Selasa, Oktober 8, 2024

Menjadi Indonesia Pasca-1965

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Desain oleh Komunal Stensil.
Desain oleh Komunal Stensil.

Tak kurang dari dua hari, kita disajikan dengan dua berita yang mudah diduga. Pertama, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menyatakan persoalan 1965 akan diselesaikan secara non-Yudisial. Kedua, sebuah dokumenter tentang Pulau Buru—dan pelanggaran HAM yang berlangsung di dalam penjara politiknya, tentu—tak jadi ditayangkan secara publik. Ormas yang secara klise selalu mengatasnamakan agama mengancam penayangan film Pulau Buru Tanah Air Beta.

Tak sampai sebulan lalu, apabila kita mau menambah daftar berita yang mudah diduga ini, sebuah festival bertajuk Belok Kiri Fest dilarang diselenggarakan. Festival bertajuk “Melawan Propaganda Orde Baru” ini, katanya, meresahkan masyarakat.

Kini, mengapa ia tak sulit diduga? Apakah benar kita memang berada di tengah-tengah masyarakat yang mudah resah?

Saya tak bisa menjawab pertanyaan kedua—kita membutuhkan jajak pendapat untuk ini. Tetapi, saya bisa menjawab, kita nampaknya masih berada dalam rezim yang tak berbeda dengan rezim masa lalu. Kewibawaan para penyelenggara negara nampaknya masih dipertaruhkan di atas narasi tentang komunisme yang ditulis di tengah-tengah—dan untuk membenarkan—kekerasan terhadapnya.

Faktanya, tempo hari tidak ada pejabat publik yang bisa meminta maaf terhadap keluarga korban pembantaian 1965-1966. Satu-dua pejabat—perkenankan saya berpikiran positif—semestinya ada yang memiliki niat melakukannya. Sulit rasanya membayangkan tidak ada yang tersayat melihat kejadian-kejadian getir yang berkelebatan enteng pada masa itu. Para ayah digelandang pergi dari keluarganya dan dihabisi tak jauh dari mereka. Para algojo, bagaikan tukang daging, mencari cara paling cepat dan tak mengotori diri untuk menjagal terdakwa komunis.

Sayang, meminta maaf terhadap keluarga korban adalah tindakan yang dapat dengan mudah dipelesetkan menjadi meminta maaf terhadap PKI. Dan kalau ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari pemilu ke pemilu, tak ada yang lebih fatal bagi seorang pejabat publik selain nampak lekat dengan komunisme.

Jokowi sendiri, Presiden terhormat kita, selamat dan tak kehilangan dukungan politik yang tengah genting dibutuhkannya karena, akhirnya, ia bukan hanya tak meminta maaf tetapi juga menampik pernah terbersitnya rencana tersebut dengan dingin.

Namun, mungkin kita tak bisa serta-merta mengatakan semua hal ini didorong stigma buta. Ia, barangkali, lebih tepat lagi dikatakan merupakan bagian dari proyek strategis pembangunan identitas Indonesia yang masih terus berlangsung sampai saat ini. Identitas, pasalnya, bukanlah sesuatu yang dibangun dengan menentukan dan memilih siapa diri sang ego sendiri. Sejarah dan darah yang terkucur di setiap selukannya merupakan kesaksian bahwa identitas jauh lebih mudah dan berpeluang berhasil dibangun melalui penafian terhadap yang lain.

Dan apakah identitas Indonesia pasca-1965? Dua kata. “Bukan PKI.” Kita telah melihat ia mengejewantah bukan hanya dalam sembarang penafian, melainkan satu proyek penafian yang dilangsungkan dalam skala yang tak pernah terjadi di Indonesia sebelum maupun sesudahnya. Pada titik terendahnya, ia menjadi kekerasan yang sangat buruk rupa untuk meniadakan yang lain. Dan pada titik terbodohnya, ia menjadi kebencian yang tak didasarkan pada apa pun selain penolakan fakta demi penolakan fakta.

