Minggu, Oktober 13, 2024

Kewarganegaraan Arcandra Tahar dan Nasionalisme Kita

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
tahar
Menteri ESDM Arcandra Tahar (Foto Media Indonesia/PANCA SYURKANI)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Acandra Tahar akhirnya diberhentikan secara hormat oleh Presiden Joko Widodo dengan alasan adanya kewarganegaraan ganda. Pemberhentiannya diumumkan oleh Menteri Sekertaris Negara Pratikno, bukan Jokowi sendiri. Itu artinya usia Tahar menjadi menteri hanya 20 hari sejak dilantik. Sebuah catatan sejarah tersendiri, sebab sepanjang negeri ini merdeka, Tahar-lah menteri yang paling singkat waktunya.

Kewarganegaraan Tahar memang menyedot perhatian publik dalam beberapa hari terahir.
Wacana ini kemudian menarik perdebatan berbagai kalangan ihwal kelayakan Tahar menduduki jabatan menteri, hingga soal nasionalisme; ke-Indonesia-an sang menteri ikut dipertanyakan. Tak ketinggalan juga para elite partai politik ikut mengkritik pengangkatan Tahar sebagai menteri ESDM. Pertanyaannya yang mengemuka adalah layakkah Acandra Tahar diberhentikan?

Dua Postulat
Dulce er decorum est pro patria mori artinya hal yang mulia apabila seseorang gugur demi negerinya. Dalam konteks kenegaraan, postulat ini berkorelasi dengan sifat nasionalisme warga negara terhadap negaranya. Kecintaan kepada negara adalah sesuatu yang mutlak bahkan bila harus mempertaruhkan nyawa. Itu juga berarti bahwa dalam keadaan yang sangat sulit pun, seseorang seyogiyanya tidak meninggalkan kewarganegaraannya demi mencapai kebahagiaan di negara lain, dengan cara berpindah kewarganegaraan.

Karena itu, dalam pergaulan antara bangsa, setiap negara memiliki corak tersendiri dalam menentukan kewarganegaraan. Di Indonesia, misalnya, penentuan kewarganegaraan menggunakan prinsip Ius sanguinis, artinya kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan. Konsekuensinya, dalam menentukan kewarganegaraan harus memiliki darah atau keturunan Indonesia.

Jadi, meski seseorang lahir di Indonesia tetapi tidak memiliki keturunan atau darah Indonesia, orang tersebut tidak mutatis mutandis menjadi warga negara Indonesia (WNI). Lain halnya dengan di Amerika Serikat yang berpedoman pada prinsip Ius soli, yang berarti kewarganegaraan berdasarkan tanah kelahiran. Jadi, ketika orang Indonesia lahir di Amerika, otomatis ia akan memiliki kewarganegaraan Amerika.

Derifatif dari postulat di atas adalah amor patriae nostra lex, artinya cinta tanah air adalah hukum kita. Menurut sejarahnya postulat ini ditulis oleh Cicero yang menekankan bahwa nasionalisme kepada negara pada akhirnya menjadi suatu hukum dalam negara. Bertalian dengan itu dalam persepktif hukum pidana, ihwal kewarganegaraan menduduki posisi sangat strategis sebab berkaitan dengan kewenangan penuntutan ketika seseorang melakukan tindak pidana. Dalam hal ini dikenal asas nasionalitas aktif.

Nasionalitas aktif, asas personal menegaskan bahwa ketentuan pidana Indonesia berlaku bagi setiap WNI di mana pun mereka berada. Jadi, ibarat ransel seorang prajurit, hukum pidana selalu melekat di punggungnya (Jan Remmelink, 2003). Di sinilah arti pentingnya kewarganegaraan seseorang dalam persepektif hukum pidana.

Berdasarkan ulasan tersebut, lumrah belaka jika banyak pihak meragukan nasionalisme dan idealisme Tahar sebagai salah satu putra terbaik Indonesia. Sebab, dengan memiliki kewarganegaraan ganda, ia menunjukan kurangnya loyalitas dan nasionalisme pada negara. Pada titik ini memberhentikan Tahar adalah jalan terbaik bagi negara.

Aspek Yuridis
Kewarganegaraan di Indonesia pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada Pasal 4 peraturan a quo secara implisit mengakomodasi prinsip Ius sanguinis.

Terkait dengan kewarganegaraan ganda Acandra Tahar, ada tiga hal yang akan saya ulas. Pertama, kewarganegaraan ganda hanya dibolehkan hingga usia 18 tahun (Pasal 1 butir h). Hal ini berarti setelah usia 18 tahun seseorang harus memilih salah satunya, entah WNI atau warga negara asing (WNA). Hal ini penting sebab terkait dengan asas nasionalitas aktif dan pasif seperti yang telah saya ulas di atas.

Kewarganegaraan ganda (Indonesia-Amerika) Tahar seharusnya tidak perlu terjadi. Sebab, ia sebagai WNI berusia lebih dari 18 tahun telah mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara, termasuk konsekuensi jika berpindah kewarganegaraan atau setidak-tidaknya memiliki kewarganegaraan ganda. Jika pun ia saat ini telah mengembalikan paspor Amerika-nya, hal itu tidak berarti ia dengan mudah kembali menjadi WNI. Dia mesti melalui proses naturalisasi kembali dan terlebih dahulu harus tinggal di Indonesia paling singkat 5 tahun (Pasal 9).

Jadi, bila Tahar baru melepaskan kewarganegaraan asingnya setelah dilantik menjadi Menteri ESDM, hal itu tetaplah illegal.

Kedua, bertalian dengan administrasi pemerintahan. Jika benar Arcandra Tahar dalam kapasitasnya sebagai Menteri ESDM memiliki kewarganegaraan ganda, itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a disebutkan bahwa salah satu syarat pengangkatan Menteri adalah apabila seseorang memiliki kewarganegaraan Indonesia. Itu artinya peraturan a quo secara implisit menutup rapat kemungkinan WNA menjadi menteri di Indonesia.

Ketiga, behubungan dengan tindak pidana di bidang keimigrasian. Dalam hal ini Tahar telah melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pada Pasal 122 peraturan a quo menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian izin tinggal yang diberikan kepadanya diancam pidana penjara paling lama 5 tahun.

Ketika Tahar masuk ke dalam wilayah Indonesia dengan menggunakan paspor Amerika, itu berarti ia adalah WNA sehingga mesti diberi izin tinggal jika berada di Indonesia. Izin tinggalnya pun harus jelas. Sebab, bila saat ini ia telah menjadi menteri, mutlak dilakukan penyelidikan atas dugaan penyalahgunaan izin tinggal.

Sebagai penutup saya ingin mengatakan di sini bahwa jika Tahar memiliki kewarganegaraan ganda, hal itu sekali lagi mengindikasikan kalau Istana untuk kesekian kalinya off side alias teledor dalam mengambil keputusan dan ini tidak boleh lagi terulang.

Presiden Jokowi mesti mengevaluasi kementerian Sekreteriat Negara dan penasihatnya. Karena hal ini telah mempermalukan Indonesia di panggung dunia internasional. Di sisi lain, dapat kita katakan juga bahwa Tahar telah memberi informasi yang tidak benar kepada Presiden Jokowi hingga menduduki jabatan menteri selama 20 hari.

Semoga tulisan ini mampu menjernihkan kekaburan wacana kewarganegaraan sang mantan menteri, agar tak terulang di masa depan.

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.