Surat terbuka ini secara khusus saya tujukan kepada kaum ibu di seluruh Indonesia. Terlepas dari usia, agama, suku atau pun latar belakang pendidikan serta profesi. Di saat seorang anak menjadi korban politik, satu-satunya golongan yang siap berada di depan adalah kaum ibu nusantara.
Ibu-ibu yang saya hormati, di manapun berada.
Izinkan saya mengutarakan sebuah kasus, serta mengetuk pintu hati ‘keibuan’ kalian terkait satu hal di mana praktik ini bisa terjadi kepada setiap anak-anak kita.
Adalah seorang anak perempuan tak berdosa bernama Almira Tunggadewi Yudhoyono. Cucu dari Ibu Kristiani Herrawati Sarwo Edhie Wibowo, keponakan dari Edhie Baskoro Yudhoyono, serta anak semata wayang dari pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Anissa Pohan. Seorang anak perempuan berusia sebelas tahun, terpaksa menanggung problem politik dikarenakan kesengajaan dari ambisi politik orang tuanya.
Kaum ibu yang saya hormati.
Rundungan ini dimulai sejak beberapa hari yang lalu sebelum surat ini ditulis. Awalnya, Ayah Almira yakni saudara AHY mengunduh di akun sosial media pribadinya terkait proses pembuatan tugas Almira. Sampai situ, sudah ada gejala yang tidak lazim. Ketidaklaziman pertama adalah, mimik wajah Almira yang terlihat agak gelisah dalam foto unggahan saudara AHY.
Almira, yang duduk di tengah dengan laptopnya tercermin sebuah kegamangan diraut wajahnya. Tentu Almira bukanlah seorang aktris cilik yang mudah dikondisiskan raut mukanya, bisa sedih atau senang sesuai permintaan. Saya atau pun juga kaum ibu bisa merasakan aura Almira yang penuh dengan segala keterpaksaan.
Kedua, secara terbuka saudara AHY memperlihatkan yang diceritakan sebagai tugas Almira. Di mana surat itu semacam surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, yang berisi permintaan Lockdown akibat sebaran virus Covid-19.
Ketidak laziman ketiga, secara sengaja saudara AHY melibatkan anak semata wayangnya dalam bentuk aksi politis. Di sini saudara AHY melakukan praktik terselubung tokenisme pada anak dan melakukan pelanggaran atas UU No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Surat ini asliya saya beri tajuk; “Majikan Partai dan Praktik Terselubung Tokenisme Pada Anak”. Mungkin sebagian pembaca merasa awam dengan istilah tokenisme pada anak. Agar pesan ini bisa tersampaikan kepada publik luas, dan terutama kaum ibu nusantara. Maka saya akan menjelaskan secara sederhana istilah ‘tokenisme pada anak’, agar mudah dipahami secara seksama.
Begini, secara harafiah dalam keilmuan sosial tokenisme diartikan seperti ini; adalah contoh saat individu menunjukkan tingkah laku positif yang menipu terhadap anggota kelompok outgroup kepada siapa mereka merasakan prasangka yang kuat. Kemudian perilaku tokenistik ini digunakan sebagai alasan untuk menolak melakukan aksi yang lebih menguntungkan terhadap kelompok ini.
Saya akan memberikan penalaran yang lebih sederhana dalam konteks surat terbuka Almira. Tentu Almira, tidak pernah menghitung risiko secara politis apakah surat itu bisa berdampak negatif pada dirinya. Ataukah, surat itu menjadi kredit poin positif untuk bapak dan partai keluarganya.
Almira sebagai seorang anak cerdas yang lugu, kita yakin tidak memiliki pretensi politik apa pun. Atas dasar surat yang dibuat oleh Almira, maka kemudian saudara AHY sebagai ayah dari Almira, sebagai seorang majikan partai, sebagai politisi, sebagai anak sulung dari mantan Presiden RI ke-6 memiliki umpan politik yang bisa dilemparkan kepada pemerintahan Presiden Jokowi.
