbelanja.

Dengan asumsi demikian, akhirnya  perubahan perilaku konsumen untuk mengurangi jumlah penggunaan kantong plastik berkemungkinan besar tidak akan tercapai. Bahkan ketika itu ada indikasi bahwa kebijakan tersebut hanya pembodohan publik semata; ketika pemerintah dan pengusaha tertentu terkesan sedang bersiasat atau “kongkalikong” untuk meraub dana dari masyarakat entah untuk kepentingan apa dan siapa.

Terkait perilaku publik terhadap sampah, menurut Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM), terdapat beberapa pembagian perilaku masyarakat kota di beberapa kota di Indonesia. Rincianya adalah sebanyak 1,5 persen membuang sampah ke laut; membuang ke kali/got sebanyak 5,3 persen; membakar sampah 24,8 persen.

Selanjutnya, sebanyak 1,4 persen masyarakat yang menimbun sendiri sampahnya; sementara yang diangkut petugas untuk dibuang ke TPA/TPS sebanyak 63,9 persen; dibuat menjadi kompos sebanyak 1,1 persen; dan didaur ulang hanya sebanyak 0,6 persen.

Sementara itu, di Indonesia, jumlah sampah padat yang diproduksi secara nasional mencapai 151.921 ton per hari. Artinya, setiap penduduk Indonesia secara rata-rata membuang sampah padat sebesar 0,85 kilogram (kg) setiap hari. Dengan demikian, jika dipadukan dengan perilaku masyarakat terhadap pengelolaan sampah di atas, total sampah yang dihasilkan secara nasional hanya 80 persen yang berhasil dikumpulkan, dan sisanya terbuang mencemari lingkungan.

Sisa 20 persen bukan jumlah sedikit. Belum lagi jika sampah yang 80 persen yang berhasil dikumpulkan tidak terkelola dengan baik. Karena terkumpulkan tidak berarti urusan selesai. Masih banyak masalah yang muncul sampai hari ini terkait pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), misalnya mulai dari status lahan, kualitas teknologi, sampai kepada relasi TPA dengan masyarakat sekitar.

Secara global, masih menurut data PSKK, volume sampah di kota-kota besar di dunia saat ini telah menghasilkan 1,3 miliar ton sampah setiap tahunnya, dan akan mencapai 2,2 miliar ton pada tahun 2025. Volume tersebut mengalami kenaikan sekitar 77 persen dari realisasi tahun 2016, yang tercatat sebanyak 1,3 miliar ton. Dan mayoritas kenaikan jumlah sampah tersebut terjadi di kota-kota berkembang.

Tentu Indonesia adalah salah satu negara dengan kota-kota yang akan mengalami kenaikan drastis tersebut, mengingat besarnya tingkat konsumsi dalam negeri dan besarnya angka migrasi ke daerah perkotaan yang tidak disertai dengan perbaikan kualitas pemahaman (literasi)  terhadap sampah dan perluasan fasilitas pendukung pengelolaan sampah.

Sebagaimana diamanatkan juga oleh Undang-Undang, perlu kebijakan yang terintegrasi di antara semua stakeholders, terutama antara pusat dan daerah terkait pembagian wewenang dan porsi anggaran, untuk terus mengendalikan laju pertumbuhan sampah, terutama dari sisi perluasan pengetahuan terkait sampah.

Secara teknis, perlu ada sinkronisasi kurikulum dan bahan ajar di lembaga pendidikan,  mulai dari tingkat terbawah dampai pada tingkat tertinggi, layaknya pengetahuan tentang antikorupsi, misalnya. Dan dalam konteks regulasi, ada pengaturan sanksi yang tegas dan jelas, jika diperlukan ada satgas khusus yang mengawasi, terutama di tingkat perkotaan, sehingga bisa memberikan rasa was-was terhadap perilaku yang tak sesuai dengan aturan-aturan sampah yang ada.

Pendek kata, pengolahan sampah merupakan bagian dari penanganan sampah yang menurut UU No. 18 Tahun 2008 didefinisikan sebagai proses perubahan bentuk sampah dengan mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah. Secara rinci berarti pengolahan sampah meliputi aktivitas mengurangi jumlah sampah, di samping memanfaatkan nilai yang masih terkandung dalam sampah itu sendiri (bahan daur ulang, produk lain dan energi).

Pengolahan sampah yang dapat dilakukan berupa  pengomposan, daur ulang, pembakaran (insinerasi), dan lain-lain. Dengan kata lain, pengolahan secara umum merupakan proses transformasi sampah baik secara fisik, kimia maupun biologi.

Nah, idealitas UU dengan realitas sampah berserta perilaku terhadap sampah memang harus segera dipertemukan, mengingat pertumbuhan sampah yang begitu besar di tengah kelengahan publik dan keacuhan pemerintah yang juga tak kalah mengkhawatirkanya. Harus ada kebijakan antisipatif secara makro dan mikro, nasional dan lokal, yang lebih bisa menyamai pertumbuhan pesat sampah.

Jika tidak, bukan saja akan menjadi masalah di setiap kota-kota besar yang imbasnya sangat mengkhawatirkan, banjir yang terlalu sering atau penampakan kota yang kian amburadul juga akan mengganggu aktivitas ekonomi beserta ketentraman kehidupan sehari-hari warga. Karena itu, penting kiranya pemerintah di semua lini menjadi para pihak yang terlebih dahulu aware  terjadap efek negatif bertumbuhpesatnya sampah.

Apa pun, pada ujungnya, urusan sampah bukan saja perkara bagaimana menata kota, tapi juga perkara bagaimana kita merawat dan menata wajah kita, wajah Indonesia.

Kolom terkait:

Dunia Terancam Sampah Plastik*

Ahok dan Kegagalan Mengelola Sampah Jakarta

2019, Produksi Sampah di Indonesia 67,1 Juta Ton sampah Per Tahun

Mengolah Sampah Menjadi Barang Bernilai Ekonomi

Jannus TH Siahaan
Jannus TH Siahaan
Doktor sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Tinggal di Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.