Sabtu, Januari 11, 2025

Skandal dan Sensualitas: Menguak Misteri The Picture of Dorian Gray

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Saat pertama kali terbit, novel The Picture of Dorian Gray (1890) dikecam dan dianggap tak bermoral—sesuatu yang tampaknya justru disukai oleh Oscar Wilde, sang penulis. Namun, lebih dari seratus tahun kemudian, alur cerita novel ini sebenarnya tidak lagi mengejutkan: seorang pemuda membuat perjanjian dengan Iblis dan mengalami penderitaan tanpa henti hingga akhirnya bunuh diri. Keunikan yang dibawa Wilde adalah bahwa baik pemuda maupun Iblis dalam kisah ini sepenuhnya hadir di dunia nyata, tanpa unsur supranatural seperti jiwa yang terkutuk atau kehidupan setelah kematian.

Yang mungkin lebih menggemparkan pada masanya adalah kritik tajam Wilde terhadap kemunafikan masyarakat Inggris, dipadukan dengan penggambaran terbuka tentang hubungan homoseksual dan biseksual dalam struktur sosial pernikahan dan harta benda. Wilde menantang konvensi dengan menunjukkan bahwa cinta sejati tidak ada dalam masyarakat tersebut, dan uang hanya digunakan untuk memperoleh kesenangan fisik semata.

Gaya penulisan Oscar Wilde, yang penuh dengan epigram atau ungkapan singkat dan tajam, mungkin menarik bagi sebagian pembaca, namun menjengkelkan bagi yang lain. Meskipun banyak paradoksnya terdengar brilian dan benar, seperti, “Saat ini orang tahu harga segalanya dan nilai tidak ada apa-apanya,” penggunaan epigram yang berlebihan justru terkesan membosankan dan mengada-ada.

Yang lebih menarik adalah bagaimana Wilde menggambarkan berbagai kesenangan indrawi. Dorian, dengan kekayaan dan kecantikan abadi yang dimilikinya, mencari kenikmatan dalam berbagai bentuk, melampaui sekadar nafsu seksual. Ia menikmati keindahan parfum, perhiasan, dan sulaman sebagaimana ia menikmati hubungan asmara. Ia mengejar semua jenis sensasi ekstrem, termasuk cinta yang berujung maut, pembunuhan, dan pelarian dari hukum. Ia bahkan mencandu opium dan menjerumuskan orang lain ke dalam kecanduan. Namun, ia tak mampu melepaskan diri dari perasaannya sendiri, hanya bisa mengamati penderitaan dirinya dan orang lain. Dalam hal ini, ia sesekali berhasil meniru mentornya, Lord Henry.

Lord Henry, yang digambarkan sebagai sosok iblis, tidak memiliki kecantikan abadi seperti Dorian, tetapi ia memiliki kemampuan untuk menjaga jarak dan mengamati segalanya dengan objektif. Ia tertarik pada dinamika kehidupan sosial di sekelilingnya, namun tidak pernah benar-benar terlibat secara emosional. Ia adalah sosok yang terisolasi dan puas dengan keadaannya. Kesenangan terbesarnya adalah mengungkap kemunafikan orang lain melalui epigram-epigram tajam.

Lord Henry, dengan gaya bicara yang mirip dengan Oscar Wilde sendiri, sering dianggap sebagai corong pemikiran Wilde, yang pada masanya menimbulkan kontroversi. Namun, sebagaimana Marquis de Sade, tokoh fiksi ini justru lebih kejam dan tidak berperasaan dibandingkan penciptanya. Seperti halnya de Sade, Wilde mampu menjelma menjadi baik korban maupun penyiksa dalam kisah ini.

Selain Dorian dan Lord Henry, ada tokoh ketiga yang penting, yaitu Basil Hallward, seorang seniman yang menemukan Dorian dan melukis potret ajaibnya. Melalui Basil, novel ini mengeksplorasi berbagai aspek seni. Basil dan Lord Henry menyadari adanya batas yang dilanggar dalam penciptaan lukisan tersebut—Basil mendapatkan inspirasi luar biasa yang kemudian menimbulkan rasa cinta Dorian pada dirinya sendiri. Namun, Basil tetap mampu membedakan antara seni dan realitas. Ia juga dapat dipandang sebagai representasi dari Wilde sendiri.

Ketika Dorian mengungkapkan kekuatan magis potret itu, Basil memintanya untuk berdoa dan mencari keselamatan. Dorian, yang terpengaruh oleh Lord Henry, telah kehilangan kemampuan untuk membedakan antara fantasi dan kenyataan, bahkan tergoda untuk melakukan pembunuhan. Namun, ia merasa bimbang. Hanya Lord Henry yang benar-benar mampu memisahkan diri dari karya seninya, selalu mengapresiasi dan mengkritik tanpa terlibat secara emosional.

The Picture of Dorian Gray ditulis sekitar seabad setelah novel Justine yang jauh lebih vulgar dan sadis. Keduanya memiliki beberapa kesamaan, terutama dalam argumen bahwa moralitas bertentangan dengan naluri manusia, dan bahwa orang yang bermoral sebenarnya hanya berhati-hati, bukan benar-benar berbuat baik. Perbedaannya, narator Justine menghujat agama, sementara narator Dorian Gray hampir tidak menyentuhnya.

Reaksi keras terhadap Dorian Gray menunjukkan bahwa masyarakat Victoria saat itu jauh lebih sensitif dibandingkan masyarakat Prancis di masa lalu. Justine masih dianggap mengejutkan, sementara Dorian Gray tidak. Ironisnya, Dorian Gray justru terkesan lebih “kuno” karena menggunakan teori psikologi yang populer pada zamannya sebagai landasan plot dan karakter. Misalnya, kemampuan Dorian untuk terhindar dari konsekuensi perbuatan jahatnya didasarkan pada anggapan bahwa penampilan luar mencerminkan kondisi jiwa. Padahal, di masa kini, kita tahu bahwa penyakit, malnutrisi, dan paparan sinar matahari lebih berpengaruh pada penampilan seseorang dibandingkan dosa-dosanya.

- Advertisement -

Setelah lebih dari seratus tahun, The Picture of Dorian Gray tetap dikenang bukan karena gagasannya, melainkan karena penggambaran sensual yang memikat dan ambigu yang menyenangkan Oscar Wilde.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.