Pendidikan menjadi salah satu tolok ukur manusia. Di Indonesia, mahasiswa dapat meraih gelar sarjana dengan menyelesaikan minimal 144 satuan kredit semester (SKS). Jumlah ini lebih banyak bila dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika yang mengambil minimal 120 SKS. Namun, apakah jumlah SKS yang lebih banyak ini menunjukkan kualitas pendidikan yang lebih baik dan melahirkan manusia-manusia berkualitas?
Di Indonesia, seorang mahasiswa dapat mengikuti tujuh hingga delapan mata kuliah per semester. Bandingkan dengan negara lain yang hanya empat hingga enam mata kuliah dalam satu semester. Di Amerika Serikat, rata-rata mahasiswa hanya menempuh empat mata kuliah per semester. Di Eropa, lima mata kuliah per semester. Lalu di Australia, mahasiswa dibebani empat hingga enam mata kuliah per semester.
Menurut hasil penelitian tentang “Desain Kurikulum dan Penerapan SKS di Perguruan Tinggi” oleh Tim Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), berdasarkan jam belajar per minggu, jam belajar di Indonesia melebihi 40 jam, yaitu 48 hingga 54 jam per minggu. Sedangkan di AS sekitar 35 hingga 54 jam, 31,5 hingga 40 jam di Eropa, dan 32 hingga 50 jam di Australia.
Padahal, menurut Ketua Tim Peneliti dari LPEM FEUI Rangga Handika, hanya sebagian kecil perguruan tinggi di negara lain yang menuntut jam belajar melebihi 40 jam per minggu. Selain itu, menurutnya, untuk memperoleh gelar S-1 cukup dengan 120 sks. “Yang penting, proses belajar dilaksanakan dengan benar,” katanya.
Dampak dari beban pendidikan tinggi Indonesia ini, calon mahasiswa asing menjadi kurang berminat melanjutkan studinya di Indonesia. Selain itu, pemahaman terkait mata kuliah tersebut malah semakin kurang karena terlampau berlebihan. Yang ada hanya sekadar memenuhi tatap muka saja.
Bukan hanya itu, melalui pendidikan ini dapat dilihat pula mutu manusia tersebut. Meskipun pendidikan Indonesia di sektor perguruan tinggi lebih berat, berdasarkan Human Development Index (HDI) 2013, Indonesia hanya masuk dalam medium human development menduduki urutan ke-108 dengan total 0,684. Jauh tertinggal dengan negara-negara very high human development, seperti Australia sebesar 0,933; Amerika 0,914; Belanda 0,900; dan Jepang 0,890. HDI adalah salah satu indikator untuk mengukur kinerja pembangunan manusia. [*]