Selasa, April 30, 2024

Festival Indonesiana dan Ekosistem Kebudayaan Kita

Sudarmoko
Sudarmoko
Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang. Pendiri Ruang Kerja Budaya.

Festival Indonesiana, sebuah platform pengelolaan festival yang digagas oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, tahun 2019 ini sudah memasuki tahun kedua pelaksanaannya. Tahun lalu Indonesiana dilaksanakan di sembilan daerah, dengan materi kegiatan yang beragam. Mulai dari tari Saman, silek, gamelan, musik, ritual, folklore, dan lain sebagainya sebagai penanda masing-masing satuan kebudayaan yang diangkat oleh berbagai daerah di Indonesia.

Tahun 2019 ini, setidaknya ada 30 festival yang didukung oleh Indonesiana. Sebagian besar festival yang diadakan didukung selama tiga tahun, dan beberapa festival dihentikan pendukungannya dengan alasan-alasan force majeur atau karena ekosistem kebudayaan yang dinilai tidak memungkinkan.

Memilih nama dan penanda budaya untuk diangkat dalam festival tersebut, mengesankan bagaimana sebenarnya kita dapat mengenali kekayaan khazanah dan sejarah budaya kita yang luar biasa.

Hal itu juga didukung oleh materi-materi yang ditampilkan dalam festival. Namun demikian, sebenarnya festival yang didukung tersebut merupakan hasil dari penilaian oleh Direktorat Kebudayaan, melalui tim kurasi dan produksi, yang berarti banyak daerah-daerah lain yang mengusulkan kegiatannya. Kemungkinan besar pada tahun-tahun mendatang akan lebih banyak lagi daerah dan materi kegiatan seni budaya yang akan muncul, jika festival Indonesiana ini tetap digelar.

Salah satu persyaratan keikutsertaan dalam festival ini adalah keterlibatan pemerintah daerah melalui dinas kebudayaan dengan komunitas seni budaya yang ada. Sebuah langkah strategis, mengingat di banyak daerah hubungan dinas atau pemerintah daerah dengan komunitas-komunitas seni budaya, atau juga dengan seniman dan budayawan, belum terjalin dengan baik.

Masalah laten hubungan ini berkisar pada persoalan program kebudayaan, dan juga transparansi penganggaran yang masih terkesan ditutup-tutupi. Setidaknya, kegiatan seni budaya masih terbatas pada hubungan yang sempit antara dinas atau pemerintah dengan kalangan seniman budayawan. Kondisi yang harus dibocorkan agar program-program kebudayaan menjadi milik bersama, antara pemerintah dengan komunitas dan masyarakat secara luas.

Dalam festival Indonesiana inipun, tidak sedikit yang masih dikelola oleh dinas atau pemerintah daerah, dengan menjadikan staf mereka menjadi anggota tim kurator dan produksi. Sikap dualisme yang mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi, karena bangunan ekosistem kesenian dan kebudayaan tidak akan berkembang dengan baik dengan sikap ini. Potensi konflik kepentingan, penajaman program yang tumpul, hingga bungkusan artistik dan estetik dari kegiatan festival akan terganggu.

Lebih jauh lagi, banyak materi festival dalam Indonesiana yang berangkat dari kesenian dan kebudayaan tradisional. Bahkan beberapa festival sudah berjalan lama, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah maupun oleh komunitas.

Tawaran pengelolaan manajemen festival oleh Indonesiana diarahkan pada sistem atau strategi yang modern, dengan pendekatan-pendekatan yang berbasis pada manajemen yang terukur dan terpola. Bila tidak dilaksanakan dengan hati-hati, pendekatan seperti ini akan mengganggu ekosistem seni budaya itu sendiri.

Sebagai sebuah ilustrasi, kesenian dan kebudayaan tradisional sebagian terikat pada ruang, waktu, dan pelakunya. Hal ini harus menjadi sebuah pertimbangan ketika kesenian dan kebudayaan tradisional dibawa ke sebuah festival. Bisa saja festival yang diharapkan menjadi perayaan atau mengangkatnya menjadi peristiwa umum yang lebih besar, malah akan mengakibatkan tercerabutnya kesenian tersebut dari ekosistem yang sudah terbangun.

