Jumat, April 26, 2024

Pertanian Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Petani memasukkan Tomat yang baru saja dipanen ke dalam keranjang di area persawahan Desa Kwadungan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis (14/1). Petani mengaku hasil panen Tomat di daerah tersebut rata-rata turun 30 persen karena tingginya curah hujan yang memicu rontoknya Tomat sebelum waktunya panen. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Petani memasukkan tomat yang baru dipanen ke keranjang di area persawahan Desa Kwadungan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis (14/1). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

Per 1 Januari 2016 kita memasuki era baru: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kini 10 negara anggota ASEAN terhubung menjadi satu kesatuan: kesatuan kawasan, wilayah produksi dan konsumsi. Barang, jasa, modal, dan tenaga kerja bisa bergerak bebas dalam kawasan.

Berbeda dengan era sebelumnya, kini semua anggota ASEAN harus meliberalisasi perdagangan, terutama barang. Daya saing barang, jasa, modal, dan tenaga kerja amat menentukan pergerakan keempatnya.

Di luar Singapura dan Brunei Darussalam, negara-negara anggota ASEAN diikat oleh ciri hampir sama: bercorak pertanian. Di sejumlah negara, sektor pertanian masih menjadi gantungan hidup penting warga. Bahkan, pertanian menjadi penopang utama ekonomi dan penyumbang penting devisa buat negara, seperti Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina, Myanmar, dan Malaysia.

Pertanyaannya, bagaimana peta sektor pertanian negara-negara anggota ASEAN? Secara khusus, bagaimana posisi pertanian Indonesia?

Daya saing komoditas pertanian masing-masing negara ASEAN amat beragam. Hampir semua negara anggota ASEAN berbasis pertanian beras. Budidaya padi mewakili 60% area pertanian di Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Vietnam, serta 90% di Kamboja dan Laos.

Dari sisi produktivitas, padi Indonesia hanya kalah dari Vietnam. Masalah itu ada saat padi berubah menjadi beras. Apabila harga menjadi indikator, beras Indonesia tidak memiliki daya saing, kalah jauh dari Thailand dan Vietnam, dua eksportir utama beras dunia. Rata-rata harga beras di Indonesia lebih tinggi 60-65% dari beras di Thailand dan Vietnam. Di ASEAN, Indonesia dan Filipina merupakan importir beras terbesar.

Ini terjadi karena selama puluhan tahun pemerintah lebih fokus pada swasembada gabah, tapi melupakan beras. Berbagai kebijakan di on farm (subsidi pupuk, benih, bantuan traktor, irigasi, dan yang lain) dibuat untuk mengejar swasembada gabah, termasuk surplus 10 juta ton beras tahun 2017 oleh Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Industri padi/gabah dan industri beras saling terkait dan saling memperkuat. Jika salah satu di antaranya melemah, kurang atau tidak diurus, keduanya akan melemah atau tidak terurus. Sialnya, pada proses pengeringan gabah dan penggilingan padi di industri beras kita amat lemah.

Gula Indonesia juga berdaya saing rendah. Di ASEAN, ada dua produsen utama gula: Indonesia dan Thailand. Dari sisi produktivitas tebu, Indonesia dan Thailand hampir serupa: 75 ton per hektare. Namun, Indonesia kalah dalam produktivitas hablur lantaran rendemen tebu yang lebih rendah dari Thailand. Selama bertahun-tahun rendemen tak bergerak jauh dari 7-8%. Rendahnya daya saing gula Indonesia juga tercermin dari biaya produksi yang mencapai US$750/ton, jauh lebih tinggi dari Thailand (US$442/ton).

Daging ayam idem ditto. Indonesia sebenarnya masuk 10 besar produsen broiler dunia. Namun, Indonesia bukan eksportir broiler. Di ASEAN, Thailand dan Malaysia menjadi eksportir broiler. Thailand mengekspor 35% produk broilernya ke berbagai negara dunia dengan pelbagai merek. Malaysia mengekspor broiler ke Singapura. Padahal, tidak seperti di Indonesia yang ada komponen lokal, Malaysia mengimpor semua pakan unggas. Dengan sistem terintegrasi, pada 2014 biaya produksi ayam brolier hidup di Malaysia US$0,63/kg), Thailand (US$0,50/kg), dan Filipina (US$ 0,62/kg) lebih rendah dari Indonesia (US$0,80/kg).

Dalam produk hortikultura, seperti buah-buahan, Thailand merupakan saingan berat Indonesia. Selama ini aneka buah-buahan Thailand menyerbu pasar Indonesia. Di ASEAN, Indonesia unggul dalam komoditas sejumlah perkebunan, seperti sawit, kopi, kakao, dan teh. Sayangnya, keunggulan ini masih berupa produk primer dengan nilai tambah rendah. Hanya sebagian kecil ekspor komoditas perkebunan dalam bentuk produk olahan, jadi maupun setengah jadi. Akibatnya, negara lain yang memetik keuntungan.

MEA telah dimulai, tapi secara teknis masih banyak hambatan nontarif, seperti harmonisasi standar, keamanan pangan, registrasi, label, dan halal. Juga kesiapan pengawasan, seperti laboratorium uji dan lembaga sertifikasi. Sebagai pasar terbesar, Indonesia perlu fokus pada komoditas berdaya saing tinggi seraya melindungi komoditas berdaya saing menengah-rendah. Karena itu, di semua kementerian perlu dibentuk “gugus tugas permanen MEA” yang mengawal implementasi dan mengantisipasi dampaknya.

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.