Pembicaraan tentang reklamasi kini sudah sangat bergeser. Kebanyakan di antara yang membicarakannya percaya bahwa ini “cuma” urusan politik. Tepatnya, pertempuran antara mereka yang mendukung dan menentang Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ini cuma urusan Jakarta 2017, demikian pandangan banyak “pengamat”. Tentu, pandangan ini menafikan bahwa urusan Teluk Benoa sulit dikaitkan dengan Ahok, juga bahwa reklamasi itu sebetulnya terjadi di 17 provinsi di Indonesia.
Seandainya mau disempitkan ke reklamasi yang terjadi di Pantai Utara Jakarta saja, urusannya juga bukan melulu politik. Mungkin sebagian besar orang kembali mengingat soal ini lantaran Mohamad Sanusi ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi jelas para aktivis yang bertungkus lumus dengan isu ini sudah melakukan beragam kegiatan advokasinya sejak lebih dari satu dekade lampau.
Menyempitkan persoalan reklamasi menjadi tawar menawar regulasi yang diperantarai Sanusi—dan hampir pasti oleh banyak orang lain lagi baik di legislatif maupun eksekutif—jelas juga sebuah kesalahan besar. Memang pembayaran 15% atas nilai NJOP wilayah yang direklamasi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang ditawar menjadi 5%, adalah hal yang tak bisa dianggap kecil, lantaran melibatkan duit triliunan rupiah. Namun itu terbilang kecil bila dibandingkan dengan beragam hal lain yang juga penting.
Aspek Hukum
Pertama, tawar menawar dalam perumusan regulasi dan penegakannya itu sendiri pasti terjadi di banyak kejadian. Salah satu yang paling kentara adalah perubahan dari analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) kawasan menjadi Amdal per pulau. Mandat regulasi untuk proyek-proyek seperti ini sangatlah terang benderang, yaitu keharusan untuk menerapkan Amdal kawasan. Dan itu juga yang dibuat di awal proyek reklamasi 17 pulau ini hendak dilaksanakan. Namun, yang terjadi adalah penolakan terhadap kelayakan proyek.
Ahmad Safrudin, aktivis lingkungan yang kini menjadi Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), menyatakan bahwa salah satu butir yang menjadikan proyek tersebut tidak layak adalah bahwa dalam Amdalnya terjadi penggeseran tanggung jawab atas dampak lingkungan sedimentasi.
Seharusnya pemrakarsa proyek melakukan pengelolaan dampak tersebut, atau menginternalkan eksternalitas negatif itu, ke dalam biaya proyek. Tetapi, yang terjadi adalah Amdal tersebut tidak mengajukan pengelolaan dampak sedimentasi di dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan atau RKL/RPL-nya. Dalam rapat Komisi Amdal yang diikuti Ahmad Safrudin dinyatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta-lah yang dibebani tanggung jawab atas pengelolaan dampak tersebut.
Sebetulnya kalau hendak taat pada regulasi, penolakan itu disikapi dengan perubahan atas penanggung jawab pengelolaan dampak sedimentasi itu. Demikian juga dengan beragam butir lain yang tidak disetujui. Namun, alih-alih memperbaikinya dalam kerangka regulasi yang benar, yang kemudian terjadi adalah akal-akalan dengan membuat Amdal per pulau.
Dengan menjadikannya Amdal per pulau, cakupan dampaknya menjadi jauh lebih mengecil, dengan demikian membuat pengelolaannya juga lebih sederhana, dan tentu biayanya menjadi lebih rendah. Dan tentu saja itu tidak menggambarkan kondisi yang menyeluruh.
Rumitnya aspek hukum ini juga penting untuk diurai lebih lanjut dengan melihat apa saja sesungguhnya regulasi yang berlaku. Ada banyak analisis yang telah dilakukan dan hasilnya memperlihatkan bahwa agar reklamasi bisa digolkan, maka pengabaian atas regulasi tertentu dilakukan, atau hanya mendasarkan diri pada regulasi tertentu.
