Ketika Penulis Toni Morrison bekerja pada pada penerbit Random House dalam sebuah proyek non-fiksi bernama “Black Book” pada tahun 1974, ia menemukan sebuah artikel soal pelarian tragis seorang budak kulit hitam wanita bernama Margaret Garner. Kelak kisah ini diabadikan dalam novelnya yang meraih penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1993 berjudul “Beloved”
Margaret Garner dilahirkan pada 4 Juni 1833 di Boone County, Kentucky, Amerika Serikat. Ibunya juga seorang budak yang diperkosa oleh tuannya yang berkulit putih, pada waktu itu anak-anak hasil perkosaan tuan kulit putih dikenal dengan nama “mullato”.
Tahun 1856 pada usia 22 tahun, Garner bersama suaminya, orantuanya dan keempat anak mereka memutuskan untuk melarikan diri dari perbudakan di perkebunan Kentucky tersebut dengan melintasi Sungai Ohio yang membeku. Waktu itu Garner sedang hamil. Pelarian mereka dengan tujuan ke rumah Elijah Kite salah satu kerabat mereka.
Tetapi naas beberapa waktu kemudian, rumah Elijah Kite telah dikepung oleh Archibald Gaines yang membawa banyak anak buahnya untuk menangkap dan membawa para budak yang adalah aset untuk kembali ke rumah sang majikan. Dalam keadaan bingung, terjepit dan putus asa Garner mengambil pisau dapur di atas meja dan menggorok leher anak perempuannya yang masih berumur dua tahun hingga mati. Ia tidak mau anaknya itu menjadi budak. Ia memutuskan lebih baik anak itu mati daripada menjadi budak.
Pada akhirnya Garner kembali kepada rumah tuannya dan tinggal di sana sampai kematiannya pada tahun 1858.
Kisah ini sangat membekas dalam pikiran Toni Morrison yang tidak hanya sukses dalam sebuah novel tetapi juga diabadikan dalam sebuah film dengan judul sama dengan novelnya serta dibintangi oleh Oprah Winfrey.
Dalam wawancaranya dengan jurnalis Charlie Rose tahun 1993 yang menanyakan bagaimana cara Toni merespon terhadap perlakuan rasis sehari-hari. Toni menjawab:
“Izinkan saya memberi tahu Anda, itu pertanyaan yang salah”
Apakah Anda tidak mengerti, bahwa orang-orang yang melakukan hal ini, yang mempraktekkan rasisme, kehilangan sesuatu?”
Morrison mengatakan orang kulit putih rasis tidak mengerti bahwa kulit putih bagian dari sebuah ras, “itu juga dibangun, itu juga dibuat.” Toni mengatakan sebuah kebenaran yang mutlak bahwa ada kesalahan dalam cara berpikir orang kulit putih dengan berasumsi bahwa ras kulit hitam tidak termasuk bagian dari manusia.
Ia kemudian melanjutkan “Jika saya mengambil ras Anda, dan begitulah, semua tegang. Dan yang Anda dapatkan hanyalah diri Anda yang kecil, dan apakah itu? Siapa Anda tanpa rasisme? Apakah Anda baik-baik saja? Apakah Anda masih kuat? Apakah Anda masih pintar? Apakah masih menyukai dirimu sendiri? Maksud saya, inilah pertanyaan-pertanyaannya.”
“Jika Anda hanya bisa tinggi karena seseorang berlutut, maka Anda memiliki masalah serius,” pungkasnya. “Perasaan saya adalah orang kulit putih memiliki masalah yang sangat, sangat serius. Dan mereka harus mulai berpikir tentang apa yang dapat mereka lakukan. Keluarkan aku darinya.”
Toni terus gelisah mengenai masa depan anak-anak Amerika yang berpotensi melanjutkan perlakuan diskriminatif terhadap orang kulit hitam, kulit berwarna dan imigran. Karena novel-novelnya seperti “The Bluest Eye”, “Sula” dan “Beloved” jutaan anak-anak sekolah dan mahasiswa Amerika mengenal, belajar dan memahami rasisme, perbudakan dan sejarah Amerika.
Toni Morrison sangat konsisten dalam menulis tema-tema kulit hitam dalam novel-novelnya. Warisan terbesar Morrison mungkin adalah karena ia berani menulis dari kedalaman jiwa, budaya dan dalam balutan perasaan orang kulit hitam yang berjuang.