Dracula (1897), mahakarya gothic Bram Stoker, lahir dari mimpi yang kelam. Sama seperti Frankenstein yang ikonik, novel ini langsung meledak di dunia sastra dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya populer. Namun, popularitas novel ini, khususnya adaptasi filmnya yang luar biasa sukses, justru menjadi tantangan tersendiri bagi pembaca modern. Bayangkan, bagaimana kita di abad ke-21 ini bisa merasakan kengerian yang otentik terhadap Count Dracula, ketika sosoknya telah begitu sering ditampilkan dan diinterpretasi ulang di layar lebar?
Alih-alih terhanyut dalam kengerian gothik, kita justru cenderung menganalisisnya dengan kacamata psikologi modern, mencari makna tersembunyi dan hasrat terpendam ala Freud di balik setiap tindakan karakter, bahkan sang penulis sendiri. Kita mungkin tergoda untuk mereduksi kengerian menjadi sekadar manifestasi dari represi seksual, kehilangan rasa kagum dan ketakutan yang seharusnya dirasakan oleh pembaca pertama novel ini.
Namun demikian, terlepas dari tantangan tersebut, Dracula tetap menjadi mahakarya horor yang abadi. Stoker dengan cermat merancang kebangkitan dan kejatuhan Count Dracula, membangun ketegangan dengan mahir melalui penggunaan teknik multi-narator. Seperti halnya Wilkie Collins dalam novelnya yang terbit tiga dekade sebelumnya, Stoker memanfaatkan beragam perspektif untuk memperkaya cerita dan meningkatkan rasa tegang. Setiap karakter, termasuk Dracula sendiri, memiliki taruhannya masing-masing, membuat pembaca terus menerka dan terpaku pada setiap perkembangan plot.
Petualangan gothik ini dimulai dengan perjalanan Jonathan Harker, seorang pengacara muda dari Inggris, ke jantung Transylvania yang diselimuti misteri. Ia melintasi Pegunungan Carpathian yang menjulang tinggi untuk urusan bisnis, namun takdir membawanya ke sebuah kastil kuno yang terpencil, kediaman Count Dracula. Sang Count, seorang bangsawan dengan aura aristokrat yang menawan namun dibayangi kengerian, menyambut Harker dengan keramahan yang ganjil. Namun, di balik topeng kesopanan itu, tersimpan rahasia kelam yang mengerikan.
Ternyata, Dracula adalah sosok yang ditakuti oleh penduduk setempat. Ia adalah wujud dari mayat hidup, makhluk kegelapan yang mencapai keabadian dengan cara yang mengerikan: meminum darah manusia. Kerajaan Dracula, yang terisolasi dan suram, mungkin merupakan cerminan dari kekejamannya. Namun, ambisi sang Count melampaui batas wilayahnya. Ia mendambakan London, kota metropolitan yang ramai dan penuh kehidupan, sebagai lahan perburuan barunya. Di sana, di tengah keramaian dan hiruk pikuk kota, ia berharap dapat memuaskan dahaga kegelapannya tanpa terkekang oleh tradisi dan aturan kuno yang mengikatnya di tanah kelahirannya.
Seperti halnya novel-novel gothik karya Henry James dan Edith Wharton, Dracula pun mengeksplorasi peran dan posisi perempuan dalam masyarakat. Dua karakter wanita utama, Lucy dan Mina, menjadi pusat perhatian dalam drama moralitas ini. Keduanya adalah wanita muda yang berada di ambang pernikahan, namun kepribadian mereka sangatlah berbeda. Lucy, yang gelisah dan memiliki kebiasaan berjalan dalam tidur, menjadi korban pertama Dracula. Mina, sahabatnya yang setia, menemukan Lucy dalam keadaan mengerikan di tepi pantai, dengan luka misterius di lehernya, tanda bahwa ia telah menjadi mangsa sang Count.
Nasib tragis Lucy, yang kemudian berubah menjadi mayat hidup, mencerminkan pandangan masyarakat pada masa itu terhadap perempuan. Ia dianggap telah ternoda, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan jiwanya adalah dengan kematian yang brutal. Kematiannya yang mengerikan, yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, menggemakan nasib perempuan di masa lalu yang dianggap melanggar norma sosial. Meskipun mungkin tidak bersalah, mereka dicap “tercemar” dan harus dihancurkan.
Melalui karakter Lucy dan Mina, Stoker menantang konsepsi tentang kemurnian feminin dan mempertanyakan peran perempuan sebagai agen dalam nasib mereka sendiri, sebuah tema yang masih relevan hingga saat ini.
