Pemilihan umum di Burundi, yang diwarnai kekerasan dan boikot oposisi, tidak bebas atau tepercaya, kata pemantau Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kamis, sehari setelah bentrokan menewaskan enam orang di ibukota.
Pemilihan anggota parlemen dan daerah digelar pada Senin lalu, meskipun Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon meminta pemilihan umum itu ditunda karena kemelut berbulan-bulan.
Pemantau PBB dalam laporannya mengataan pemilihan umum itu dilaksanakan dalam ketegangan krisis politik, dan iklim ketakutan meluas serta intimidasi di sebagian wilayah negara.
“Kekerasan dan ledakan mendahului, dan dalam beberapa kasus mengiringi kegiatan terkait pemilu, terutama di Bujumbura,” katanya dalam laporan sembilan halaman itu.
Misi tersebut menyimpulkan bahwa iklimnya tidak kondusif untuk pemilu yang bebas, kredibel dan terbuka.
Hasil pemilu parlemen belum dirilis namun Belgia mengatakan tidak akan mengakui hasilnya. Sementara Amerika Serikat meningkatkan tekanan internasional dengan menyerukan agar pemilu presiden pada 15 Juli ditunda.
Bentrokan di ibukota Bujumbura pada Rabu menyebabkan enam orang tewas di basis oposisi distrik Citiboke, yang menyaksikan aksi protes selama berminggu-minggu menentang pemerintahan Presiden Pierre Nkurunziza.
Polisi mengatakan sebuah granat dilemparkan ke arah patroli polisi, menciderai dua petugas dan memicu baku tembak sehingga seorang petugas tewas.
Lima orang lainnya yang disebut merupakan anggota kelompok bersenjata tewas, namun para saksi mengatakan mereka dieksekusi secara brutal oleh polisi.
Wartawan AFP di tempat kejadian menyaksikan enam mayat, tiga di antaranya dengan luka tembak di kepala.
Pemilu pada Senin merupakan persiapan untuk pemilu presiden, namun jurubicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat John Kirby mendesak Nkurunziza untuk menunda pemilu tersebut.
Ia mendesak presiden untuk “meletakkan kesejahteraan rakyat Burundi di atas ambisi politiknya serta berpartisipasi dalam dialog dengan oposisi dan masyarakat sipil, untuk mengidentifikasi solusi damai bagi krisis yang sekamin mendalam”.
“Solusi ini harus meliputi penundaan pemilu presiden pada 15 Juli sampai kondisinya sesuai untuk pemilu yang bebas, adil dan damai,” kata Kirby dalam pernyataan.
Media pemantau PBB mengatakan kandidat dari partai berkuasa bisa berkampanye di seluruh negara namun politisi oposisi “kurang terlihat”.
Laporan itu menggambarkan pembatasan media secara meluas, dengan wartawan menjadi target pemukulan, penahanan, penyerangan dan pengusiran.
Kewaspadaan internasional semakin meningkat terkait krisis Burundi yang dipantik oleh niat Nkurunziza ikut pemilu untuk periode lima tahun ketiga berturut-turut.
Pihak oposisi mengatakan hal itu melanggar konstitusi dan kesepakatan damai pada 2006 yang mengakhiri perang sipil selama 13 tahun.
Setidak-tidaknya 70 orang tewas dan 140 ribu lainnya meninggalkan Burundi untuk mengungsi di negara-negara tetangga.
Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan untuk membicarakan krisis tersebut dan langkah ke depan setelah mendengarkan laporan dari utusannya Abdoulaye Bathily.
Bathily meragukan kemauan pemerintah untuk melakukan pembicaraan dengan pihak oposisi dan mencoba menyelesaikan krisis, kata beberapa diplomat yang hadir dalam pertemuan tertutup itu.
Dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB pekan lalu, Duta Besar Burundi Albert Shingiro menyebut oposisi “anak bandel yang manja” yang mengajukan terlalu banyak permintaan dan mendesak agar pemilu tetap dilaksanakan.
Dewan selama berbulan-bulan berkutat untuk menyepakati satu sikap sama dalam krisis Burundi, dengan Rusia bersikeras bahwa isu tersebut merupakan masalah dalam negeri, sementara negara-negara Afrika enggan mengambil posisi kuat.
Duta Besar Selandia Baru Gerard Jacobus van Bohemen yang bulan ini memegang kepemimpinan Dewan Keamanan PBB mengatakan, dewan beranggotakan 15 negara itu menyatakan keprihatinan bahwa kondisi minimum untuk pemilu yang bebas, adil, transparan dan kredibel tidak dipenuhi.
Pemimpin Afrika timur dijadwalkan akan membicarakan krisis Burundi dalam pertemuan puncak mereka Senin nanti. (Antara/AFP)