Minggu, Oktober 13, 2024

Tanpa NU, Indonesia Mau Menjadi Apa?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Semua kita tahu bahwa organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, baru saja menyelenggarakan peringatan Satu Abad usia organisasi ini menurut kalender hijriyah.

Untuk bertahan selama ini, pasti tidak mudah. Tidak hanya itu untuk terus menjadi besar dan berkembang itu hal yang luar biasa bagi NU. Saya melihat daya tahan dan daya besar NU tidak mendapatkan padanannya dari organisasi Islam lain di seluruh penjuru dunia.

Jika tidak percaya, coba cari tandingannya! Kita mengenal misalnya organisasi Islam yang bernama Ikhwanul Muslimin. Organisasi ini didirikan oleh Hasan al-Banna. Organisasi ini memang didirikan 2 tahun setelah pendirian NU. Dalam tahun masehi, NU berdiri pada tahun 1926 dan Ikhwanul Muslimin berdiri pada tahun 1928.

Ikhwanul Muslimin yang berdiri dalam konteks Mesir dan bersifat pan-Islamis ini memang sedari awal memiliki tujuan politik. Dengan latarbelakang Mesir dan negara-negara Muslim di Timur Tengah, Ikhwanul Muslimin ingin menjadikan Islam sebagai sumber solusi (al-Islam huwa al-hall). Ikhwanul Muslimin ingin menjadikan Islam sebagai tatanan politik.

Organisasi ini berkembang dan mempengaruhi banyak gerakan dan organisasi politik di banyak belahan negara Islam, tak terkecuali di Indonesia, Malaysia, dan lain sebagainya.

Selain itu, dunia juga memiliki organisasi berhaluan politik khilafah. Organisasi ini lebih muda, yakni berdiri pada tahun 1953. Dari namanya saja Hizbut Tahrir adalah partai politik (partai pembebasan). Pendirinya adalah Taqiyuddin al-Nabhani.

Dua organisasi yang saya sebutkan di atas adalah sekedar contoh tentang umur dan kehidupan organisasinya. Ikhwanul Muslimin sudah barang tentu karena bergerak dalam politik pernah Berjaya. Bahkan Mesir pernah dipimpin oleh pemimpin yang berasal dari Partai Ikhwanul Muslimin pada Pemilu Presiden 2012 dengan Raihan 51,7 %. Namun kepemimpinan tidak bertahan lama. Bahkan otoritas ulama di Mesir melarang orang Mesir untuk bergabung dengan organisasi ini.

Hizbut Tahrir juga terlarang dimana-mana. Secara keanggotaan, mereka ini sebenarnya tidak terlalu besar, namun memiliki militansi politik.

NU itu lahir pertama bukan menjadi partai politik, tapi sebagai organisasi keagamaan, perkumpulan. Orang NU menyebutnya NU adalah jam’iyyah. Sebagai jam’iyyah, NU melayani fungsi keagamaan dan sosial bagi para anggotanya.

NU pernah menjadi partai politik, namun berdasarkan perjalanan sejarah sosial dan politik yang dialami oleh NU, organisasi ini kembali menjadi jam’iyyah, sejak 1984. Gerakan kembali ke titik awal atau terkenal dengan istilah Khittah 1926. Artinya, setelah bergabung dalam Masyumi dan juga menjadi Parpol sendiri ternyata itu tidak memberikan cukup banyak perhatian NU kepada cita-cita utama organisasi ini.

Abdurrahman Wachid alias Gus Dur memimpin gerakan non-politik praktis dalam NU. Gerakan non-politik praktis ini diharapkan mampu lebih besar memberikan atensi kepada kepentingan rakyat biasa yang rata-rata menjadi pengikut NU.

NU dalam era Gus Dur banyak memberikan perlawanan pada negara, tepatnya pada rezim Suharto.