Di luar proyek penafian masif ini, saya ragu ada momen lain di mana satu antero Indonesia—bahkan di tapal-tapal batas di mana pertanyaan apakah mereka merasakan kue pembangunan tak etis ditanyakan—merasakan definisi menjadi Indonesia dengan amat nyata. Kita sudah tahu, tentu saja, proyek ini ditunaikan melalui buku-buku sejarah dan film yang membosankan sekaligus mengerikan itu. Namun, perkenankan saya membawakan dua kasus lain yang belum sesering kasus di atas dijumpai.

Penelitian Jess Melvin di Aceh mengungkapkan, isi telegram yang diperoleh komando daerah militer di Aceh pada malam 1 Oktober 1965 adalah instruksi memusnahkan gerakan anti-revolusi 30 September sampai ke akar-akarnya. Selanjutnya, pada 4 Oktober instruksi dari Jakarta dikirimkan kepada pemerintahan sipil di Aceh bahwa wajib halnya bagi orang-orang untuk membantu dalam memusnahkan gerakan 30 September beserta antek-anteknya.

Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa, pimpinan kodam bersangkutan, berinisiatif lebih jauh dengan mendirikan kamar perang. Satu dokumen internal mencatat Djuarsa menjelaskan bahwa tujuannya mendirikan kamar perang adalah memuluskan perang non-konvensional dalam konsep pertempuran teritorial.

Apa yang lantas terjadi pada hari-hari itu? Organisasi massa, organ mahasiswa, maupun massa acak ambil andil membakar rumah-rumah dan membunuh anggota PKI di tempat atau menggelandangnya ke tempat lain untuk kemudian dihabisi juga. Militer, selain mengawalnya, setia memantaunya dan mencatatnya dalam apa yang disebut Melvin sebagai “military death map.” Peta kematian militer. Peta ini menggambarkan denah Aceh dan distrik-distriknya serta jumlah kematian PKI yang berlangsung di setiap distrik.

Kita nampaknya akan menemukan banyak hal mencengangkan bila membaca disertasi Melvin lebih seksama. Namun, apa yang semestinya paling mencengangkan adalah betapa ampuhnya dalih pemusnahan terhadap sang liyan, lebih ketimbang apa pun, menggugah pihak-pihak yang sulit disatukan bergerak secara terorganisir, rapi, serempak. Peperangan, bisa kita pelajari dari kasus ini, rupanya merupakan idiom yang sangat memotivasi!

Pengalaman keindonesiaan orang-orang Iban yang bermukim di perbatasan Sarawak-Kalimantan menuturkan hal yang sama. Iwan Pirous menemukan mereka mengenal Indonesia pertama kalinya melalui kebijakan konfrontasi Sukarno terhadap Malaysia. Mereka sebisa mungkin menghindarinya karena tak mau memerangi kerabatnya sendiri yang tinggal di Sarawak. Namun, mereka tak bisa memilih lagi ketika militer mewajibkan mereka untuk turut serta dalam pemberangusan komunis. Mereka rentan dituduh simpatisan PKI apabila tidak bergabung menjadi pasukan penyapu.

Dalam dua pengalaman pertamanya menjadi Indonesia, orang-orang Iban harus memerangi saudara-saudaranya sendiri. Dan, pada momen-momen klimatiknya, mereka harus mengkonfrontasi para saudaranya dengan satu instruksi di benaknya. “Bunuh setiap komunis yang kalian temukan.”

Dan kini, kita semua yang saat ini masih hidup berkat dipaksa berkomitmen “bukan PKI” nampaknya belum mempunyai alasan yang kuat untuk menanggalkan proyek pembangunan keindonesiaan yang mengandalkan kekerasan tersebut. Banyak pihak masih terus menikmati imajinasi bahwa dirinya bukanlah PKI yang licik, sadis, tidak beragama dengan jari yang siap tertunjuk kepada siapa-siapa yang diduganya komunis.

Banyak pihak masih belum mempunyai cara untuk menjadi Indonesia selain dengan memerangi yang lain.

Kolom Terkait:

1965 dan Demokrasi Kita

Menunggu Kedewasaan Pemerintah Tentang 65

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.