Mina, yang kini telah menjadi istri Jonathan Harker, tak tinggal diam menyaksikan teror Count Dracula. Ia bergabung dengan para pemburu vampir, bertekad untuk menghentikan makhluk kegelapan itu. Namun, takdir berkata lain. Tanpa disadari, Mina menjadi korban berikutnya. Melalui Renfield, penghuni gila di rumah sakit jiwa yang menjadi budak Dracula, sang Count berhasil mendekati Mina. Dalam sebuah adegan yang sarat dengan nuansa erotis yang gelap, Dracula memaksa Mina untuk meminum darahnya, sebuah tindakan yang melanggar kesucian dan kemurniannya.
Seperti Lucy, Mina kini telah “ternoda” oleh Dracula. Namun, berbeda dengan Lucy yang pasrah pada takdirnya, Mina menolak untuk menjadi korban. Ia bangkit dengan semangat yang luar biasa, menolak untuk menyerah pada kegelapan yang mengancam jiwanya. Mina bersikeras untuk ikut serta dalam perburuan Dracula, menemani para pria menuju Kastil Dracula yang mengerikan. Ia bahkan menggunakan kemampuannya untuk memasuki pikiran Dracula melalui penglihatan-penglihatan hipnotis, membantu para pemburu vampir melacak keberadaan sang Count.
Mina menjadi sosok yang tak tergantikan dalam perburuan Dracula. Ia dengan tekun menyalin catatan, menyimpan jurnal, dan bahkan ikut serta dalam menyusun strategi untuk mengalahkan vampir itu. Ironisnya, justru ketika para pria, dengan sikap patriarkis khas era Victoria, mencoba melindungi Mina dengan menyembunyikan informasi dan menjauhkannya dari bahaya, Mina justru menjadi lebih rentan. Perlindungan yang berlebihan itu menghambatnya untuk melindungi diri sendiri, membuatnya menjadi korban dari “perusak dirinya” sendiri, yaitu Dracula.
Namun, Mina bukanlah tipikal “gadis dalam kesusahan” yang pasif. Ia adalah representasi dari perempuan tangguh yang mampu melampaui stereotip dan ekspektasi sosial. Dalam dunia sastra Barat yang seringkali menyalahkan korban perempuan, Mina tampil sebagai sosok yang revolusioner. Ia menolak untuk didefinisikan oleh trauma yang dialaminya, dan justru menggunakannya sebagai kekuatan untuk melawan penindasnya. Mina “membersihkan” kehormatannya sendiri, bukan dengan pasrah, tetapi dengan tindakan nyata melawan Dracula. Ia adalah pionir, sebuah prototipe dari karakter perempuan kuat dan mandiri yang akan muncul dalam literatur di masa mendatang.
Stoker, dalam proses kreatifnya, secara tidak sengaja menemukan sebuah perspektif baru yang tercerahkan mengenai perempuan. Ia menyadari bahwa inti dari novelnya terletak pada dua elemen kunci: pertama, menempatkan sesuatu yang berharga dan rentan dalam bahaya, dan kedua, menyatukan cinta dan materi pada akhirnya. Untuk mencapai hal ini, Stoker memilih seorang wanita sebagai korban, namun wanita yang sama —Mina— juga harus menjadi penyelamat, sebuah konsep yang progresif pada masanya.
Agar plotnya berjalan, Count Dracula harus memiliki kekuatan supernatural untuk menguasai korbannya. Hipnosis dan telepati, yang populer di akhir abad ke-19, menjadi pilihan Stoker. Namun, dengan cerdik ia membalikkan konsep tersebut, memberikan Mina kemampuan untuk membaca pikiran Dracula. Hal ini memungkinkan Mina untuk melawan dan pada akhirnya mengalahkan sang Count.
Selain telepati, kekuatan Mina juga muncul dari struktur naratif novel yang multi-perspektif. Mina berperan sebagai pengumpul dan penyusun berbagai catatan dan dokumen dari para karakter, memberinya pemahaman yang komprehensif tentang keseluruhan cerita. Posisi unik Mina ini —yang lahir dari kebutuhan mekanis penceritaan— justru memperkuat karakternya dan memberinya peran yang lebih signifikan dalam melawan Dracula.
Berbeda dengan penulis-penulis besar sezamannya, Stoker tidak memiliki reputasi sebagai seorang novelis sastra yang serius. Ia lebih dikenal sebagai penulis novel populer, dan beberapa karyanya mungkin terasa menggelikan bagi pembaca modern. Namun, Dracula tetap menjadi mahakarya yang patut dibaca dan dipelajari. Novel ini adalah bukti ketelitian dan keseriusan Stoker dalam menggarap materi yang—pada awalnya—terkesan sederhana dan klise. Dracula mengajarkan kita bahwa dengan dedikasi dan kreativitas, bahkan ide yang tampaknya konyol pun dapat diubah menjadi karya sastra yang luar biasa.