Ini perlu ditelusuri lebih lanjut untuk melihat apakah pengabaian-pengabaian itu memang dilakukan dengan bujukan (suap) tertentu atau tidak. Tapi yang jelas, pengabaian beragam regulasi itu sendiri memang sangat merugikan. Peraturan Presiden 122/2012 sendiri menyatakan bahwa reklamasi wajib dihubungkan dengan tata ruang dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), serta dengan menjamin keberlanjutan lingkungan. Ini seharusnya membatasi reklamasi hanya untuk prioritas-prioritas publik yang tertinggi, dan bukan untuk melayani kepentingan sempit pencarin keuntungan belaka.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Kalau kemudian kita ingin mendapatkan gambaran menyeluruh, kita harus juga mau berpikir keras terkait persoalan kedua: dampak lingkungan dan sosial dari reklamasi ini. Ada terlampau banyak orang yang berargumentasi bahwa reklamasi sesungguhnya tidaklah apa-apa, dan dampaknya tak semengkhawatirkan yang dibicarakan oleh para aktivis. Buktinya, banyak negara yang telah melakukan reklamasi juga, demikian kata mereka.
Masalahnya, yang terjadi sesungguhnya tidaklah demikian. Lantaran kita tak mau mencari lebih jauh soal ini, yang tampak di permukaan adalah bahwa reklamasi di berbagai negara telah sukses, seraya mengutip contoh paling dekat: Singapura.
Benarkah reklamasi di Singapura tidak membawa dampak negatif buat lingkungan? Pencarian selintasan saja akan membawa kita kepada beberapa tulisan yang mengangkat persoalan tersebut. Pra-reklamasi, Singapura memiliki tutupan mangrove seluas 13% dari wilayahnya, sementara sekarang tingga 0,5% saja. Terumbu karang di perairan Singapura sudah hilang 65%-nya, dan kombinasi hilangnya mangrove dan terumbu karang punya konsekuensi besar bagi fauna perairan.
Bagi kebanyakan orang yang terlatih hanya melihat segala sesuatu dari sudut pandang antroposentris—kepentingan sempit umat manusia—dampak tersebut dianggap ringan. Para nelayan mungkin kehilangan tangkapan ikan, namun mereka tentu bisa bergeser mata pencariannya. Lagi pula, Singapura adalah negeri jasa, dan nelayan bisa dianggap tak kompatibel dengan gambaran Singapura modern.
Tapi, kalau kita menggunakan sudut pandang ekosentris, yang menganggap bahwa seluruh makhluk hidup sama pentingnya dengan manusia, menghilangkan habitat tentu urusannya tidak hanya terkait dengan hilangnya mata pencarian nelayan.
Hilang dan/atau terfragmentasinya habitat punya konsekuensi besar, sebagaimana yang telah didokumentasikan oleh banyak studi ilmiah. Mungkin dalam waktu yang pendek tak terlampau kelihatan, namun dalam jangka panjang itu menjadi tampak jelas. Dan, sedihnya, banyak di antara dampak tersebut yang tidak terbalikkan. Oleh karena itu, beberapa negara yang telah melakukan reklamasi di masa lalu kemudian menghentikannya. Korea Selatan dan Jepang adalah di antara dua negara yang telah melakukan tindakan kehati-hatian dalam reklamasi.
Pada tahun 2008, para aktivis di Korea Selatan menghitung dengan saksama kerugian reklamasi itu, dan hasilnya membuat banyak orang tersadar jasa lingkungan lahan basah yang tadinya mereka nikmati kemudian hilang. Di antara yang dihitung itu adalah fungsi pengendalian banjir, pencegahan erosi tanah, serta penyimpanan gas rumah kaca. Begitu kawasan itu direklamasi, seluruh jasa lingkungan itu tak bisa lagi diperoleh.
Demikian juga terdapat dampak hilangnya habitat burung migratori dari Alaska dan Rusia yang singgah di Korea Selatan dalam perjalanan ke Australia dan Selandia Baru. Dari tahun 2006 hingga 2008 saja tercatat penurunan jumlah populasi yang sangat signifikan pada 19 spesies burung.
Jepang adalah negara yang telah melakukan reklamasi sejak abad ke-12. Reklamasi banyak dilakukan dengan memanfaatkan beragam material dari sampah, sedimen, sledge, serta pasir. Ada dua hal yang kemudian baru saja terungkap dari reklamasi.
Pertama, bahwa banyak di antara area reklamasi yang tadinya terhubung dengan area bekas industri kemudian mengalami pencemaran tanah yang parah. Dua contohnya adalah Yamashita Park di Yokohama serta di wilayah yang dipersiapkan sebagai lokasi baru Tsukiji Fish Market.
