Pelajaran Geografi atau IPS di bangku sekolah masa Orde Baru memperkenalkan kita deretan 27 provinsi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat itu salah satunya adalah Provinsi Irian Jaya, yang sebelumnya adalah New Guinea, dan saat ini menjadi Papua. Berkali-kali berganti nama pada kenyataannya tidak membuat nasib rakyat Papua bergeser dari kemiskinan dan keterbelakangan, sekalipun kandungan perut buminya tak ada duanya (apalagi tiga) di tempat lain.
Rezim berganti, orang berganti, sistem pemerintahan berganti, pemekaran wilayah dapat restu, toh belum berarti banyak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Hingga saya pun mendakwa bahwa pembekuan PSSI yang berimbas pada macetnya kompetisi reguler, semakin membuat tak ada lagi kebanggaan (di antara sangat sedikit kebanggaan) bagi rakyat Papua. Ya, karena saya tidak lagi melihat tim seperti Persipura, Persiwa, hingga Persiram Raja Ampat menghajar lawan-lawannya di stadion seantero Bumi Cenderawasih. Proksimitas sosial pada ruang publik seperti stadion yang biasa sangat erat saat bersama-sama mendukung tim kebanggaan dirampas (juga).
Beragam perlakuan terhadap rakyat Papua sampai hari ini menjadi rentetan panjang yang mendatangkan rasa traumatik berkepanjangan, apalagi saat kita berkoar-koar tentang nasionalisme di dekat telinga rakyat Papua. Ditambah dengan kematian massal bayi dan balita warga Kabupaten Nduga Papua, hingga panasnya hubungan Jakarta – Papua saat ini perihal gonjang-ganjing kontrak karya PT Freeport Indonesia akan semakin menjadi celah bagi riak-riak kelompok yang ingin Papua lepas dari NKRI.
Meminjam apa yang diwariskan para pendiri bangsa ini terdahulu, rasa kebangsaan kita saat ini menjadi kunci untuk mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Momentum Natal 25 Desember ini menjadi isu bersama bagi bangsa ini untuk memberi kado Natal terbaik kepada rakyat Papua.
Pada tulisan-tulisan sebelumnya di banyak media telah banyak menyajikan fakta yang sangat komprehensif tentang kekayaan kandungan sumber daya alam yang menjadi rebutan dan sumber konflik di Papua. Andre Barahamin dalam penjelasannya di “Mengepung Papua Dengan Tambang”, misalnya, menjelaskan relasi yang dikonstruksi oleh pengelola tambang dengan masyarakat lokal begitu timpang, lebih berpihak pada kuasa dan kepentingan tambang.
Tidak diberinya tempat pada nilai-nilai kecerdasan lokal dalam diskursus pengerukan perut bumi Papua ini yang membuat akhirnya masyarakat Papua sendiri yang merasakan dampak sosial hingga ekologis yang buruk. Kesengsaraan yang didapatkan dobel, kemiskinan tak dapat ditolak, banjir dan bencana kelaparan lainnya apalagi.
Tindakan-tindakan Kecil Kita untuk Papua
Selain tindakan-tindakan besar yang wajib dilakukan oleh pengelola negara seperti mengkaji ulang kontrak-kontrak tambang di Papua atau berinvestasi infrastruktur publik besar-besaran (bukan mal), tindakan-tindakan kecil dari kita semua juga dibutuhkan untuk mengangkat kembali rasa kebanggaan rakyat Papua sebagai rakyat Indonesia. Seperti apa tindakan-tindakan kecil itu?
Mematikan benih rasialisme terhadap (orang) Papua. Vaksinnya seperti apa? Rasialisme terhadap orang Papua menjadi masalah pokok yang dialami orang Papua yang tidak jarang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, yang notabene masih satu bangsa.
Filep Karma, aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM), pernah merasakan sekaligus menjelaskan bagaimana orang-orang yang (mungkin) secara (tidak) sengaja melancarkan aksi-aksi sentimen rasial anti Papua. Karma menjelaskan, “Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah. Jadi, bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Sering kami dikata-katai, ‘Monyet!Ketek!’”
