Saya sepenuhnya setuju dan sangat mendukung pernyataan Gus Yahya bahwa dia akan menolak penggunaan politik identitas. Jika dia menyatakan demikian artinya bukan Gus Yahya secara pribadi, namun ini sudah merupakan pernyataan NU secara keseluruhan. Bahkan, Gus Yahya menyatakan sekalipun NU sebagai identitas, itu tidak bisa diterima. Gus Yahya dengan yakin menyatakan jika NU memang tidak boleh atau dilarang untuk firqah (kelompok).
Pernyataan Gus Yahya bukan begitu saja muncul, namun ini didasarkan pada pemikiran dan renungan dia yang selama ini terjadi jika politik identitas itu dikemukakan. Bahkan Gus Yahya membuat ilustrasi jika kita tidak boleh melakukan permusuhan pada baik sesama agama maupun dengan pihak di luar sesama agama meskipun mereka itu dianggap sebagai radikal. Gus Yahya tidak mau melakukan engagement dengan mereka dengan menggunakan perspektif permusuhan.
Bagaimana dengan pernyataan Gus Yahya dikaitkan dengan konteks politik di dalam negeri? Banyak pihak yang merasa bahwa pernyataan Gus Yahya ditujukan untuk menembak faksi-faksi politik di Indonesia yang sudah mulai mengelus-ngelus jagonya untuk Pemilu 2024. Sudah barang tentu, bagi mereka yang pernah atau sudah atau yang akan menggunakan politik identitas pernyataan Gus Yahya dianggap sebagai bentuk penolakan. Dengan kata lain, pihak-pihak yang ada kemungkinan menggunakan politik identitas sebagai bahan bakar pencalonan merasa tersinggung. Mengapa?
Karena Gus Yahya adalah pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dari masa-masa ke masa organisasi ini telah membuktikan peran signifikannya dalam politik elektoral. Dengan kata lain siapa pun yang mendapat dukungan suara dari pengikut organisasi, maka kemungkinan besar mereka yang akan mendapat dukungan menjadi pemimpin nasional.
Jika Gus Yahya menampik politik identitas, maka itu sebenarnya adalah bukan keuntungan bagi umat Islam yang bernaung di bawah kepemimpinan Gus Yahya. Ini benar jika keuntungan yang dimaksud adalah keuntungan kekuasaan.
Namun, Gus Yahya nampaknya tidak mengejar keuntungan yang sifatnya sesaat bagi organisasi NU secara khusus dan nahdliyyin secara umum. Justru dengan menghilangkan atau jika tidak meminimalisir politik identitas, keuntungan yang di dapatkan adalah keuntungan yang eternal, abadi, di mana NU menjadi organisasi Islam yang bisa bekerjasama dengan pelbagai kelompok dengan tanpa batas politik identitas. Selain itu, Islam juga dijauhkan dari penggunaan sesaat bagi kaum politisi yang mengejar kekuasaan politik tanpa memikirkan damage cost yang bagi Islam.
Indonesia, dalam era pasca reformasi, memang mengalami beban negatif akibat penggunaan politik identitas. Masyarakat menjadi terbelah. Mereka yang menolak politik identitas terkadang dianggap sebagai penyebab munculnya politik identitas itu sendiri. Sampai saat ini saya merasa bingung dengan upaya-upaya penjungkarbalikan masalah ini.
Jika ada seseorang yang mengritik calon pimpinan tertentu yang memiliki track record menggunakan politik identitas malah orang tersebut bisa dianggap sebagai pengguna politik identitas itu sendiri.
Bagi mereka yang tidak ada masalah menggunakan politik identitas, mereka anggap jika pihak yang tidak memperbolehkan penggunaan politik identitas sebagai pihak yang menyebabkan masyarakat terbelah. Mereka anggap para pengritik politik identitas justru dianggap sebagai musuh agama karena user politik identitas itu berasumsi bahwa salah satu fungsi agama itu memang harus digunakan untuk politik identitas. Aneh bukan?
Tapi inilah kenyataan yang sering kita hadapi di mana mereka yang menginginkan pengakhiran politik identitas karena efeknya pada perpecahan umat kini malah dianggap sebagai penyebab perpecahan. Mereka yang sudah menyaksikan efek buruk dari politisasi identitas agama malah dianggap sebagai orang yang tidak toleran dan plural.
Mereka pengguna politik identitas memang maunya kita menyetujui atau memaklumi agama atau aribut identitas lainnya untuk digunakan sebagai alat politik. Mereka tidak berpikir bahwa pemilik identitas Islam bisa memiliki aspirasi dan jalan politik yang berbeda-beda. Jika mereka yang berbeda-beda jalan politik lahiriahnya ini dipaksa semuanya untuk menggunakan identitas agama maka itu jelas merupakan bentuk pemaksaan.
Maunya mereka, kita yang menolak identitas terima saja penggunaan politik identitas. Sindiran mereka yang sering terdengar di telinga kita, “katanya toleran, kok tidak toleran pada sikap orang lain yang meyakini identitas agama untuk fungsi politik.”
Akibat penjungkarbalikkan masalah politik identitas yang selama ini terjadi, maka saya melihat apa yang dilontarkan oleh Gus Yahya ini merupakan angin segar bagi kita semua yang memang melihat efek negatif politik identitas.
Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana kita menjelaskan masalah ini kepada masyarakat kebanyakan yang mayoritas pandangan politik mereka dipengaruhi oleh elit pimpinan mereka. Saya pikir jika kalangan elit menggunakan politik identitas untuk kepentingan politik mereka sendiri, ya silahkan. Namun jika mereka menggunakan untuk mempengaruhi masyarakat biasa justru itulah hal yang harus kita lawan dalam konteks pernyataan Gus Yahya.
Tapi, apa sebenarnya yang membuat kita untuk menghindarkan diri atau jika bisa melawan penggunaan politik identitas sebagaimana yang dilontarkan Gus Yahya?
Pertama, secara teologis, identitas agama memang tidak untuk mengerek panji-panji kepentingan politik praktis. Politik praktis itu bisa jahat, bisa Machiavellian dalam bahasa politiknya, bisa menyingkirkan teman dan sesama manusia bahkan pemeluk agama. Mereka yang tidak sama dalam partai politik dianggap musuh. Jika agama yang kita peluk digunakan untuk membenci, menyingkirkan bahkan menyengsarakan sesama manusia, jelas itu bukan mandat agama. Mandat kita beragama adalah menciptakan kasih sayang sesama umat manusia apa pun afiliasi politik mereka.
Kedua, secara sosilogis dan antropologis, manusia itu tidak memiliki identitas tunggal. Katakanlah sama-sama meyakini Islam sebagai agama, namun identitas mereka bisa berbeda-beda. Ada yang menganut Islam dengan identitas mazhab Syafii, ada yang menganut Islam dengan identitas mazhab Hanbali. Jika masing-masing pihak bersikeras menggunakan identitas keislaman mereka yang sudah berbeda-beda, maka apa yang akan terjadi adalah perang atau benturan antar identitas.
Sebagai catatan, berkali-kali kita menyatakan bahwa penggunaan politik idenitas itu tidak sehat bagi masa depan kehidupan politik dan agama kita, namun berkali-kali pula kita mendapat penolakan dan tantangan. Karenanya menolak atau melawan penggunaan politik identitas bukan pekerjaan sesekali saja, namun ini pekerjaan yang harus terus dikemukan. Mari kita bersama-sama berada di belakang Gus Yahya dalam menolak politik identitas.