Pencemaran itu juga jelas berdampak pada perairan sekitarnya. Kini salah satu standar dalam kontrak jual-beli di atas lahan reklamasi adalah penngungkapan soal kemungkinan pencemaran tanah.
Kedua, gempa Tohoku pada 11 Maret 2011 juga mengungkap sisi lain dari reklamasi, yaitu bahwa tanah hasil reklamasi bagaimanapun lebih ringkih dibandingkan yang bukan hasil reklamasi. Banyak bangunan yang rusak lebih parah karena struktur tanah yang berbeda itu.
Kalau Singapura dan Korea Selatan yang sudah beberapa dekade melakukan reklamasi kemudian baru sadar terhadap dampak lingkungannya sekarang, bahkan Jepang yang sudah berpengalaman sekitar 8 abad melakukannya juga menemukan dampak-dampak baru, tidakkah kita di Indonesia perlu lebih berhati-hati dalam melakukannya? Mengabaikan pengalaman negara-negara lain tentu saja tak bijak.
Salah satu dampak yang kerap tak diperhatikan adalah yang terkait dengan asal material timbunan. Jepang yang kerap mengalami gempa memanfaatkan reruntuhan untuk kepentingan itu. Mengapa? Karena mereka tak ingin mengambil material baru terlampau banyak.
Untuk reklamasinya, Singapura selama berpuluh tahun menggunakan pasir dari Indonesia, yang mayoritasnya diambil di Kepulauan Riau. Ini karena pengambilan material akan menyebabkan dampak kerusakan lingkungan pula. Singapura yang pandai tentu ingin melakukan eksternalisasi dampak tersebut. Kini kita juga perlu bertanya tentang dampak apa yang terjadi di tempat-tempat di mana material itu diambil untuk reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Temuan sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa pengambilan pasir dalam skala masif itu tak dibekali dengan analisis dampak dan perizinan yang memadai. Ini artinya, lagi-lagi, dampak lingkungan diabaikan.
Di sisi lain, potong kompas untuk mendapatkan persetujuan masyarakat—dengan menjadikan daftar hadir sosialisasi sebagai “bukti” persetujuan yang baru saja terungkap oleh reportase berbagai media massa—merupakan pertanda kuat pengabaian dampak sosial. Dalam konteks Indonesia, mungkin yang lebih penting lagi adalah bagaimana dampak sosial dari reklamasi ini, karena dilakukan di wilayah yang sejak lama berpenghuni.
Ada argumentasi yang menyatakan bahwa lantaran Teluk Jakarta sudah tercemar, maka mempertahankan kehidupan nelayan itu tidaklah dibenarkan. Namun, tentu itu bisa menjadi dalih untuk mengabaikan tata cara yang benar, untuk mengabaikan dampak sosialnya, serta untuk mendapatkan persetujuan masyarakat melalui informasi yang memadai.
Tindakan Perbaikan
Bagaimanapun proyek reklamasi telah berjalan. Ketika pemerintah sekarang menghentikan secara sementara proyek ini, apa yang sangat perlu dilakukan? Mantan Perdana Menteri Inggris paling terkenal, Winston Churchill, pernah menyatakan “Never let a good crisis go to waste.” Tampaknya, kita harus melihat masalah reklamasi ini sebagai sebuah krisis yang baik, yaitu dengan tidak menyia-nyiakannya, menjadikannya momentum perbaikan.
Untuk perbaikan itu yang bisa dilakukan adalah secara bersama-sama berhitung untung-rugi reklamasi. Sampai sekarang yang lebih banyak dibicarakan adalah kalau reklamasi dihentikan, maka akan ada kerugian ekonomi sekian triliun rupiah yang akan ditanggung oleh perusahaan-perusahaan konstruksi yang terlibat. Padahal, sudah sejak lama untung-rugi tidak lagi dihitung sesempit itu.
Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, sudah seharusnya perhitungannya mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan; dengan menempatkan sosial dan lingkungan setidaknya sama penting dengan ekonomi, kalau bukan malah lebih penting.
Alat untuk melakukannya juga telah tersedia dan banyak orang Indonesia yang mampu melakukannya. Baik yang tetap mempergunakan “mata uang” sosial dan lingkungan, ataupun yang menggunakan monetisasi. Yang belakangan ini, misalnya dengan menggunakan teknik-teknik valuasi jasa lingkungan, full cost accounting, atau Social Return on Investment (SROI).
