Sabtu, April 20, 2024

Jokowi dan Politik-Ekonomi Impor Beras       

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

Secara teknis, impor merupakan kegiatan ekonomi biasa. Dia tak berbeda dengan aktivitas ekspor. Dalam hubungan perdagangan dunia, impor dan ekspor adalah aktivitas lumrah. Ekspor dilakukan untuk mendapatkan devisa. Sebaliknya, impor menjadi bagian dari upaya untuk memenuhi barang yang tidak bisa diproduksi sendiri. Impor, demikian juga ekspor, merupakan aktivitas yang netral. Tidak ada muatan negatif dan sejenisnya.

Akan tetapi, di Indonesia aktivitas impor seringkali menjadi pelik dan rumit. Itu terjadi terutama pada impor komoditas yang kental muatan politik seperti beras. Seperti umumnya di negara-negara Asia, di Indonesia beras merupakan komoditas pendorong utama inflasi. Inflasi yang tinggi membuat kesejahteraan warga, terutama yang miskin, bakal tergerus. Inflasi yang tinggi membuat jumlah kemiskinan bertambah. Inflasi juga menyebabkan naiknya suku bunga, naiknya suku bunga akan menghancurkan sektor riil.

Partisipasi konsumsi beras di Indonesia saat ini hampir sempurna: semua perut warga dari Sabang sampai Serui tergantung pada beras. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dari pangan lain. Seluruh bagian beras bisa dimakan, kandungan energinya 360 kalori per 100 gr, dan protein 6,8 gr per 100 gr. Pangsa beras pada konsumsi energi per kapita (intake) mencapai 54,3%, dan 40% sumber protein dipenuhi dari beras.

Dari sisi produsen, usaha tani padi melibatkan 14,147 juta rumah tangga, tertinggi di antara komoditas penting lainnya. Makanya, di Indonesia—dan sebagian besar negara di Asia—berkepentingan dengan beras, tidak saja sebagai komoditas upah (wage goods), tapi juga komoditas politik (political goods). Pendek kata, beras merupakan komoditas strategis karena menjadi penopang tripel ketahanan: pangan, ekonomi, dan nasional.

Dalam konteks seperti ini mudah dipahami apabila keputusan impor 0,5 juta ton beras dari Vietnam dan Thailand memantik kontroversi. Pemerintah, seperti dijelaskan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, tidak ingin mengambil risiko harga beras terus naik lantaran pasokan terbatas. Operasi pasar beras terbukti belum efektif menekan harga. Padahal, operasi pasar diperluas dari 1.100 titik pada 2017 menjadi 1.800 pada Januari 2018.

Bagi yang kontra, impor beras merupakan pengkhianatan pada petani. Selama ini petani didorong berproduksi tinggi dengan disuntik subsidi pupuk dan benih, bantuan alat dan mesin pertanian. Saat produksi tinggi, seperti diyakini Kementerian Pertanian bahwa produksi padi 2017 mencapai 81,3 juta ton gabah kering giling atau setara 46,3 juta ton beras, kok impor beras. Dengan konsumsi 114,12 kg/kapita/tahun, total konsumsi beras 260 juta penduduk setara 29,7 juta ton beras. Ada surplus 16,6 juta ton beras.

Impor juga menampar muka Presiden Jokowi. Dengan mengusung Nawa Cita, Presiden berulangkali berikrar bahwa impor pangan, termasuk beras, harus dihentikan. Keputusan impor beras bukan saja bagai menjilat ludah sendiri, tapi juga bisa dimaknai menelikung petani. Di tahun politik, terutama menjelang Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019, langkah ini bakal menggerus popularitas dan elektabilitas Presiden.

Lebih dari itu, bahkan ada yang mencurigai impor beras merupakan cara mudah untuk mengais tabungan dana segar buat modal bertarung di tahun politik. Kecurigaan ini tidak bisa dilepaskan dari tingginya disparitas harga beras di pasar dunia dengan di pasar domestik. Menurut data FAO, sepanjang 2017 harga beras Vietnam sekitar US$0,31/kg (setara Rp 4.100/kg dengan kurs Rp 13.225 per dolar AS), dan beras Thailand US$0,34/kg (Rp 4.496/kg). Sementara beras dalam negeri senilai US$0,79/kg (Rp 10.447/kg).

Risiko semacam ini tidak akan terjadi apabila keputusan impor dibuat jauh-jauh hari. Memutuskan impor saat ini, selain amat terlambat, juga berisiko besar apabila tidak dilakukan mitigasi secara hati-hati. Seperti direncanakan, beras impor bakal datang akhir Januari. Di sisi lain, Kementerian Pertanian memastikan pada Februari 2018 bakal panen raya. Kalau beras impor disalurkan ke pasar amat potensial menekan harga lebih dalam. Sebaliknya, jika beras tidak didistribusikan ke pasar, pertanyaannya: buat apa impor?

Dugaan saya, lewat impor ini pemerintah hendak mengirimkan sinyal ke pasar bahwa negara masih punya kendali terhadap pasar beras. Sinyal ini penting agar tidak ada pihak-pihak, terutama pelaku yang dominan, mengail untung di air keruh.

Satu pelajaran penting dari kontroversi kali ini: perlu data sahih sebagai basis pengambilan keputusan. Jika data produksi padi benar, tentu tidak perlu impor. Sebaliknya, jika data produksi tidak benar, kebijakan yang diambil jadi tidak benar. Perdebatan pun jadi tidak bermutu.

Kolom terkait:

Muslihat Liberalisasi Pasar Beras

Beras Maknyuss dan Maknyusnya Nasi dalam Kosmologi Jawa

Jokowi dan Pasar Beras

Jokowi Ingkar Janji Ihwal Impor Beras

Menikam Papua dengan Beras

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.