Tim mahasiswa dari Universitas Brawijaya, Malang, meraih juara dua dalam lomba Thought For Food, sebuah kompetisi teknologi ketersediaan pangan berkesinambungan di Swiss tahun 2017 lalu. Lewat proyek Biteback, insect mineral oil, tim mahasiswa tersebut mempersembahkan sebuah penemuan yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi minyak sawit yang sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan.
Seorang anggota tim, Mushab Nursantio lewat BBC menyatakan bahwa mereka telah mengembangkan minyak yang terbuat dari ulat Jerman sebagai bisnis di Eropa dalam satu tahun terakhir. Awal tahun ini akan dimulai pembangunan pilot plant dan menyelesaikan kerja sama uji coba dengan beberapa perusahaan multinasional yang juga konsumen terbesar minyak sawit. Adapun enam perusahaan di Eropa telah menyatakan siap bekerja sama dengan mereka.
Melanggengnya insect mineral oil ke jenjang proyek komersial tentu merupakan kabar menggembirakan. Apalagi di tengah pembicaraan tentang deforestasi yang sedang ganas-ganasnya belakangan ini. Beberapa hari lalu (19/2), salah satu koran nasional menayangkan sehalaman penuh berita berisi pembalakan liar, kebakaran lahan gambut, dan kerusakan hutan lindung dan konservasi orangutan di Kapuas, Kalimantan Tengah.
Poin terakhir itu mengkhawatirkan. Pertemuan orangutan dengan industri manusia membuat mereka semakin terdesak. Peristiwa terakhir yang terungkap adalah penembakan seekor orangutan oleh senapan angin sebanyak lebih dari 120 kali. Mustahil membayangkan rasanya ditembak oleh senapan angin. Apalagi ketika pelurunya tersebar bersarang di berbagai bagian tubuh—di kepala 74 peluru, tangan kanan 9 peluru, tangan kiri 14 peluru, kaki kanan 10 peluru, kaki kiri 6 peluru, dan di dada 17 peluru.
Orangutan itu ditemukan sekarat di sekitar kawasan Taman Nasional Kutai Timur. Ia meregang nyawa, dievakusi pada Senin (5/2), kemudian tewas karena mengalami infeksi.
Saya secara pribadi mengenal orangutan melalui buku serial Pustaka Alam Life berjudul “Primata”. Itu buku kesayangan saya waktu kecil. Melalui buku tersebut, saya jadi tahu bentuk fisik orangutan yang mirip sekali dengan manusia. Orangutan adalah jenis kera pepohonan yang hidup dalam kelompok kecil.
Orangutan dewasa cenderung penyendiri dan tekun, sementara para remajanya terlihat aktif menjadi pemain akrobat penuh tawa ria. Perilaku yang diceritakan buku “Primata” mengingatkan saya pada kebanyakan anak manusia yang baru beranjak dewasa dan penasaran pada dunia: banyak tingkah dan secara sosial maunya menjangkau banyak kalangan.
Belakangan setelah dewasa, saya kemudian tahu bahwa sebanyak 97 persen DNA orangutan sama dengan manusia. Sebagaimana hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature (8/3/2012), data genomik menunjukkan bahwa genom manusia terpisah dari orangutan 14 juta tahun lalu.
Maksud saya, tidak perlu jadi aktivis orangutan atau bahkan jadi monyet dulu untuk mencoba paham tentang keberadaan orangutan yang critically endangered. Cukup menangkap kesamaan manusia dengan orangutan, serta menjadi manusia yang sadar bahwa manusia dan mereka sama-sama merupakan bagian dari rantai semesta yang saling terkait.
Laporan BBC beberapa hari lalu melaporkan bahwa memang pembukaan lahan oleh manusia berpengaruh besar bagi keberlangsungan hidup orangutan. Ya, mungkin pada mulanya adalah kebutuhan sederhana manusia: macam-macam penganan digoreng oleh minyak, es krim yang jadi penghibur di hari panas atau mi instan di masa-masa penghujan yang juga merupakan produk turunan minyak goreng kelapa sawit.
Minyak kelapa sawit digunakan di sekitar 50% produk supermarket—termasuk obat-obatan dan kosmetika. Tentu kita tak mungkin mengabaikan kebutuhan manusia yang tinggi terhadap hal-hal sederhana itu, tapi pun kita tak boleh abai terhadap fakta bahwa sekitar 100.000 orangutan telah terbunuh di Borneo sejak tahun 1999. Satu penelitian di Current Biology menjabarkan tentang hal itu. Bahkan, segala kerusakan yang diprediksi akan berlanjut ini bisa saja menghilangkan lebih dari 45.000 orangutan selama 35 tahun ke depan.
Maka, penemuan minyak dari ulat Jerman ini salah satu peluang untuk menghentikan ketergantungan manusia pada minyak sawit—yang berarti pula pembukaan lahan. Ditambah pula, kandungan lemak dalam ulat Jerman lebih rendah lemak dan mengandung omega tiga tinggi. Industri ini semakin bernilai tinggi dari segi kesehatan. Ini penemuan yang harus dikembangkan, baik secara teknis maupun dari segi pemikiran masyarakat.
Karena ketergantungan kita yang besar terhadap minyak kelapa sawit yang dapat ditemui di mana-mana, hampir sebagian dari 1.200 komentar di akun Facebook BBC Channel mempertanyakan mengenai halal dan haram minyak ulat Jerman. Mungkin pertanyaan dan masukan untuk mengecek kehalalannya adalah respons wajar masyarakat terhadap segala bentuk inovasi.
Saya pikir ini tak akan membawa dampak besar—mengingat tak akan makan waktu panjang untuk mengeceknya. Kecuali kalau masyarakat terus menerus menikmati berkubang di tengah informasi palsu dan ketertutupan pikir. Sepertinya takkan sulit membuat masyarakat mendukung menggunakan minyak ulat dan penemuan-penemuan kecil lain yang bisa berpengaruh besar.
Manusia sudah kehilangan banyak hal, itu keniscayaan yang sederhana. Di balik itu—seperti halnya minyak ulat Jerman—ada saja hal-hal sederhana yang bisa ditemukan dan dikembangkan dari kehilangan-kehilangan itu. Kita yang tak punya apa-apa berkewajiban untuk melanggengkan jalan perkembangan penemuan-penemuan baru.