Sabtu, April 27, 2024

Dari Khalid Basalamah sampai MUI Bengkulu

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Dalam minggu ini, ada dua hal penting yang terkait dengan pemikiran dan juga tindakan nyata yang bisa mengancam kehidupan harmoni masyarakat. Pertama, pernyataan dari Khalid Basalamah jika wayang itu hendaknya dimusnahkan saja. Kedua, tertangkapnya dua pengurus MUI Bengkulu yang diduga terlibat dalam jaringan Jama’ah Islamiyah.

Dua kejadian ini jelas penting dan relevan bagi masa depan kehidupan keagamaan dan juga kebangsaan kita. Beberapa kalangan masih meremehkan hal-hal seperti ini. Bahkan ada sebagian yang menganggap bahwa kejadian seperti ini bagian masalah yang kurang penting. Kalau kita semua makmur, hidup berkecukupan, tidak ada orang yang akan berpikir dan bertindak seperti Khalid Basalamah dan juga dua pengurus MUI Bengkulu.

Ada yang mengatakan bahwa mereka bertindak demikian karena mereka dialienasi dan dimarginalisasi. Pendapat seperti ini boleh-boleh saja, tapi ahistoris dalam melihat bahwa motivasi keagamaan dan ideologi politik juga bisa mendorong orang bisa seperti Khalid Basalamah dan dua orang pengurus MUI Bengkulu.

Jika kita lihat secara sepintas, tokoh-tokoh atau propagator isu-isu seperti ini bukanlah mereka yang tidak beruntung secara ekonomi. Mereka juga bukannya orang yang tidak untung secara pendidikan. Ekonomi mereka bagus dan juga pendidikan mereka tinggi. Mereka juga menjadi bagian lapisan elit dari kelompok atau penyerta mereka.

Namun, mengapa mereka tetap saja tertarik untuk memperjuangkan sebuah sistem yang meletakkan agama mereka sebagai aturan yang suprematif. Bisa dikatakan, mengapa mereka tetap mendakwahkan sistem politik yang diskriminatif, tidak terbuka bahkan mengancam keragaman kemanusiaan jika itu berhasil mereka perjuangkan. Ingat sistem politik Taliban di Afghanistan dan juga sistem politik ISIS di wilayah-wilayah yang mereka taklukkan.

Anjuran Khalid Basalamah agar wayang dimusnahkan mengingatkan saya secara persis akan tindakan penguasa Taliban di Afghanistan yang memusnahkan patung-patung warisan terdahulu dari kelompok non-Muslim di Afghanistan. Taliban telah menghancurkan 70 % dari 100,000 peninggalan penting di Afghanistan termasuk peninggalan Buddha Bamiyan, hal yang sangat penting dalam sejarah.

Mungkin penting bagi kita, namun bagi Taliban dan mungkin Basalamah, seni-seni seperti itu tidak penting bahkan keberadaannya jika mungkin dimusnahkan. Cara pandang Basalamah terhadap wayang juga demikian halnya.

Jika dilihat dari perspektif politik, Khalid ini memiliki cara pandang yang sama dengan kaum Taliban ini, meskipun latar belakang teologisnya bisa beda. Taliban adalah kelompok madzhab Hanafi, sementara Khalid Basalamah lebih dekat pada ajaran tanpa madzhab. Orang seperti Khalid ini lebih sering mengatakan sebagai orang yang mengikuti al-Qur’an dan Sunnah yang murni.

Khalid Basalamah memang belum membakar dan memusnahkan wayang, dia memang masih baru menyatakan. Apakah kita bisa bayangkan jika Khalid Basalamah menjadi bagian kekuasaan. Apakah pemikirannya yang demikian ini tidak dia salurkan kepada penguasa untuk dilaksanakan.

Terus terang, saya masih merasa heran dengan orang yang berpikir seperti Khalid Basalamah. Padahal negara yang selama ini menjadi kiblat mereka berIslam, Saudi Arabia dalam hal ini, yang kini terus berubah dan berusaha untuk hidup dalam tatanan internasional yang terbuka dan tidak diskriminatif, tetapi apakah orang seperti Khalid Basalamah tetap berada dalam pikiran yang sempit dan anti pada sejarah dan tradisi lokal.

