Ibu Megawati, dalam sebuah acara, mengeluarkan pernyataan yang oleh sebagian kalangan dianggap kontroversial. Megawati dianggap nyinyir atas kecenderungan umum ibu-ibu yang lebih suka pengajian.
Pernyataan ini bagi sebagian kalangan dianggap sebagai penghinaan atas kegiatan ibu-ibu tersebut, apalagi itu terkait dengan pengajian atau kegiatan keagamaan. Bahkan, ada sekelompok masyarakat yaitu Koalisi Pegiat HAM Yogyakarta, ingin melaporkan pernyataan Ibu Megawati tersebut.
Memang, mereka yang tidak suka pada pernyataan Megawati bisa saja melihatnya dari perspektif apa saja, terutama dua hal penting bagi mereka, yaitu ibu-ibu (perempuan) dan pengajian, kegiatan keagamaan.
Namun bila kita mau melihat persoalan ini secara jujur, maka kita harus memahaminya dalam konteks yang lebih utuh, bukan hanya apa yang kalimat penggalannya saja, namun keseluruhannya. Dalam konteks apa misalnya Ibu Mega mengatakan hal tersebut.
Hal lain, secara umum, sebenarnya, pernyataan Ibu Mega bisa anggap sebagai kritik internal; kritik yang dilakukan oleh tokoh perempuan untuk dirinya dan untuk kaumnya, para pengikut Ibu Mega.
Selama ini memang jarang tokoh politik yang melakukan kritik atas kegiataan keagamaan masyarakat yang tidak seimbang. Mereka takut jika mereka melakukan kritik kegiatan keagamaan mereka takut dianggap tidak suka atau bahkan memusuhi agama. Para politisi kita khawatir jika mereka melakukan kritik maka mereka akan kehilangan dukungan dari mereka yang dikritiknya.
Mungkin dari sisi elektoral, sikap politisi seperti bisa dipahami. Namun, sebagai politisi, jika mereka melihat kegiatan keagamaan yang tidak produktif, tidak seimbang, mengarah kepada kebencian kepada pihak lain di luar mereka, dlsb, maka mereka harus bersuara.
Dulu kita punya tokoh sebesar Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafii Maarif, serta yang tokoh besar lainnya, yang berani memberikan kritik pada pemikiran dan perilaku keagamaan yang jumud, tertutup, fanatik, tidak produktif, dan lain-lain. Kini, tokoh-tokoh itu sudah berpulang.
Keberadaan tokoh-tokoh seperti itu sangat penting untuk Indonesia karena Indonesia adalah negara bersama dan negara yang butuh keseimbangan kehidupan sosial, politik dan lainnya dalam kehidupan keagamaan.
Katakanlah, jika mereka mengritik perilaku keagamaan, maka yang dikritik itu bukan agamanya, namun bagaimana orang mengamalkan agamanya. Amalan keagamaan ini tidak selalu sesuai dengan tujuan dari agama itu sendiri. Orang bisa mengamalkan agama namun amalan yang ditafsirkan dari agama itu bisa bertentangan dengan tujuan agama itu sendiri. Katakanlah para teroris yang mengamalkan tindakan teror dengan membuat kekerasan dan membunuh orang lain bahkan sesama pemeluk agama. Padahal tujuan agama adalah memelihara kehidupan (hifz al-nafs). Dengan alasan apa pun membunuh tidak diperbolehkan. Ini adalah contoh.
Kembali lagi ke soal Ibu Mega. Saya melihat bahwa apa yang sudah dikeluarkan dalam pernyataan Ibu Mega ini adalah sebuah kritik pada perilaku keagamaan ibu-ibu yang penuh dengan kegiatan majlis taklim, padahal ada hal utama yang mengancam anak-anak kita, anak bangsa ini.
