Di tengah meredanya konflik Suriah dan proses perdamaian yang akan kembali dimulai, Israel melakukan serangan udara ofensif terhadap sebuah target di kota Masyaf, Suriah Tengah. Israel mengklaim target tersebut merupakan sumber ancaman terhadap keamanan wilayahnya. Target tersebut disinyalir merupakan pabrik senjata yang digunakan untuk memproduksi senjata guna mensuplai para pejuang Hizbullah di Suriah.
Selama sekitar enam tahun perang Suriah, Israel mengambil posisi menjaga jarak sambil mengamati secara seksama perkembangan yang terjadi pada tetangganya sebelah utara itu. Namun, Israel sesungguhnya tak sepenuhnya bersikap sebagai “pengamat” yang pasif. Negara itu sesekali aktif dan mengambil tindakan keras.
Negara kecil yang berada dalam kepungan lawan-lawannya itu tercatat telah berkali-kali melakukan serangan udara ofensif terhadap berbagai sasaran di Suriah. Tahun ini saja, berita tentang serangan udara Israel ke Suriah telah terjadi sekitar empat kali, setidaknya dari pemberitaan-pemberitaan media Timur Tengah. Itu menunjukkan bahwa Israel sangat sensitif dengan perkembangan yang terjadi di Suriah.
Serangan Pendahuluan
Israel adalah negara yang sejak kelahirannya sangat sensitif dengan isu keamanan. Ini bisa dimengerti sebab posisi negara itu di tengah-tengah lawan. Pendirian negara itu telah menjadi masalah serius bagi negara-negara sekitar. Bahkan kelahirannya telah mengobarkan perang berkali-kali.
Israel juga memiliki wilayah yang sangat sempit jika dibandingkan dengan negara-negara sekitarnya, kecuali Libanon. Oleh karena itu, doktrin keamanan Israel selalu mendorong agar perang tak terjadi di dalam wilayahnya. Mereka selalu sekuat tenaga mendorong agar perang terjadi di luar wilayahnya.
Ini pula salah satu penjelasan mengapa Israel, yang mengklaim sebagai negara demokratis, terus menerus mempertahankan cengkeramannya terhadap Tepi Barat Palestina. Sebab, wilayah ini bisa menjadi bamper bagi kemanan Israel, terutama dalam situasi darurat. Israel juga mendoktrinkan preemptive attack (serangan pendahuluan) terhadap sumber-sumber ancaman. Negara ini berusaha menyerang siapa saja dan di mana saja sumber ancaman itu sebelum mereka diserang.
Karena itu, kekuatan udara merupakan pilar penting bagi pertahanan negara ini. Kekuatan udara semacam itulah yang pernah menyapu pesawat-pesawat Mesir sebelum melakukan serangan ofensif dalam perang Enam Hari tahun 1967.
Beberapa serangan Israel ke sejumlah target di Suriah yang dalam situasi perang multifaksi dan multidimensi juga diklaim Israel dalam kerangka itu. Mereka merasa terancam dengan beberapa perkembangan di Suriah. Kehancuran dan tragedi kemanusiaan di Suriah sepertinya tak mengusik perasaan pemerintah negara itu. Namun ada beberapa perkembangan baru di Suriah yang sangat mungkin dipersepsi sebagai sumber ancaman bagi Israel.
Pertama, perang Suriah secara de facto hampir bisa dikatakan sudah berakhir. Hasil perang Suriah sudah jelas: semuanya hancur. Namun, dari sisi tujuan politik dari perang itu, kubu Bashar Assad yang didukung Rusia, Iran, Irak, Hizbullah, dan jaringan Syiah lain jelas menang. Assad kemungkinan besar akan bertahan.
Negara-negara pendukung kelompok oposisi yang semula bersikeras menjatuhkan Assad terpaksa menerima kenyataan. Arab Saudi, Turki, dan Qatar tak lagi bersuara lantang untuk menjatuhkan Assad. Assad hampir bisa dipastikan masih bertahan di Suriah untuk beberapa waktu mendatang. Kerangka perdamaian apa pun di Suriah yang menyingkirkan Assad setelah perang sepertinya tak akan berhasil.
Bagi Israel, Assad ataupun bukan Assad sepertinya bukan persoalan penting. Benjamin Netanyahu dalam pertemuannya dengan Putin beberapa waktu lalu juga menyampaikan hal itu. Namun, pengaruh Iran yang semakin kuat di Suriah dan semakin besarnya jaringan Hizbullah telah meningkatkan kecemasan yang luar biasa bagi Israel. Apalagi, slogan-slogan untuk menyerang Israel juga kerap terdengar sebagai bumbu-bumbu pidato para pemimpin Iran dan Hizbullah.
Kedua, oposisi dukungan Saudi, Turki, dan Qatar semakin lemah untuk mengimbangi pengaruh Iran dan Hizbullah di lapangan. Beberapa negara itu sepertinya sudah menerima kenyataan kekalahan mereka di Suriah. Mereka bahkan terkesan telah meninggalkan kelompok-kelompok pejuang oposisi itu. Bahkan kekuatan garis keras yang selama ini mengimbangi Iran dan Hizbullah di lapangan Suriah juga semakin tersudut. Fathu al-Sham yang merupakan metamorfosis al-Nusrah dan juga kelompok ISIS juga terus terdesak.
Yang mengkhawatirkan Israel adalah, situasi baru ini memberi peluang Iran dan Hizbullah semakin leluasa membangun basis kekuatan di wilayah Suriah sebagai landasan untuk menyerang Israel. Perang Suriah bukan hanya medan latihan tempur bagi pejuang Hizbullah tapi juga sarana untuk merekrut dan melatih anggota-anggota baru dalam jumlah besar dan memperkuat logistik perang. Israel tentu mengamati secara sangat seksama mengenai kemungkinan pengembangan senjata non-konvensional di Suriah.
Berdasar kecemasan itulah, Israel kembali melakukan serangan kilat ke wilayah Suriah. Negara ini sepertinya siap melakukan apa pun untuk menghancurkan sumber ancaman sedini mungkin tanpa mempedulikan masalah kedaulatan negara lain maupun akibat-akibat lain yang ditimbulkan di Timur Tengah.
Kolom terkait:
Kita dan Suriah: Tidak Trump, Tidak Putin, tapi Kita
Tragedi Suriah dan Amnesia Dunia