Konsep masyarakat adat telah dikembangkan oleh sarjana-sarjana hukum dan ilmu sosial sejak zaman kolonial belanda. Masyarakat adat sendiri adalah konsep untuk menunjuk komunitas-komunitas adat (adat rechtsgemeenschappen) yang merupakan bagian terbesar dari populasi Hindia Belanda pada masa itu. Pengertian masyarakat adat berakar dari pengertian komunitas (gemeinschaft) komunitas alamiah yang tumbuh dari hubungan organis antara manusia dengan lingkungannya, yang mempunyai ikatan sukarela antar manusia dan kelompok.
Gemeinschaft dalam pengertian ini adalah konsep untuk membantu menjelaskan masyarakat adat (adat rechtsgemeenscappen) sebagai persekutuan-persekutuan hukum yang berbasis pada adat. Persekutuan hukum oleh J.F. Holleman dimaknai sebagai unit sosial terorganisir dari masyarakat pribumi, yang mempunyai pengaturan khusus dan otonom atas kehidupan masyarakatnya. Otoritas yang dimiliki oleh masyarakat adat ini adalah unsur penting tentang masyarakat adat sebagai pengampu hukum adat.
Cornelis Van Vallenhoven menyebutkan bahwa masyarakat adat memproduksi dan menjalankan hukum adat ini dalam wilayah tertentu, yang oleh Van Vallenhoven diklasifikasikan ke dalam sembilan belas wilayah berlakunya hukum adat (rechtskringen). Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas adat yang hidup secara sosial, namun masih berjuang sebagai entitas subjek hukum. Dalam konteks ini, masyarakat adat masih mengalami kerentanan dalam ranah hukum karena adanya prasyarat pengakuan, yang berakibat pada lemah nya perlindungan hak-hak mereka, terutama hak atas wilayah adat (hak ulayat).
Masyarakat Adat Sabuai
Suku Sabuai atau Saf Way merupakan suku asli Pulau Seram yang berlokasi di Negeri Sabuai Kabupaten Maluku Tengah. Berdasarkan cerita dari para leluhur asal mereka dari Maraina, sebuah tempat di pegunungan Seram Barat. Bagi sebagian orang asli Seram, Maraina dipercaya sebagai tempat sakral, lokasi awal manusia Maluku berasal. Sabuai sendiri mempunyai arti “tempat lewatnya air”, nama sebenarnya “saf-wai”. Negeri Sabuai memiliki lima Soa (marga), yakni Nisdoam, Yamarua, Patotnem, Ahwalam, dan Titasam.
Lokasi yang dijadikan tempat ritual warga Sabuai sendiri dipercaya sebagai Negeri Lama, atau tempat permukiman leluhur yang disebut Yamaliho. Di situ mereka bercocok tanam dan mengakhiri hidup nomaden, saat menjumpai tempat yang aman untuk bermukim.Pekerjaan leluhur berkebun, menanam sagu dan lainnya. Kami belum mengenal beras waktu itu. Kami hanya berpakaian dari kulit kayu.
Pada tahun 2020 masyarakat suku sabuai berkonflik dengan sebuah perusahan perkebunan pala, CV Sumber Berkat Makmur (SBM). Meski telah dilarang menebang hutan di hutan keramat, namun perusahaan tetap membabat. Praktik penerapan eksploitasi hutan milik masyarakat adat yang di klaim oleh negara sebagai ladang bisnis para pejabat di negeri ini tetap terjadi. Berdasarkan film dokumenter WatchDoc yang berjudul “SABUAI” memotret bagaimana fenomena tersebut terjadi di Negeri Sabuai, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Melalui dokumenter tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya masyarakat adat Sabuai sangat menggantungkan sekali hidupnya pada hutan.
Mereka melakukan penolakan keras terhadap perusakan hutan adat, serta menerapkan Sasi untuk melarang siapapun yang ingin merusak hutan adat mereka. Masyarakat adat Sabuai yang memperjuangkan haknya berakhir dalam demonstrasi dan beberapa orang Sabuai ditangkap pihak kepolisian.
Sasi: Upaya Mempertahankan Wilayah Hutan Adat
Sasi merupakan suatu bentuk larangan pengambilan sumber daya alam baik di darat maupun di laut dalam kurun waktu tertentu sehingga memungkinkan sumber daya alam dapat tumbuh, berkembang, dan dilestarikan. Sebagai praktik konservasi sumber daya alam yang bersifat tradisional, Sasi telah dilakukan secara turun-temurun di berbagai wilayah Kepulauan Maluku dan meluas sampai wilayah Papua Barat.
Sasi sebagai Hukum Adat
Prinsip pengelolaan sasi didukung oleh hukum adat yang sudah ada secara turun-temurun. Aturan ini diberlakukan karena masyarakat berpikir ketersediaan sumber daya alam, terutama di pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara kebutuhan masyarakat akan terus meningkat. Sejarah catatan tidak menunjukan kepastian tentang kapan diberlakukan sasi, namun praktik sasi diyakini sudah ada sejak zaman leluhur masyarakat Maluku. Aturan adat ini menjadi komitmen atau perjanjian mengenai pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya alam antara kepala adat, tokoh masyarakat dan masyarakat desa/kampung tersebut.
Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat
Jika kita mengacu pada hukum di Indonesia, melalui UU mengatur tentang masyarakat adat di Indonesia dalam pasal :
Pasal 18B ayat (2)
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pasal 28I ayat (3)
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Pasal 20
(1) Masyarakat Adat yang telah ditetapkan berhak atas Wilayah Adat yang mereka miliki, tempati, dan kelola secara turun temurun berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Wilayah Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat komunal dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
Melalui Undang-Undang tersebut, seharusnya identitas dan hak masyarakat adat dihormati selaras dengan berkembangnya zaman.