Kita tahu bahwa kasus stunting, yang menjadi konteks, pernyataan Ibu Mega, itu memang masih relatif tinggi di Indonesia. Menurut laporan media provinsi-provinsi ini menunjukkan prevalensi stunting ini cukup mendebarkan. Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 37,8 persen, Sumatera Barat mencapai 33,8 persen, Aceh mencapai 33,2 persen, Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 31,4 persen, Sulawesi Tenggara mencapai 30,2 persen, Kalimantan Selatan mencapai 30 persen, dan Sulawesi Barat mencapai 29,8 persen.
Sementara lima provinsi terbesar adalah Jawa Barat yang memiliki sebanyak 971.792 kasus, Jawa Timur yang memiliki 651.708 kasus, Jawa Tengah yang memiliki 508.618 kasus, Sumatera Utara yang memiliki 347.437 kasus, Banten yang memiliki 265.158 kasus.
Baik angka prevalensi dan kasus di atas bukanlah persoalan sederhana. Dan Ibu Mega mengingatkan itu. Mungkin karena banyak melihat situasi di sekitarnya dan maupun di tempat yang mereka kunjungi, kenapa begitu banyak ibu-ibu yang mengisi kegiatan mereka dengan ke majlis taklim, sementara mungkin ada hal urgent lain yang bisa dilakukan yakni memerangi stunting.
Di sini, saya setuju atas pernyataan Wamenag, Bapak Zainut Tawhid, yang memahami pernyataan ibu Megawati dalam rangka keseimbangan dalam menjalani kehidupan. Ibu Mega melihat tingkat pengajian ibu-ibu sudah terlalu tinggi, sementara kegiatan yang sama pentingnya juga bisa dilakukan.
Mencurahkan kegiatan untuk mengentaskan anak-anak kita dari bahaya stunting adalah hal yang mulia juga. Bahkan, kegiatan ini adalah untuk menjaga dan melestarikan kehidupan manusia. Kegiatan mengentaskan stunting anak bahkan memenuhi dua kriteria tujuan syariah, pertama, menjaga kehidupan manusia. Anak adalah manusia sama seperti bapak dan ibunya. Kedua, menjaga generasi (hifz al-nasl). Di sini menjaga anak adalah menjaga generasi penerus kita. Tanpa anak kita tidak akan punya penerus. Karenanya, kesehatan dan kebaikan (well-being) mereka harus senantiasa kita jaga.
Jika kita hadap-hadapkan dua hal ini, lebih penting mana banyak ikut majlis taklim atau ikut kegiatan pengentasan stunting?
Dua-duanya kegiatan yang penting. Ikut majlis taklim adalah mencari ilmu dan ikut pengentasan stunting adalah menyelamatkan kehidupan dan generasi.
Jika yang dimaksudkan oleh Ibu Mega seperti itu, maka pernyataan soal ibu-ibu yang suka majlis taklim ini adalah internal critique. Tadi saya katakana, tidak semua orang berani mengeluarkan pernyataan seperti yang dilakukan oleh Ibu Mega karena perkara yang menyangkut keagamaan itu sangat sensitif.
Namun lagi-lagi, bagi mereka yang tidak mau melihat masalah ini pada substansinya, maka pernyataan Ibu Mega dianggap oleh mereka sebagai hal yang merendahkan aktivitas keagamaan ibu-ibu. Cara pandang seperti ini selalu ada di mana-mana, untuk masalah apa saja, dan kapan saja.
Saya melihat pernyataan Ibu Mega ini memang cukup pedas, namun penting buat kita semua. Kita tahu bahwa kehidupan keagamaan kita, bagi sebagian, sudah bisa dilihat pada level overdosis agama. Semua hal dianggap dan dikaitkan dengan agama. Kita perlu orang yang mengingatkan masalah ini agar kehidupan kita seimbang.
Sebagai catatan, keseimbangan itu hal yang perlu di dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Aktif di kegiatan agama seperti majlis taklim itu bagus, namun jangan sampai itu melupakan hal penting lainnya, yakni ikut menjaga kehidupan dan will-being anak-anak. Bukankah menjaga kehidupan dan generasi itu bagian dari maqasid al-shariah?