Dengan sengaja saudara AHY menjadikan putri semata wayangnya menjadi umpan politik dari agenda kepartaiannya. Sebagai seorang majikan partai politik, tidaklah mungkin risiko yang akan diterpa oleh Almira akan datang bertubi-tubi. Semakin terang ketika jongos partai seperti Jansen Sitindaon, sigap sedia membela sang majikan. Jelas sekali pesan yang disampaikan sang jongos, panjang lebar dia menjelaskan, diujung dia hanya ingin mengatakan bahwa kemampuan berbahsa inggris Almira lebih baik daripda Presiden Jokowi. Tentu itu tabsir yang disiapkan para dayang-dayang partai, untuk memperkuat agenda politik majikan. Apakah, Almira yang menuliskan surat berfikir serumit itu? Sepertinya tidak sama sekali.
Kaum ibu di manapun berada, rasanya penjelasan saya yang singkat sudahlah sangat gamblang benderang. Bahwa jelas saudara AHY selaku ayah dari Almira, melakukan tindakan tokenistik kepada anaknya demi sebuah agenda politik. Jika kita tilik dalam sudut pandang hukum, jelas bahwa saudara AHY telah melakukan pelanggaran atas UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Bagaimana mungkin seorang majikan partai yang kabarnya mengusung prinsip-prinsip demokrat, tetapi secara terselubung menjalankan praktik tokenisme pada anaknya sendiri. Saya akan bacakan pasal-pasal yang sudah dilanggar saudara AHY sebagai seorang ayah dari Almira; Pasal 15 (a): Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Sebagai seorang ayah juga ibu, dengan sengaja menjadikan anaknya sebagai umpan politik adalah pelanggaran atas prinsip dasar hak anak.
Selain hal yang lebih teknis, apakah kita percaya akan dua hal yang menjadi latar belakang dari surat terbuka Almira? Pertama, apakah betul sekolah Almira, memberikan tugas serupa?
Kedua, jika pun betul ada tugas sekolah seperti itu, apakah surat yang dibuat Almira tidak ada intervensi dari saudara AHY? Atau jangan-jangan sebagian besar dari isi surat Almira adalah hegemoni pikiran sang ayah? Karena apakah kita percaya untuk seusia Almira, yang terhitung sebelas tahun memiliki hasrat politik. Dalam dimensi itu saya kira kita perlu curiga, bahwa narasi itu tidak hadir tanpa intervensi yang hegemonik seorang ayah kepada anak perempuannya.
Bukankah ini adalah sebuah tragedi. Ditengah cerita harmonis keluarga, yang serba kompak, serba selaras, dan selalu harmonis dalam senyum meski basa basi. Ternyata tersingkap sebuah intimidasi pikiran yang begitu keji, dari seorang ayah kepada anak semata wayangnya.
Sudahlah sepatutnya seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, melindungi anaknya dari semua potensi yang bisa menggoyahkan jiwa sang anak. Bukan sebaliknya, secara sadar serta sengaja menggiring sang anak ketengah lapangan tembak dengan tangan terikat dan mata tertutup rapat.
Kaum ibu yang saya hormati.
Orang dewasa mana yang rela dan tega jika melihat seorang anak menjadi korban perundungan atas aksi politik orang tuanya? Saya mengajak kaum perempuan dan kaum ibu untuk melihat masalah ini secara holistik. Bahwa kita menolak siapa pun melakukan perundungan pada Almira itu adalah satu hal. Tetapi dalam hal lain yang jauh lebih penting, adalah satu tindakan keji orang tua yang dengan sengaja dan sadar memposisikan sang anak dengan konsekuensi seperti ini.
Kekejian itu, seakan dibalut dengan topeng intelektual dan kecakapan sang anak dalam menggunakan bahasa asing. Betapapun diupayakan surat itu terlihat otentik, tetaplah publik melihat raut wajah Almira dalam tekanan ambisi sang ayah. Bukan saja Almira duduk dihapit oleh kedua orang tuanya, bahkan Almira digiring oleh keduanya dalam cara pandang yang sempit.
Akhirnya kita kembali bertanya, pada diri kita sendiri. Manakah yang lebih biadab? Mereka yang pada akhirnya merundung Almira seorang gadis lugu, cerdas dan apolitis? Ataukah, orang tuanya yang secara terbuka dan sengaja menjadikan anak putrinya umpan politis?
Saudara Agus Harimurti Yudhoyono, terlalu banyak pertanyaan atas kapasitas anda. Selain, kapasitas menjadi majikan dari partai warisan orang tua anda. Kini, orang mempertanyakan kapasitas anda sebagai seorang ayah. Bahkan keberpihakan anda pada masa depan anak anda sendiri.
Salam Akal Sehat!
Jakarta, 5 Mei 2020