Setara Institute menyatakan ada dua kekeliruan yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kekeliruan tersebut terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Pertama, prinsip rekonsiliasi adalah bentuk alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diputuskan setelah terdapat kesimpulan bahwa kasus-kasus tersebut secara yudisial sulit diselesaikan,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Hendardi di Jakarta, Jumat (10/7).
Artinya, rekonsiliasi merupakan keputusan yang muncul setelah adanya proses penyelidikan dan penyidikan. Namun, yang terjadi saat ini adalah Kejaksaan Agung dan Komnas HAM justru memilih jalan rekonsiliasi diawal daripada yudisial.
Sistem kerja seperti ini, kata Hendardi, hampir dipastikan tidak akan memperoleh kebenaran materil atas sebuah peristiwa hukum. Menurut dia, rekonsiliasi adalah pilihan dan proses politik dalam menyikapi suatu peristiwa pelanggaran HAM barat masa lalu.
“Jadi keputusan rekonsiliasi harus didasarkan pada keputusan politik yang representatif dan dengan dasar undang-undang. Jadi memulai jalan rekonsiliasi harus dilakukan dengan membentuk UU KKR. Tanpa UU itu atas dasar apa pemrintah membentuk tim rekonsiliasi,” kata Hendardi.
Kekeliruan kedua adalah terkait tim itu sendiri. Tim Rekonsilasi adalah tim yang menjembatani suatu peristiwa antara negara dan aparaturnya yang dituduh melakukan pelanggaran HAM terhadap korban.
“Tim tersebut menjembatani luka dan ketidakadilan yang sangat serius. Karena itu, tim bukanlah representasi para pihak, tetapi mesti terdiri dari tim independen, orang-orang yang sangat berintegritas tinggi dan pembela hak asasi manusia,” kata Hendardi.
Menurut dia, ini kekeliruan serius dalam tim yang rencananya akan dibentuk oleh Presiden RI atas prakarsa Kejaksaan Agung. Dalam hukum HAM, TNI dan aparat negara lain adalah subyek hukum sehingga tidak bisa mengadili dirinya sendiri. Jadi, dapat dibayangkan kualitas kerja tim tersebut.
“Dua kekeliruan mendasar itu patut diduga sebagai upaya yang disengaja untuk mencari jalan pintas dan segera memetik citra. Penyederhanaan semacam ini hanya akan melukai lebih lanjut kelompok korban dengan memberi hiburan palsu, akibatnya mengikis kepercayaan masyarakat pada pemerintah,” kata Hendardi.[*]