Deep State adalah istilah yang cukup populer di perpolitikan Amerika. Kalau diterjemahkan secara sederhana artinya kurang lebih “Negara Bayangan”. Di Amerika, konon, pemerintah dan Kongres yang resmi dipilih rakyatnya tidak sepenuhnya berfungsi dan berkuasa menjalankan pemerintahan.
Ada beberapa kelompok kepentingan kuat yang membayangi pemerintah dan yang sesungguhnya menjalankan kekuasaan tanpa dapat dihalangi presiden. Mereka ini adalah pengusaha besar di Wall Street, penguasa komplek industri militer yang mendapat keuntungan besar dari perang dan sejenisnya, media massa yang dikuasai korporasi, serta lobi Israel yang terkenal sangat kuat mengendalikan dan menentukan siapa yang bisa duduk sebagai wakil rakyat di Kongres.
Belakangan juga menguatnya pengaruh dan meluasnya peranan badan intelijen Amerika CIA dalam mengarahkan kebijakan presiden Amerika. Setiap pagi kepala CIA adalah pejabat pertama yang menghadap presiden untuk memberi briefing intelijen. Sebagai contoh terkenal adalah invasi Bush ke Irak yang menghabiskan triliunan dolar dan mengakibatkan ribuan korban jiwa; ini hasil dari kebohongan CIA yang mengaku punya bukti Saddam memiliki senjata pemusnah massal.
Kelompok yang juga dimasukkan sebagai bagian dari Deep State adalah birokrasi yang mengimplementasikan kebijakan pemerintah. Birokrat umumnya tidak diganti ketika setiap kali ada presiden baru sebagai hasil pemilu. Mereka sangat berkuasa dan sulit dikendalikan karena telah puluhan tahun bercokol di jabatannya dan menguasai berbagai informasi serta jaringan pemerintahan.
Deep State disebut juga sebagai invisible government atau pemerintah yang tak tampak karena mereka kebanyakan tidak jelas siapa-siapanya, tidak bertanggung jawab kepada siapa pun, tidak dipilih rakyat, tidak transparan, dan tidak pernah melapor atau membuka informasi dan hasil kerjanya kepada publik.
Itulah antara lain katanya penyebab gagalnya Obama memenuhi janji-janji kampanyenya untuk melakukan reformasi total terhadap mesin politik yang cenderung korup di Washington DC. Jauh sebelumnya, Presiden Eisenhower telah memberi peringatan keras tentang bahaya kekuatan kelompok-kelompok kepentingan itu, khususnya kelompok industri militer.
Tentu saja tidak semua warga Amerika sependapat tentang adanya Deep State. Beberapa ilmuwan dan pemerhati politik mengatakan bahwa Deep State itu khayalan orang orang yang gemar pada teori konspirasi.
Jokowi Periode Kedua
Joko Widodo pada dasarnya bukanlah orang partai. Tidak seperti para pendahulunya, meski dia resminya anggota PDIP, dia tidak menguasai ataupun mengendalikan satu pun partai politik. Mayoritas rakyat memilihnya kembali setelah menilai positif hasil kerjanya pada lima tahun pertama.
Rakyat juga percaya Jokowi adalah figur yang bersih, jujur, dan pekerja keras, meski juga kita tahu bahwa dia telah keliru mengangkat sebagian pembantunya yang tidak tepat. Itu dilakukannya karena dia harus berkompromi dengan partai partai pendukungnya yang diharapkan akan tetap mengusungnya untuk periode kedua.
Pada periode kedua ini ekspektasi atas kinerja Jokowi meningkat karena kini dia sudah tidak lagi terlalu bergantung kepada partai politik. Rakyat pemilihnya berharap Jokowi akan lebih tegas dan berani mengambil keputusan. Namun, beberapa peristiwa menjelang pelantikannya yang kedua ini membuat pendukungnya waswas apakah Jokowi adalah figur yang cukup kuat dan berani untuk menahan tekanan berbagai kelompok kekuatan.
Dimulai dari keputusannya memilih calon wakil presiden pada detik-detik terakhir pencalonannya kembali yang dikabarkan karena tekanan dari luar, belakangan isu RUU KPK, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan pemilihan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK yang menghasilkan capim yang banyak disorot masyarakat, kepercayaan publik terhadap keteguhan Jokowi mulai meluncur ke bawah.
Ada kesan kuat pertahanan Jokowi telah jebol menghadapi kekuatan politik yang bersatu untuk mengepungnya. Ada penguasa bayangan yang sesungguhnya lebih berkuasa dari presiden? Di negeri kita sering disebut sebagai oligarki politik. Yakni, kumpulan partai politik yang ideologinya hanya mencari kekuasaan. Bersatu padu menyamakan langkah untuk kepentingan mereka bersama.
Kasus kebakaran hutan di berbagai daerah juga tampaknya sebagai akibat dari ulah pimpinan daerah dan birokrat korup yang tak melaksanakan instruksi presiden tetapi berkolusi dengan pengusaha. Bila hal ini terus berlanjut, unsur-unsur politisi oligarki dan birokrat itu juga bisa disebut sebagai Deep State atau Negara Bayangan yang berjalan sendiri di luar kendali pemerintah yang resmi.
Politisi oligarki, pimpinan daerah, birokrat, dan pengusaha besar sering kali punya kepentingan sama yang bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang bersih. Ujungnya adalah keuntungan materi. Ketika mereka bersatu, seorang presiden pun sendirian sulit melawannya tanpa dukungan rakyat.
Bila Jokowi tidak segera dan sejak awal unjuk gigi dan nyatakan sayalah yang mendapat mandat dari rakyat, gerombolan penekan itu akan makin kuat dan bersatu serta merajalela. Apakah itu Deep State atau bukan, kekuatan mereka tak boleh dibiarkan berkembang.
Kompromi politik tidak bisa dihindarkan dalam demokrasi. Namun, ada azas yang harus dipenuhi, yakni tetap menaruh kepentingan orang banyak di atas kepentingan kelompok atau perorangan. Harus ada kesepakatan bulat bahwa korupsi, di samping ekstremisme dan narkoba, adalah musuh utama bersama. Kedaulatan teritorial juga bukan bahan untuk kompromi.
Harus diingat bahwa presiden tak dapat dipecat oleh siapa pun. Memakzulkan memang mungkin tetapi dengan syarat yang cukup berat. Untuk seorang presiden yang tak punya partai, sebaiknya Jokowi lebih banyak mendengar rakyat pemilihnya daripada aspirasi partai atau kelompok kekuasaan. Bila presiden teguh dan tegas, kita yakin ujungnya para benalu akan menyesuaikan diri dan rakyat akan diuntungkan.
Bacaan terkait
Jokowi Presiden Tanpa Visi dan Inkonsisten
Oligarki, Politik Populisme, dan Orang Baik