Orang Papua digambarkan sebagai suku terbelakang, badannya bau busuk, suka mabuk, berkelakuan kasar, melakukan korupsi dan seterusnya, lanjutnya.
Sentimen rasialisme terhadap Papua sudah harus kita matikan. Vaksinnya adalah pada individu kita sendiri. Dengan tidak memandang keterbelakangan Papua sebagai sesuatu yang komikal, apalagi menjijikkan, adalah hal yang bisa kita lakukan dalam keseharian kita, dalam pergaulan nyata, dan pergaulan viral kita.
Mematahkan kesimpulan Albert Camus yang menyimpulkan bahwa negara adalah inkarnasi kejahatan. Ini pernah dilakukan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat menjadi kepala negara, hubungan yang terbangun antara negara dengan masyarakat Papua begitu hangat dan terbuka. Bagi Gus Dur, mengibarkan bendera Bintang Kejora bukan kejahatan. Bendera Bintang Kejora bisa dikibarkan bersama sang saka Merah Putih. Bendera Bintang Kejora adalah lambang kultural.
Lanjut dari tesis Camus, pun jika Papua merdeka dan menjadi negara baru, kehadiran negara baru dengan kemerdekaan Papua berpotensi besar hadir sebagai inkarnasi kejahatan, negara dilanda perang saudara berkepanjangan. Sebaliknya, jika interaksi hangat dan setara yang pemerintah lakukan terhadap Papua berhasil, tentu warisan-warisan Gus Dur akan bijak bestari.
Sebagian tindakan-tindakan kecil ini telah dimulai oleh orang-orang yang peduli terhadap isu Papua. Di antaranya dengan memperluas jaringan dan jangka waktu bagi gerakan “Buku untuk Papua”. Gerakan ini bisa ditularkan oleh kita semua, di samping tugas negara mempersiapkan guru-guru tenaga pendidik yang berkualitas. Gerakan “Buku untuk Papua” ini juga bisa terintegrasi dengan program Nusantara Sehat, agar pengelola negara ini juga mempersiapkan fasilitas kesehatan dan SDM kesehatan yang kompeten.
Tindakan kecil yang bisa kita lakukan juga antara lain dengan menahan laju kultur konsumerisme yang menghinggapi masyarakat Papua. Membangun mal bukanlah satu-satunya penanda bahwa modernitas telah ditegakkan di suatu daerah, terlebih religiusitas yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Indonesianis Romo Magnis Suseno pernah berujar bahwa mal adalah tempat ibadah kapitalisme abad ke-21.
Tentu kita tak mau kehadiran gereja dan masjid di Papua tergantikan oleh mal. Bisa dibayangkan, karena tuntutan modernitas, perempuan-perempuan Papua yang menjadi karyawan bank harus menanggalkan identitas keragaman mereka dengan berusaha mengubah bentuk rambut yang keriting menjadi lurus demi standar-standar tubuh yang estetik versi modernitas. Siapa sebenarnya yang berkuasa atas tubuh mereka ?
Tindakan kecil yang bisa jadi tawaran bagi kita semua tapi cukup ekstrim adalah meninggalkan kebiasaan yang sudah jadi kultur masyarakat belahan timur. Kebiasaan itu adalah kita tidak lagi menjadikan emas sebagai penanda status sosial, alat transaksi dan investasi, hingga asesoris utama pengikat perkawinan atau dalam bahasa Makassarnya Panai’. Tentu dengan konsekuensi ada benda lain yang menjadi konversinya, semisal apa yang dilakukan oleh Kim Clijsters, legendaris tenis Belgia, dengan memberi tattoo di jari manisnya sebagai pengganti cincin kawin.
Rasa kemanusiaan kita pasti bergidik dan tak rela membawa tubuh kita berjubel di toko emas, sementara saat yang sama ibu-ibu di Kabupaten Nduga Papua bersama anaknya berjuang melawan pneumonia. Tentu banyak tindakan-tindakan kecil lainnya yang bisa kita lakukan untuk mempercepat awan hitam kemelaratan berlalu dari Papua.
Selamat Natal 25 Desember Kaka’. Terwujudnya kesejahteraan bagi rakyat Papua adalah keniscayaan agar kita semua bisa hidup bersama sebagai keluarga Allah.