Namun perlawanan pada Orde Baru bukan karena NU ingin mendirikan sistem kenegaraan Islam namun lebih karena memperjuangkan kehidupan yang baik dan bermartabat bagi masyarakat Islam di Indonesia.

Berbeda dengan Ikhwan dan HT, NU mengkritisi kekuasaan bukan karena ingin memiliki sistem kekuasaan sendiri. Di sinilah letak kekenyalan dan keawetan peran NU dalam masyarakat dan negara Indonesia. Kedua organisasi Islam dunia tersebut kini tidak memiliki anggotan dan peran sebesar yang dimiliki oleh NU.

Sudah barang tentu, tidak semua peran NU selama satu abad ini bagus semua. Pasti ada sela-sela dimana NU juga mendapatkan kritik terutama dari sisi kekuasaan politik di mana NU terlalu dekat dengan rezim tertentu.

Namun jika dijembreng dalam gelaran sejarah seratus tahun ini, peran NU lebih didominasi oleh peran yang memihak pada isu-isu kerakyatan, keislaman dan yang paling penting keIndonesiaan.

Nampaknya NU dalam usianya menginjak abad kedua ini tetap akan menempatkan negara sebagai prioritas yaitu menjaga seluruh komponen agama hidup dalam keharmonisan dan saling kesapahaman.

NU akan terus berada untuk memperjuangkan garis moderat. Namun bagi Gus Yahya, menjadi moderat itu tidak menyelesaikan masalah. NU harus mempelopori upaya untuk pengakuan masing-masing masyarakat agama tentang kelemahan yang selama ini mereka perankan.

Bagi Gus Yahya, jika kita ingin menciptakan perdamaian dunia, maka hal yang harus dilakukan pertama-tama adalah apakah masing-masing masyarakat agama itu memiliki keberanian yang tinggi untuk mengakui kesalahan dan kelemahan mereka. Jika yang ini terpenuhi maka Langkah kedua dan ketiga akan lebih gampang. Pada titik inilah, kata Gus Yahya, kita semua berangkat baik untuk menciptakan kehidupan yang moderat pada level nasional maupun pada level internasional.

Pesan Gus Yahya ini nampaknya yang akan menjadi garis pandu tentang kehidupan keagamaan yang nir-konflik. Tapi tantangan yang akan menghadang NU ke depan nampaknya akan semakin berat. Tantangan-tantangan di dalam organisasi sendiri, tantangan nasional dan juga internasional. Tantangan-tantangan di dalam sendiri, di dalam NU, terutama nahdliyyin juga tidak kalah menantang. Misalnya, peran masyarakat NU di dalam kehidupan ekonomi dan pendidikan yang masih terus harus ditingkatkan.

Pada level nasional, peran negara yang semakin kuat, kesenjangan ekonomi dalam kehidupan masyarakat, kualitas sumberdaya manusia yang semakin merosot dan juga ancaman destabilisasi negara adalah hal yang harus juga dihadapi oleh NU.

Pada tingkat regional, NU akan membawa agenda baru bagaimana organisasi ini bisa membawa misinya ke tingkat internasional. Misalnya, NU menyelenggarakan Halaqah Fiqih Peradaban dimana di dalam halaqah ini NU mendiskusikan hal yang sangat krusial: bagaimana Islam atau fiqih berdialog dengan konvensi Hak Asasi Manusia.

Ini terobosan yang luar biasa dan menjadi agenda banyak negara untuk membicarakan, namun selalu tidak terwujud. Kini NU mendiskusikan masalah ini. Jika NU bisa mencari titik temu antara fiqih dan HAM, maka itu akan menjadi contoh dunia karena selama ini konflik dan ketegangan di dunia ini salah satunya dipicu oleh bentrok Islam dan HAM.

Sebagai catatan, usia satu abad NU ini adalah pembuktian nyata bahwa organisasi ini selalu ada untuk kita, untuk Indonesia dan untuk masyarakat dunia. Kita yang menikmati kehidupan yang enak ini harus berterima kasih ke NU.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.