Sabtu, November 23, 2024

Jokowi dan Kontradiksi Akhir Tahun

Hendra Try Ardianto
Hendra Try Ardianto
Pelajar politik, fokus dalam kajian ekologi-agraria. Aktif di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA).
- Advertisement -
Perjuangan Warga Kendeng - Warga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) bersama elemen mahasiswa menunggu hasil sidang gugatan izin lingkungan pembangunan pabrik semen di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Kamis (16/4). Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Perjuangan Warga Kendeng – Warga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) bersama elemen mahasiswa menunggu hasil sidang gugatan izin lingkungan pembangunan pabrik semen di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Kamis (16/4). Kompas/P Raditya Mahendra Yasa

Penutup tahun 2015 ini, buat saya, sedikit agak menyebalkan. Di waktu yang hampir bersamaan, terjadi dua kejadian yang sungguh kontradiktif. Mungkin bagi sebagian kalangan tak ada yang melihatnya sebagai kontradiksi, namun bagi saya ini sungguh kontradiksi yang menyesakkan.

Dua kejadian itu adalah, pertama, adanya petisi dari 241 tokoh (sebenarnya 258 tokoh,-pen), dari kalangan akademisi, peneliti, aktivis, tokoh agama dan masyarakat adat yang mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengubah paradigma pembangunan yang lebih mengedepankan ekologi dan bervisi keadilan (Kompas, 30 Desember 2015). Petisi ini memaparkan fakta bahwa pembangunan Indonesia hingga detik ini sangat tidak sensitif terhadap keberlangsungan lingkungan dan menghancurkan ruang hidup rakyat secara luas.

Para profesor, doktor, kyai, romo, dan para aktivis yang terlibat dalam petisi ini memberikan satu contoh yang mudah dicerna, yakni: bagaimana mungkin di Pulau Jawa saja, kurang dari satu dekade,  telah terjadi banjir rencana pembangunan pabrik semen. Padahal, di negara-negara lain, China misalkan, jenis industri semen inilah yang paling banyak ditutup karena menjadi penyumbang gas rumah kaca paling besar dibanding industri lainnya. Menjadi semakin aneh lagi karena selama lima tahun terakhir Indonesia selalu mengalami surplus produksi semen.

Bak cendawan di musim hujan, menjamurnya rencana pembangunan pabrik-pabrik semen menjadi ancaman nyata bagi kawasan-kawasan karst  yang selama ini berfungsi sebagai penyangga air. Sebab, di kawasan karst biasanya batu gamping berada, yang tentu saja menjadi daya tarik bagi para investor tambang semen.

Fakta banyaknya rencana pabrik semen hanya satu nukilan saja, masih banyak fakta lain yang mencengangkan yang disampaikan dua ratusan tokoh tersebut. Kesimpulan mereka, Jokowi wajib mengoreksi paradigma pembangunan yang selama ini dipakai, yang efeknya berantai pada kerusakan alam yang semakin menggila dari hari ke hari.

Bertepatan dengan petisi tersebut, Jokowi yang berada di Papua seakan-akan memberi jawaban atas isi petisi. Inilah yang saya sebut kejadian kedua yang sangat kontradiktif. Acara peresmian kapsul waktu yang memuat 7 mimpi Jokowi tentang Indonesia 70 tahun mendatang, seolah-olah memberi jawaban, tepatnya mungkin: penolakan atas isi petisi para tokoh di atas.

Menurut Jakowi, “Visi (Indonesia) ke depan adalah kompetisi” (detik.com, 30 Desember 2015). Lebih rijid tercermin dalam isi mimpi-mimpinya, di mana kata kunci yang keluar adalah sumber daya manusia, infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi. Seorang kawan berkomentar, ini adalah visi pembangunan kapitalistik sepenuhnya.

Apa yang salah dengan visi semacam itu mungkin sebagian kalangan akan melihatnya baik-baik saja. Sebab isinya memang baik, hendak mengangkat martabat Indonesia di dunia pada umumnya, dan pembangunan di tanah Papua pada khususnya. Ya, sekilas memang begitu. Namun, bagi yang sudah akrab dengan teori-teori pembangunan, paradigma pembangunan Jokowi berkiblat pada paham neoliberal, yang bertonggak pada kompetisi pasar bebas.

Pengejaran pertumbuhan ekonomi misalkan, jelas penanda kuat dalam nalar ini. Rumus pertumbuhan ekonomi adalah perbandingan Gross National Product (GNP) tahun yang sedang berjalan dengan tahun sebelumnya. Artinya apa? Untuk mencapai pertumbuhan nasional yang tinggi, sebuah negara harus menggenjot produksi sebesar-besarnya. Tidak aneh jika rezim ini menghendaki munculnya banyak industri di berbagai sektor.

Persis dititik ini bisa diprediksi, ke depan, di Papua (dan juga Indonesia) akan digenjot pula banyak industri, entah itu sektor pertambangan, perkebunan, pariwisata, dan segala proyek infrastruktur yang menyokong kebutuhan industri tersebut. Melalui hadirnya industri, paradigma ini membayangkan, kesejahteraan akan dengan sendirinya hadir melalui efek menetes (trickle down effect).

- Advertisement -

Inilah mengapa sekarang di Papua tiba-tiba banyak korporasi skala besar membuka berbagai proyek gigantik, dari pertanian padi jutaan hektare, juga produksi tanaman sagu skala besar. Semua itu bergerak dalam nalar pembangunan yang diamini dan dijadikan visi Jokowi untuk Indonesia hari ini.

Dari dua kejadian di atas, kontradiksi terjadi ketika 258 tokoh yang menghendaki paradigma pembangunan yang menjunjung keberlangsungan ekologi sekaligus berkeadilan bagi manusia, mendapat kenyataan bahwa Jokowi lebih memilih paradigma neoliberal untuk visi pembangunannya. Padahal, apa gunanya pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi, namun dibarengi dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi pula. Persoalan ketimpangan ini persis terjadi di Indonesia pasca-Orde Baru, sebagaimana disinggung dengan detail Prof. Edward Aspinall dalam tulisannya di laman Kyoto Review baru-baru ini.

Apakah 70 tahun lagi Indonesia bisa menjadi negara sejahtera sebagaimana mimpi Jokowi? Tentu saja iya, kesejahteraan akan dinikmati oleh sebagian kecil kaum kaya, namun sebagian besar kaum papa akan jatuh terperosok dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam. Mengapa?

Berkaca pada corak pembangunan hari ini saja, industrialisasi di sektor tambang dan perkebunan telah berhasil mengalihkan jutaan hektare lahan ke sektor privat, jutaan manusia Indonesia kehilangan ruang hidupnya, dan kehancuran lingkungan di sana-sini.

Jika ini yang terjadi, saya berdoa semoga mimpi Jokowi tentang Indonesia yang kompetitif di pergaulan global tidak terkabul. Sebab, mimpi itu pasti berdiri di atas jutaan darah rakyat Indonesia sendiri.

Hendra Try Ardianto
Hendra Try Ardianto
Pelajar politik, fokus dalam kajian ekologi-agraria. Aktif di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.