Skenarionya dipergunakan untuk keduanya, yaitu kondisi dengan dan tanpa reklamasi. Dengan demikian, kita akan bisa tahu sepenuhnya untung-rugi ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk kedua skenario. Ini juga akan bisa dimanfaatkan untuk menghitung dengan cermat apakah reklamasi sesungguhnya bisa diteruskan seperti kondisi sekarang, diubah desainnya, hingga kemungkinan tindakan pembongkaran. Hanya dengan perhitungan menyeluruh saja keputusan itu bisa diambil.
Berikutnya, krisis ini harus dimanfaatkan untuk melakukan perubahan regulasi dan tata kelola. Bukan saja terkait dengan reklamasi, tapi juga Amdal dan seluruh mandat pengelolaan sosial dan lingkungan sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam berbagai regulasi. Terkait reklamasi sendiri, tumpang tindih kewenangan dan ketidakjelasan aturan harus bisa diselesaikan, agar di kemudian hari tidak muncul lagi saling lempar tanggung jawab dan perdebatan tentang kewenangan di antara para pihak sebagaimana yang dipertontonkan beberapa pekan terakhir.
Penegakan hukum perlu dilakukan kepada para pelanggarnya juga, terutama yang terkait dengan patgulipat Amdal yang jelas-jelas seharusnya Amdal kawasan. Namun, uji tuntas terhadap KLHS juga perlu dilakukan, untuk memastikan bahwa dokumen KLHS itu memang kokoh secara ilmiah. Karena Amdalnya dibuat main-main, wajarlah kalau KLHS yang terkait dengannya kemudian harus ditinjau ulang.
Demikian juga dengan tiga serangkai amanat Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, yaitu inventarisasi lingkungan, zonasi atau tata ruang, serta Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi domain kerja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tanpa kelengkapan ini, sangat sulit bagi proyek-proyek bisa dilaksanakan dengan memperhatikan keberlanjutan.
Mengingat hingga sekarang Peraturan Pemerintah mengenai KLHS masih belum kunjung hadir (hampir 7 tahun setelah UU 32/2009!), momentum ini harus dimanfaatkan untuk mendorong keluarnya PP tersebut. Namun, tentu saja substansinya harus tetap baik, dengan mendapatkan masukan yang kokoh dari para pemangku kepentingan yang memang kapabel di bidangnya. Terburu-buru mengeluarkan PP KLHS tanpa perhatian pada substansi, juga detail pelaksanaannya, akan membuat kisruh di masa mendatang.
Terakhir, kita tak boleh juga melupakan kemungkinan-kemungkinan tindakan rehabilitasi yang perlu dilakukan, baik di daerah reklamasi maupun di tempat pengambilan pasirnya. Sesungguhnya—dengan melihat pengalaman di luar negeri maupun apa yang sudah diketahui sekarang di proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta—sangat kecil kemungkinan proyek akan diteruskan seperti apa adanya.
Pencemaran yang terjadi sejak lama di Teluk Jakarta dan dampak konstruksi akan membuat berbagai perubahan diperlukan. Karenanya, seandainya proyek ini diteruskan, tindakan-tindakan rehabilitasi akan perlu dirumuskan. Pada titik ekstrem, mungkin pembongkaran pulau tertentu akan diperlukan, atau dialihfungsikan.
Pertanyaan yang bakal diajukan adalah siapa yang harus menanggung biaya tindakan rehabilitatif itu. Amdal per pulau telah melakukan eksternalisasi, sehingga Pemprov DKI Jakarta harus menanggungnya, tapi ini tentu saja tidak benar. Kompensasi atas luasan lahan serta sejumlah uang yang selama ini dirundingkan tidaklah memasukkan biaya rehabilitasi itu.
Karenanya, perhitungan detail kerugian itu harus dibuat dengan sangat kokoh dan detail, untuk bisa menunjukkan tanggung jawab masing-masing pihak atas kerusakan yang terjadi. Lalu, total biaya rehabilitasi yang diperlukan bisa dibagi berdasarkan proporsi tanggung jawab itu. Tentu dengan tambahan denda sesuai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Dan itu semua sama sekali bukan urusan politik pemilihan Gubernur Jakarta!
Kolom Terkait
Saatnya Jokowi Memperkuat AMDAL, demi Masyarakat dan Lingkungan