PT Restorasi Ekosistem Indonesia atau PT Reki seharusnya menjadi pihak terdepan dalam menghormati hak-hak masyarakat. Akan tetapi justru melakukan pelanggaran terhadap hak masyakat di wilayah konsesinya, khususnya hak Suku Anak Dalam
Koordinator AGRA Jambi Pauzan mengatakan, menjelang Ramadhan hingga saat ini, aktivitas intimidasi yang dilakukan perusahaan itu mengalami peningkatan. Pada awalnya intimidasi itu bermotif latihan militer dengan jumlah ratusan personil. Kemudian menjadikan tentara dan brimob sebagai juru biacara perusahaan dalam menghadapi masyarakat. Terakhir, terjadi pengrusakan fasilitas gapura milik masyarakat yang juga dilakukan tentara.
“TNI dibangun untuk pertahanan negara, bukan menjadi utusan perusahaan,” kata Pauzan di Jambi, Jumat (10/7). “Bila hanya latihan militer, kenapa muncul spanduk-spanduk pelarangan aktivitas di kawasan perusahaan dengan logo militer bersanding dengan logo perusahaan? ini jelas intimidasi bagi masyarakat.”
PT REKI adalah perusahaan yang menggalang dukungan publik internasional dalam upaya yang mereka gaungkan sebagai pelestarian alam dan memperbaiki ekosistem yang rusak. Di Provinsi Jambi, PT Reki mengelola kawasan hutan produksi yang sebelumnya menjadi areal operasi Hak Pengusahaan Hutan PT Asialog.
Jauh sebelum PT Reki berdiri, kata Pauzan, areal yang menjadi operasi perusahaan ini dikenal sebagai areal hidup masyarakat adat Suku Anak Dalam Batin 9 khususnya Bathin Bahar. Dalam praktiknya, PT Reki tidak pernah menganggap keberadaan mereka.
Sebagai perusahaan lingkungan yang berorientasi global dan menarik dukungan publik, tentu PT Reki sangat memahami standar-standar internasional tentang penghormatan hak-hak masyarakat adat, misalnya, Free, prior, Informed, Consent atau prinsip-prinsip dimana mensyaratkan perusahaan untuk duduk bersama dengan masyarakat, memberikan informasi tentang perusahaan dan menghormati sikap masyarakat atas perusahaan, kata Pauzan melalui keterangan resmi.
Namun dalam penilaian yang dilakukan oleh AGRA Jambi bersama Scale-UP dan FPP, pada tahun 2014 lalu, hal ini tidak pernah dilaksanakan. “PT. Reki hanya mengedepankan kekuasaan, dengan bermodal izin pemerintah, mereka segera beroperasi tanpa pernah menjalankan prinsip-prinsip FPIC warga” tutup Pauzan.[*]