Rabu, April 24, 2024

Trend “Ghozali Everyday”: NFT dan Dampaknya terhadap Politik

Luthfi Hasanal Bolqiah
Luthfi Hasanal Bolqiah
Penulis lahir di Garut pada 1995. Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta. Penulis menghabiskan waktu sebagai freelance writer dan pengamat ekonomi-politik.

Fenomena viral “Gozali Everyday” yang meraup keuntungan sampai miliyaran di NFT (Non-Fungible Token) cukup menghentak bagi banyak orang, terutama mereka yang sejak awal tidak mengenal cryptocurrency. Beberapa dari netizen ada yang mencoba peruntungan serupa Ghozali, sebagian yang lain menganggap hal itu sebagai anomali. Meski begitu dalam dunia trading fenomena “meme coins” seperti Dogecoin (DOGE) atau Shiba Inu (SHIB) kerap terjadi.

Saya selalu tertarik dengan perkembangan teknologi digital terutama relevansi dan dampaknya terhadap perkembangan politik. Saat ini di Indonesia, NFT berguna sebagai aset digital otentik yang banyak dikoleksi dan diperjual-belikan. Lain halnya dengan di negara lain NFT sudah mulai dipergunakan untuk kampanye politik.

Misalnya untuk pemilihan tahun 2022, Shrina Kurani (Partai Demokrat) yang mencalonkan diri untuk DPR di California dan Blake Masters (Partai Republik) untuk Senat di Arizona menggunakan NFT untuk mendapatkan donasi. Begitupun yang dilakukan oleh Dr. Scott Jensen, calon gubernur Minnesota juga menggunakan token NFT untuk kampanye dengan program hadiah seperti kesempatan bertemu dirinya atau menonton pertandingan sepakbola bersamanya. Lebih dari itu, Shrina Kurani bahkan memiliki janji untuk melibatkan komunitas crypto dalam legislasi.

NFT sendiri pada dasarnya merupakan token kripto yang dikelola melalui teknologi Blokchain dengan program smart contract. Transaksi NFT melalui smart contract dapat dengan mudah dilacak kepemilikannya dan sebuah gambar, video, music, dll menjadi unik, otentik atau non-fungible.

Meski peruntukan awalnya untuk hak cipta dan orisinalitas karya namun potensi pengembangannya lebih dari itu. Bayangkan saja transaksi dapat terekam seperti halnya history pencarian dan dapat diakses oleh siapapun yang mengetahui alamat transaksi tersebut. Dalam percakapan sederhana dengan teman, kita mengandaikan jika transaksi para pejabat publik dapat terekam dan terbuka untuk diakses. Bukankah dapat menurunkan angka korupsi?

Tentu saja tidak sesederhana itu, karena banyak hal yang bersifat rahasia negara bukan? But let’s say, khusus untuk project tertentu pemerintah mengeluarkan anggarannya menggunakan smart contract. Setidaknya pembangunan yang mangkrak karena dikorupsi mungkin akan berkurang atau dana desa yang sifatnya anggaran publik dapat awasi oleh siapapun penggunaannya. Lagi-lagi ada banyak variabel yang tidak saya libatkan dalam pengandaian itu seperti potensi pencucian uang karena smart contract itu biasanya anonim.

Tapi meski begitu, semua kemungkinan negatif dari NFT atau smart contract tidak menggugurkan potensinya untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan (good governance). Misalnya pembeli NFT di California atau di beberapa negara bagian di US mewajibkan verifikasi untuk berdonasi pada kandidat melalui NFT. Singkatnya negara dapat menerapkan sejumlah peraturan sembari beradaptasi dengan perkembangan digital.

Sama halnya dengan metaverse, NFT juga tantangan sekaligus potensi yang dapat dimaksimalkan. Keduanya memiliki determinasi ekonomi yang dapat mempengaruhi struktur sosial, budaya, politik dan hukum. Di masa lalu strata sosial didefinisikan dengan kepemilikan lahan yang luas sehingga kelas atas disebut tuan tanah dan penguasa terdorong untuk melakukan penaklukan wilayah lain dengan asumsi tanah luas maka sumber daya alam banyak dan penduduk bertambah bersamaan dengan peningkatan pajak.

Kemudian pada revolusi industri, kepemilikan alat produksi justru yang mendifinisikan strata sosial. Kelas atas yang disebut borjuase atu kapitalis adalah mereka yang memiliki alat produksi, meskipun dengan lahan yang kecil namun hasil produksinya bisa lebih tinggi. Politik juga ikut berubah, tanpa perlu wilayah yang luas sebuah negara cukup menguasai alat produksi bisa jauh lebih kaya dibanding negara dengan wilayah yang luas. Peperangan militerpun berkurang dan berubah jadi perang teknologi yang dapat meningkatkan produksi secara efektif. Tujuannya masih sama yaitu menambah pemasukan negara namun caranya berubah.

Metaverse dan NFT juga memiliki potensi serupa dalam prihal determinan ekonomi. Tanpa perlu memiliki lahan, alat produksi atau membuat pabrik, kita bisa mendapatkan pemasukan dari NFT atau nanti di Metaverse. Bisa jadi seseorang hanya tinggal di kos-kosan namun aset virtualnya setara dengan CEO atau direktur sebuah perusahaan. Mungkinkah strata sosial berubah? Tentu saja, potentially.

Saat ini saja, kondisi politik mulai berubah misalnya dengan beberapa negara mengadaptasi cryptocurrency atau bahkan negara El-Salvador membangun kedutaan di Metaverse dan Seoul mengklaim akan menjadi kota pertama di Metaverse. Adapun sejumlah gerai atau restauran juga mulai mengadopsi koin kripto tertentu untuk transaksinya.

Akhir kata, menurut saya perkembangan teknologi selama ini seringkali melampaui apa yang kita pikirkan. Artinya realita yang akan terjadi esok hari justru melampaui apa yang ditulis di atas. Agak lucu jika respon pemerintah indonesia sebatas memberi kategori halal dan haram atau hanya menasehati tata cara penggunaan media sosial yang beretika.

Luthfi Hasanal Bolqiah
Luthfi Hasanal Bolqiah
Penulis lahir di Garut pada 1995. Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta. Penulis menghabiskan waktu sebagai freelance writer dan pengamat ekonomi-politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.