Jumat, April 26, 2024

Malas Bertanya, Sesat di Pembangunan [Tanggapan untuk Ridwan Kamil]

Frans Prasetyo
Frans Prasetyo
Urbanist dan Peneliti Mandiri. Tinggal di Bandung.

Teras Cihampelas [Sumber: Facebook Ridwan Kamil]
Terima kasih kepada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil atas respons Anda terhadap tulisan saya di Geotimes. Saya terima juga hak jawab Anda, Kang Emil. Namun, ada beberapa poin yang ingin saya utarakan untuk menanggapi hak jawab Anda.

 

Pertama, terkait dengan definisi skywalk itu sendiri yang menurut Merriam-Webster dan The Free Dictionary adalah a usually enclosed aerial walkway connecting two buildings. Jadi, sila bantah juga definisi ini jika pada praktiknya bentuk fisik dan fungsinya ternyata tidak sama atau sesuai.

Di banyak kota di dunia, skywalk ini menghubungkan antara dua gedung dengan memotong jalan atau menjadi fasilitas Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Jadi, siapa yang sesat? Saya di sini menuliskan dengan referensi rujukan sesuai kaidah ilmu pengetahuan sekaligus melampirkan praktiknya sebagai data empiris berdasar pengalaman beberapa kota di dunia yang nyatanya sangat berbeda dengan skywalk di Bandung ini.

Kedua, terkait anggaran, tata kelola, dan rencana pembangunan. Dalam hak jawabnya, Ridwan Kamil melakukan justifikasi dalam menggunakan dana miliaran untuk Teras Cihampelas dengan menyebutkan anggaran pembangunan infrastruktur lainnya yang bermiliar-miliar lebih besar.

Padahal, poin pertanyaan saya bukan di sana, tapi apakah Teras Cihampelas ada di RPJP/M atau RTRW kota atau di RDTR? Dan apakah proyek ini telah melalui ketertiban birokrasi seperti yang lain?

Jadi, poin kritik saya ada pada bagaimana keputusan pembangunan infrastruktur itu harus didasari studi kelayakan dengan menindaklanjuti Program di RPJP/M-nya Pemerintah Kota Bandung dan kesesuaian dengan rencana pembangunan yang ada di RTRW/RDTR. Setiap pembangunan fasilitas publik bukan cuma bicara tawaran solusi, tapi juga ketertiban birokrasi dan pertanggungjawaban anggaran publik.

Masterplan Bandung skywalk yang digambarkan berupa sketsa desain yang di-upload bersama hak jawabnya itu hanya sekadar coretan yang perlu diejawantahkan dalam bahasa teknik, bahasa tata-ruang, bahasa anggaran, bahasa kebijakan dan birokrasi, serta bahasa sosial dan ekologi, karena masterplan ini terkait dengan manusia penghuninya.

Oleh karena itu, diperlukan kajian komprehensif yang matang dan publik harus bisa mengakses semua informasi ini sebagai bentuk hak atas informasi, bukan sekadar corat-coret selayang pandang di Instagram atau Twitter.

Berikutnya, terkait justifikasi penggunaan anggaran Rp 48 miliar untuk skywalk yang lebih rendah dibandingkan dengan aspal jalan atau jalan layang. Apakah mengaspal jalan sepanjang 450 meter dengan ruas yang hanya selebar jalan Cihampelas akan memakan biaya Rp 48 miliar?

Sebagai pembanding saja, Jembatan Antapani yang merupakan proyek Kementrian PUPR pusat dengan panjang 400 meter hanya menggunakan anggaran sebesar Rp 35 miliar. Jadi, yang kemahalan di sini apa atau siapa?

Saya perlu tegaskan bahwa ini bukan protes terhadap biaya untuk budaya berjalan kaki, karena berjalan kaki tetap bisa dilakukan di bawah tanpa ada skywalk, jika fasilitas trotoar yang memadai tersedia sesuai degan UU jalan. Toh, dengan adanya skywalk juga tidak serta-merta orang jadi giat berjalan kaki.