Persoalan lain yang jamak ditemukan adalah dalam hal komposisi kepanitiaan festival. Pendekatan merekrut panitia dalam tim kurasi dan produksi dilakukan dengan pertimbangan yang sekadarnya saja.

Komposisi tim kepanitiaan tentu saja harus didasarkan pada pemindahan dan penyebarluasan pengetahuan, baik pada manajemen festival, materi kegiatan, keterwakilan, hingga pemetaan potensi seni budaya daerah masing-masing. Merekalah sebenarnya yang menjadi pemilik dan masa depan seni budaya yang didukung oleh Indonesiana.

Pelaksanaan peristiwa seni budaya yang berbasis kesenian tradisional biasanya dilakukan dengan manajemen yang bersifat lokal dan mengikuti alur yang sudah dibangun dengan dasar-dasar yang mempertimbangkan pranata dan komunikasi lokal.

Setidaknya, bantuan yang diberikan oleh Indonesiana dalam hal manajemen dan subsidi pendanaan, dengan dana pendamping dari pemerintah daerah, harus mempertimbangkan kearifan ini.

Manajemen dan pengelolaan festival yang bersifat modern, bisa jadi lebih cocok untuk diterapkan pada karakter masyarakat urban, atau setidaknya dengan tenaga pengelola yang memiliki latar belakang manajemen professional. Tidak jarang muncul konflik di luar urusan artistik dan estetik, ketika materi festival adalah kesenian tradisional dan dikelola oleh masyarakat atau komunitas lokal, dengan iming-iming bantuan pendanaan dan penanganan yang modern.

Upaya Direktorat Kebudayaan dengan mengadakan festival Indonesiana tentu saja sebuah terobosan yang menarik bagi strategi penguatan dan promosi kebudayaan. Apalagi sejumlah standar penilaian usulan, pemilihan materi usulan kegiatan, dan tujuan pelaksanaannya secara integral berada dalam sebuah jalur pemajuan kebudayaan.

Berbeda dengan pelaksanaan dan pemahaman perayaan kesenian dan kebudayaan pada masa lalu, dimana terjadi sentralisasi, festival Indonesiana menjadikan masing-masing daerah pelaksana dan masyarakatnya sebagai tempat pelaksanaan festival. Pada tahap ini, kesenian dan kebudayaan masih dipertahankan untuk berada pada ekosistemnya, dengan menghindari ketercerabutannya dari akar budayanya.

Akan tetapi, langkah strategis lebih lanjut yang harus dilakukan oleh Direktorat Kebudayaan dan pemerintah daerah, terutama dinas kebudayaan dan lembaga serta komunitas budaya, adalah bagaimana mengelola materi-materi festival, komunitas seni budaya, seniman dan budayawan, menjadi sebuah kekuatan yang benar-benar menjadi bagian dalam strategi kebudayaan secara nasional, dan menunjukkan posisinya yang konkrit dalam peta kebudayaan. Jika tidak, kehadiran festival Indonesiana ini hanya akan menjadi penegas bahwa kebudayaan kita sebenarnya masih menjadi titik lemah dalam pembangunan secara lokal dan nasional.

Kita dapat membaca kondisi ini bahkan dalam unit-unit lembaga pemerintah yang masih gagu dalam memprogram kegiatan kebudayaan. Sebuah kondisi yang sebenarnya dapat dicarikan jalan keluarnya melalui kegiatan-kegiatan konkrit, bersama-sama, dan bergotong royong dalam menyelenggarakan kegiatan kebudayaan melalui festival seperti Indonesiana.

Dengan alokasi pendanaan yang cukup besar, pelibatan sumber daya manusia dan lembaga yang cukup banyak, tujuan yang ambisius dalam memajukan kebudayaan, festival Indonesiana ini setidaknya harus dapat menjadi sebuah langkah dan contoh baik dalam memajukan kebudayaan Indonesia.

Sudarmoko
Sudarmoko
Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang. Pendiri Ruang Kerja Budaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.