Peraturan Presiden tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede tahun 2015 dinilai tidak memiliki masalah secara pinsipial. Sebab dasar dalam penerbitan perpres bukan untuk kepentingan warga Jatigede.
“Terbitnya perpres tersebut bukan untuk kepentingan warga tapi lebih mempertimbangkan proyek pembangunan Waduk Jatigede semata,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria di Jakarta, Jumat (3/7).
Hal itu diperjelas dengan implementasi dalam penanganan dampak sosial. Rahmat mengatakan, saat ini sedang berlangsung proses sosialisasi yang dalam perkembanganya juga menimbulkan masalah baru.
“Proses sosialisasi tidak membahas tentang pemindahan atau relokasi warga masyarakat. Tapi melalui tim sosialisasi warga diminta menadatangani surat perjanjian yang isinya warga harus melakukan pembokaran rumah dan meninggalkan desa sejak tujuh hari penandatanganan surat perjanjian,” kata Rahmat.
Jika warga Jatigede menolak melakukan pembongkaran dan meninggalkan tempat, maka pemerintah akan melakukan pemaksaan pembongkaran dan tim sosialisasi akan menunjuk pihak yang membongkar rumah warga.
“Kita menilai proses sosialisasi memiliki masalah, bahwa dampak sosial yang dilakukan oleh pemerintah menghilangkan hak masyarakat untuk mendapatkan kembali rung hidup dan penghidupan.”
Pengambilan ruang hidup dan penghidupan terlihat dari kebijakan pemerintah terhadap relokasi warga masyarakat yang terkena dampak dengan memberikan santunan bukan melakukan relokasi. Selain itu, tambah Rahmat, inisiatif warga yang akan direlokasi di tanah kas desa juga tidak mendapatkan respon dari pemerintah.
Menurut dia, kebijakan pemberian satunan untuk relokasi, melahirkan diskriminasi hak antar warga masyarat yang terkena dampak. Setidaknya terdapat 6 ribu KK yang hanya diberikan kompensasi sebesar Rp 29 juta. Namun pemerintah hanya mengakui berdasarkan data tahun 80-an dengan mengacu permendagri diberikan kompensasi sebesar Rp 122 juta.
“Kami menilai bahwa relokasi semua warga Jatigede memiliki hak yang sama untuk dapat tempat hidup dan penghidupan, tidak membedakan karena semua warga harus sama-sama pergi dari lokasi dan harus memiliki tempat hidup dan penghidupan,” kata Rahmat.[*]