Ketiga, jika sistem elevated ini memang merupakan hasil riset visi Bandung 2030, tentu sudah ada data beragam kajian terkait studi kelayakan dan pertimbangannya. Saya berikan contoh riset serupa pada tahun 2014 terkait Perencanaan dan Desain Pertimbangan skywalk, yang menurut Prof. P.K. Sarkar ada 12 poin yang mesti dipertimbangkan, salah satunya besaran lalu lintas pejalan kaki yang melintasi persimpangan jalan.

Aspek penggunaan lahan dan nilai ekonomi yang digunakan dan dihasilkan (termasuk anggarannya) juga menjadi aspek yang dipertimbangkan dalam studi kelayakan.

Selain itu, bisa juga merujuk riset yang dilakukan oleh Institute of Infrastructure, Technology, Research and Management, terkait studi kelayakan penyediaan skywalk untuk pejalan kaki. Nah, riset rujukan sebagai studi komparatif yang digunakan oleh Ridwan Kamil sehingga kekeuh membangun skywalk ini yang mana?

Jika memang telah melalui riset, tentu Ridwan Kamil tahu bagaimana dampak konsentrasi infrastruktur, misalnya dampak keberadaan skywalk ini terhadap kompaksi tanah. Berapa berat infrastruktur itu? Amblesan seperti apa yang akan muncul dan dampaknya?

Apabila memang benar bahwa riset sudah dilakukan untuk semua proyek pembangunan sampai tahun 2030, seharusnya mudah saja bagi Ridwan Kamil menjelaskan apa yang akan terjadi dalam 20-30 tahun ke depan, terutama terkait dengan konsentrasi infrastuktur berat seperti skywalk ini yang terus bertambah di Bandung.

Terkait konsentrasi infrastruktur ini sebetulnya pernah dipaparkan dalam sebuah artikel ilmiah hasil riset tahun 2013 lalu yang ditulis peneliti dari University of Miami dan Korea Aerospace Research Institute. Walaupun bukan khusus tentang Bandung, melainkan beberapa kota di Jawa, Bandung disinggung dalam tulisan ini. Nah, adakah data yang dapat menyanggah potensi kerusakan yang sudah disebutkan dalam penelitian-penelitian sebelumnya untuk dapat menyelamatkan pembangunan skywalk ini dari sesat sains?

Selanjutnya, jika memang telah melalui riset, nyatanya proyek tersebut kurang sosialisasi dan penjelasan ke publik tentang rancangan besarnya, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, serta kaitannya dengan rencana-rencana proyek infrastuktur perkotaan lainnya, seperti LRT/Cable Car.

Apabila sudah ada sosialisasi yang optimal, masyarakat bisa mengetahui dengan jelas “apa maksud” dari proyek ini. Terkait dengan skywalk ini sebagai bagian sistem transportasi masa depan yang terintegrasi dengan Cable Car, itu transportasi publik atau transportasi turis?

Selanjutnya, terkait kapasitas jalan. Apakah sudah ada riset sebelumnya atau lanjutan yang bisa diakses publik terkait tetap, berkurang, atau bertambahnya kemacetan? Dalam catatan saya, seyogianya ruas Jalan Cihampelas memiliki kapasitas jalan antara 2.200-2.400 smp/jam dan berdasarkan PP 34/2006, kecepatan kolektor sekunder 20 km/jam.

Namun pada kenyataannya, kecepatan rerata kendaraan di jalan ini berada di bawah 10 km/jam bahkan kerap di bawah 5 km/jam, terutama di akhir pekan dan kadang terjadi deadlock (macet total). Ketika skywalk ini masih dalam proses pembangunan, kendaraan di jalan ini pernah mengalami deadlock hingga 1-2 jam hanya untuk menempuh jarak kurang dari setengah kilometer. Bagaimana kondisi sekarang, pasca skywalk berdiri?

Keempat, memang tidak ada pohon yang ditebang, namun volume tiang pancang yang bersinggungan dengan akar pohon membuat pemotongan akar pohon menjadi tidak terelakkan, termasuk pemotongan rantingnya (saya ada bukti fotonya). Hal ini mengancam kekuatan grip pohon sehingga rawan tumbang, terlebih area ini termasuk dalam kawasan patahan Lembang. Ridwan kamil belum menjelaskan nasib akar pohon itu, atau apakah ada metode yang dilakukan agar pembangunan skywalk ini tetap ramah lingkungan?