Saya pikir mengapa Khalid Basalamah terus mendakwahkan hal-hal yang demikian ini bukan karena masalah ekonomi dan marginalisasi kelas sosial, namun karena ideologi keagamaan yang memang demikian halnya.

Bahkan, pernyataan yang serupa juga dia sering lontarkan. Jadi, pernyataan wayang perlu dimusnahkan itu bukan hal pertama yang Basalamah pernah kemukakan yang menunjukkan ketidaksukaannya pada unsur lokal di Indonesia. Bahkan dalam konteks wayang, dia tidak hanya terkait dengan unsur lokal, namun dijadikan sebagai sarana bagi proses dakwah penyebaran Islam.

Tidak tahukah Khalid Basalamah akan peranan Wali Songo katakanlah di sini Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang dan tembang-tembang Jawa untuk mendakwahkan Islam. Kesuksesan penyebaran Islam justru terjadi secara massif oleh para wali. Di pulau Jawa adalah Walisongo tadi.

Khalid mungkin tahu akan sejarah seperti ini. Sejarah Walisongo bahkan sudah banyak ditulis di dalam literatur berbahasa Arab. Tapi sekali lagi, karena secara ideologis, pemikiran Khalid tidak bisa menerima hal-hal seperti ini, berapa pun banyak fakta sejarah akan pentingnya wayang untuk penyebaran Islam di Indonesia akan sulit dia terima.

Menghadapi kasus seperti Basalamah dalam konteks Indonesia memang serba sulit. Tidak mungkin itu ditangani dengan pendekatan security, tapi itu juga tidak mungkin dibiarkan begitu saja tanpa ada wacana tanding.

Kita harus paham bahwa Khalid Basalamah ini sedang melakukan misi pemurnian agama Islam di Indonesia yang dipandang harus diluruskan. Khalid Basalamah sedang menjalankan perang pemikiran (Ghazw al-fikr). Karenanya, saya pikir hal seperti ini bukan didorong oleh motivasi ekonomi dan politik, namun didorong oleh cara berpikir dan ideologi yang memang dia yakini bahwa sistem politik Islam yang benar adalah sistem politik yang dilaksanakan murni berdasar syariah. Hal-hal yang bertentangan dengan syariah murni yang dia pahami harus dimusnahkan. Pada posisi ini persis dengan Taliban.

Dakwah adalah cara non-politik yang paling memungkinkan yang bisa ditempuh oleh ideolog agama seperti Khalid Basalamah karena itu satu-satunya jalan di dalam sistem politik Indonesia. Dia tidak mau terlibat dalam politik praktis karena bagi keyakinan Salafi dan Wahabi pada umumnya, biarlah politik dilakukan oleh para politisi. Apakah Khalid Basalamah mengikuti anjuran ini?

Lalu bagaimana dengan keterlibatan dua anggota MUI Bengkulu dalam jaringan Jamaah Islamiyah sebagaimana diindikasikan dengan penangkapan Densus 88?

Dua pengurus MUI Bengkulu ini sudah dipandang jelas dengan keterlibatan mereka dalam jaringan terorisme internasional. Penangkapan atas mereka memiliki landasan hukum yang kuat dalam konteks Indonesia. Urusannya tinggal MUI Bengkulu memecat mereka dan menyerahkan mereka untuk diadili.

Kita juga bisa menganjurkan agar MUI melakukan pembaharuan sistem rekrutmen secara hati-hati. Namun bayangkan dua orang yang Densus 88 tangkap ini sudah aktif di dalam MUI sejak 2005. Meskipun akhirnya terdeteksi, namun keduanya bisa begitu lama berorganisasi di dalam MUI secara bebas.

Sebagai catatan, gerakan untuk memusnahkan keislaman dan keindonesiaan akan selalu terjadi. Sikap kita gerakan perang pemikiran kita hadapi dengan perang pemikiran dan gerakan aksi terorisme kita serahkan pada hukum yang berlaku.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.