Kelima, terkait urgensi skywalk khususnya atau pembangunan umumnya. Pihak pemerintah melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait pasti telah memiliki skala prioritas pembangunan di masing-masing departemen yang dapat dilihat secara lebih makro dalam konteks kebutuhan kota.

Apakah pembangunan skywalk berada dalam urutan tertinggi dari pembangunan dan kebutuhan warga? Jika saja dana Rp 48 miliar tersebut ditambahkan sebagai anggaran untuk kebutuhan lain, seperti perluasan akses air bersih dan peningkatan layanan kesehatan bagi warga miskin kota, tentu akan lebih bermanfaat. Atau penambahan alokasi untuk mitigasi bencana perkotaan, seperti banjir kota yang sudah beberapa kali melanda kota Bandung.

Selain itu, urgensi pembangunan skywalk di Cihampelas ini belum jelas. Kenapa pilih tempat itu? Apabila alasannya adalah untuk memindahkan PKL, kenapa tidak dibangun di Cicadas saja yang sudah jelas semrawut?

Jika alasannya untuk mendukung sistem transportasi, kenapa tidak dibangun di area yang dengan tingkat intensitas kepadatan lalu lintas tinggi sebagai JPO, seperti di perapatan Kiaracondong atau Moch. Toha yang bersinggungan dengan Jalan Soekarno-Hatta? Atau kalau memang terobsesi sekali dengan Cihampelas, kenapa tidak dibangun di sepanjang Cibaduyut yang memiliki karakter jalan, kemacetan, toko-toko yang khas, serta kesemrawutan PKL yang sama dengan Cihampelas?

Keenam, saya ingin mengelaborasi sedikit terkait relokasi PKL. Apakah alasan ini yang mendasari sebegitu urgennya pembangunan skywalk? Masih banyak lokasi PKL yang lebih semrawut dibandingkan di Cihampelas. Jika tetap ingin di Cihampelas, apakah skenario relokasi selain skywalk tidak ada? Misalnya relokasi di suatu tempat yang tetap berada di sekitar Cihampelas.

Dengan dana Rp 48 miliar,  kenapa Pemerintah Kota Bandung tidak sewa atau beli tanah warga Cihampelas saja untuk jadi area PKL dan parkir? Masih ada lahan di Cihampelas yang bisa disewa atau dibeli. Jika pemkot membeli lahan menggunakan anggaran yang serupa dengan skywalk, pasti masih ada sisa uang yang bisa digunakan untuk membangun lapak PKL dan area parkir.

Selain itu, sekitar 200 PKL lebih masuk akal untuk ditampung di sebuah lahan baru. Area PKL itu nantinya dapat menjadi sebuah destinasi wisata belanja yang melengkapi area komersial Cihampelas.

Karena skywalk sudah telanjur dibangun, salah satunya untuk relokasi PKL, yang perlu dikritisi kemudian adalah apakah ada perjanjian antara PKL dan Pemkot Bandung terkait dengan relokasi ini? Apa saja isi dari perjanjian tersebut? Apakah besaran iuran yang harus dibayar ada di dalam perjanjian tersebut?

Tentu kita tidak ingin nanti PKL tersebut akan terusir perlahan, karena luputnya hal-hal mendasar seputar kesejahteraan mereka sebagai pihak yang harus diprioritaskan dalam kebijakan relokasi ini.

Ibarat pertandingan balap sepeda, ini memang baru babak penyisihan. Tapi, kalau roda sepedanya pakai mesin atau pakai doping, itu sama saja menyalahi aturan dan pantas didiskualifikasi sejak awal. Sesat di judul bisa dikoreksi, kalau sesat di pikiran, apalagi sesat di kebijakan dan anggaran, bagaimana pertanggungjawaban publiknya?

Lemahnya riset dan kajian ilmiah, serta kurangnya keterlibatan publik dan otoritas terkait itu jelas-jelas sesat pembangunan.

Sekian dan sekali lagi terima kasih, Kang Emil.

Frans Prasetyo
Frans Prasetyo
Urbanist dan Peneliti Mandiri. Tinggal di Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.